Problem
Etika Media Siber
Agus Sudibyo, ANGGOTA DEWAN PERS
Sumber
: JAWA POS, 4
Februari 2012
PAKAR komunikasi J. Thomson
menyebut, komunikasi massa sesungguhnya adalah kata yang mengandung
kontradiksi. Komunikasi selalu mengandaikan pihak-pihak yang setara dan
berinteraksi sedemikian rupa sehingga setiap pesan menghasilkan umpan balik.
Sementara itu, komunikasi massa modern dalam praktiknya hampir selalu
menempatkan satu pihak sekadar sebagai massa yang pasif. Penonton televisi,
pendengar radio, pembaca media cetak. Bagi Thomson, yang difasilitasi media
massa modern sesungguhnya bukan kegiatan komunikasi, melainkan sekadar
transmisi pesan satu arah dari kalangan elite kepada sejumlah besar orang yang
tidak memiliki akses atau privilege untuk menyampaikan respons dan
terlibat dalam perbincangan publik.
Ketimpangan akses untuk terlibat dalam diskursus publik itulah yang menjadi salah satu latar belakang perkembangan pesat jurnalisme warga (citizen journalism) dewasa ini. Fenomena jurnalisme warga bertolak, salah satunya, dari kegelisahan atas fakta bahwa meskipun berstatus sebagai ruang publik, media massa ternyata tetap tidak memberikan akses memadai kepada publik kebanyakan untuk terlibat di berbagai diskursus publik. Konsep tentang otoritas sumber selalu mengondisikan media untuk mengutip sumber-sumber elite: pemerintah, DPR, akademisi, pengamat, dan aktivis LSM. Tanpa banyak didasari, publik kebanyakan hanya menjadi penonton dalam praktik komunikasi (massa) yang semestinya juga menempatkan mereka sebagai subjek yang berbicara.
Elitisme pemilihan sumber berita bersisian dengan elitisme pemilihan objek berita. Sebagai contoh, jika media memberitakan masalah korupsi, hampir selalu korupsi dengan jumlah uang yang besar, melibatkan nama-nama besar, dan terjadi di pusat-pusat kekuasaan. Korupsi yang sehari-hari dihadapi rakyat kecil dalam pengurusan KTP, SIM, izin usaha, akta kelahiran, dan lain-lain selalu terpinggirkan dalam diskursus media tentang korupsi. Sebagian besar pemirsa televisi terestrial kita adalah kelas menengah ke bawah, namun dialog-dialog di televisi itu juga hampir selalu hanya mencerminkan problem, minat, atau sensibilitas kelas menengah ke atas.
Jurnalisme warga adalah upaya untuk menerobos kejumudan praktik komunikasi massa itu. Dalam jurnalisme warga, setiap individu ditempatkan sebagai subjek dalam ruang publik. Setiap warga didorong untuk secara partisipatoris terlibat dalam pencarian, pengolahan, dan penyajian informasi. Setiap orang adalah jurnalis!
Spirit itu jugalah yang menonjol ketika media-media siber di Indonesia belakangan memberikan ruang bagi pembacanya untuk mengomentari berita-berita aktual serta memfasilitasi mereka untuk berdiskusi secara interaktif tentang isu-isu terkini. Dari perspektif ruang publik yang demokratis dan liberal, jelas itu adalah kemajuan yang patut disambut. Sementara media konvensional masih berkutat dengan elitisme pemilihan objek dan sumber berita, media siber telah bergerak dengan terobosan yang memungkinkan setiap orang berpendapat secara langsung, terlibat dalam diskusi, bahkan turut menentukan tema yang perlu didiskusikan di ruang publik dunia maya.
Persoalannya kemudian, diskusi di ruang publik jelas bukan diskusi sembarangan, harus dilandasi dengan etika dan kepantasan. Jika ruang publik itu melekat pada domain media, katakanlah kanal berita, diskusi juga harus merujuk pada kode etik jurnalistik. Kebebasan berpendapat di sini menemukan batas-batasnya: 1) kebebasan berpendapat orang lain; 2) hak orang lain untuk dinilai secara fair, proporsional, dan tidak menghakimi; 3) hak orang lain atas ruang publik yang steril dari caci maki, sumpah serapah, kata-kata hinaan, pernyataan berbau SARA, pergunjingan pribadi, dan lain-lain.
Dalam konteks itulah, Dewan Pers bersama-sama unsur asosiasi media dan komunitas pers merumuskan Panduan Etis Pemberitaan Media Siber beberapa bulan terakhir. Tujuannya, menciptakan keseimbangan antara dimensi demokratis-liberatif dari jurnalisme warga yang melekat pada media siber dengan prinsip-prinsip etika dan akuntabilitas di ruang publik.
Perumusan panduan itu dilatarbelakangi semakin banyaknya pengaduan ke Dewan Pers terhadap komentar-komentar berita media siber (user generated content) yang berbau SARA, caci maki, dan permusuhan. Jika tidak direspons secara memadai, perkembangan itu dapat menimbulkan kerugian seseorang, yang mungkin berujung pemidanaan media siber dengan perkara pencemaran nama baik atau penghinaan.
Panduan Pemberitaan Media Siber juga merupakan respons terhadap tren media siber yang sangat berorientasi pada kecepatan penyampaian berita. Kecepatan penyampaian berita adalah keunggulan komparatif media siber. Namun, kecepatan itu bukan satu-satunya aspek dalam jurnalisme. Jurnalisme tetap menuntut akurasi, kelengkapan berita, dan verifikasi. Di sini, kita menemukan problem pelik media siber di Indonesia. Data Dewan Pers 2010-2011 menunjukkan, tingkat pelanggaran kode etik jurnalistik oleh media siber terus meningkat. Dengan prinsip follow-up news, media siber sering mengesampingkan konfirmasi sumber berita atau verifikasi data. Akibatnya, muncul berita-berita yang tidak berimbang, tidak akurat, atau menghakimi.
Kemajuan teknologi informasi memang memberikan kemudahan bagi jurnalis untuk mengejar informasi, mengembangkan liputan, dan mentransmisikan pesan. Namun, kemajuan teknologi itu tidak mengubah hukum besi dalam jurnalisme: disiplin verifikasi dan kewajiban konfirmasi. Hal itulah yang coba ditegaskan dalam Panduan Pemberitaan Media Siber yang hendak disahkan Dewan Pers. Sebuah upaya untuk mengembalikan jurnalisme kepada esensinya sebagai perkara kebenaran verifikasi sambil tetap mengakomodasi kemungkinan-kemungkinan agar media siber dapat mengoptimalkan kelebihan komparatifnya: kecepatan dalam menyiarkan berita. ●
Ketimpangan akses untuk terlibat dalam diskursus publik itulah yang menjadi salah satu latar belakang perkembangan pesat jurnalisme warga (citizen journalism) dewasa ini. Fenomena jurnalisme warga bertolak, salah satunya, dari kegelisahan atas fakta bahwa meskipun berstatus sebagai ruang publik, media massa ternyata tetap tidak memberikan akses memadai kepada publik kebanyakan untuk terlibat di berbagai diskursus publik. Konsep tentang otoritas sumber selalu mengondisikan media untuk mengutip sumber-sumber elite: pemerintah, DPR, akademisi, pengamat, dan aktivis LSM. Tanpa banyak didasari, publik kebanyakan hanya menjadi penonton dalam praktik komunikasi (massa) yang semestinya juga menempatkan mereka sebagai subjek yang berbicara.
Elitisme pemilihan sumber berita bersisian dengan elitisme pemilihan objek berita. Sebagai contoh, jika media memberitakan masalah korupsi, hampir selalu korupsi dengan jumlah uang yang besar, melibatkan nama-nama besar, dan terjadi di pusat-pusat kekuasaan. Korupsi yang sehari-hari dihadapi rakyat kecil dalam pengurusan KTP, SIM, izin usaha, akta kelahiran, dan lain-lain selalu terpinggirkan dalam diskursus media tentang korupsi. Sebagian besar pemirsa televisi terestrial kita adalah kelas menengah ke bawah, namun dialog-dialog di televisi itu juga hampir selalu hanya mencerminkan problem, minat, atau sensibilitas kelas menengah ke atas.
Jurnalisme warga adalah upaya untuk menerobos kejumudan praktik komunikasi massa itu. Dalam jurnalisme warga, setiap individu ditempatkan sebagai subjek dalam ruang publik. Setiap warga didorong untuk secara partisipatoris terlibat dalam pencarian, pengolahan, dan penyajian informasi. Setiap orang adalah jurnalis!
Spirit itu jugalah yang menonjol ketika media-media siber di Indonesia belakangan memberikan ruang bagi pembacanya untuk mengomentari berita-berita aktual serta memfasilitasi mereka untuk berdiskusi secara interaktif tentang isu-isu terkini. Dari perspektif ruang publik yang demokratis dan liberal, jelas itu adalah kemajuan yang patut disambut. Sementara media konvensional masih berkutat dengan elitisme pemilihan objek dan sumber berita, media siber telah bergerak dengan terobosan yang memungkinkan setiap orang berpendapat secara langsung, terlibat dalam diskusi, bahkan turut menentukan tema yang perlu didiskusikan di ruang publik dunia maya.
Persoalannya kemudian, diskusi di ruang publik jelas bukan diskusi sembarangan, harus dilandasi dengan etika dan kepantasan. Jika ruang publik itu melekat pada domain media, katakanlah kanal berita, diskusi juga harus merujuk pada kode etik jurnalistik. Kebebasan berpendapat di sini menemukan batas-batasnya: 1) kebebasan berpendapat orang lain; 2) hak orang lain untuk dinilai secara fair, proporsional, dan tidak menghakimi; 3) hak orang lain atas ruang publik yang steril dari caci maki, sumpah serapah, kata-kata hinaan, pernyataan berbau SARA, pergunjingan pribadi, dan lain-lain.
Dalam konteks itulah, Dewan Pers bersama-sama unsur asosiasi media dan komunitas pers merumuskan Panduan Etis Pemberitaan Media Siber beberapa bulan terakhir. Tujuannya, menciptakan keseimbangan antara dimensi demokratis-liberatif dari jurnalisme warga yang melekat pada media siber dengan prinsip-prinsip etika dan akuntabilitas di ruang publik.
Perumusan panduan itu dilatarbelakangi semakin banyaknya pengaduan ke Dewan Pers terhadap komentar-komentar berita media siber (user generated content) yang berbau SARA, caci maki, dan permusuhan. Jika tidak direspons secara memadai, perkembangan itu dapat menimbulkan kerugian seseorang, yang mungkin berujung pemidanaan media siber dengan perkara pencemaran nama baik atau penghinaan.
Panduan Pemberitaan Media Siber juga merupakan respons terhadap tren media siber yang sangat berorientasi pada kecepatan penyampaian berita. Kecepatan penyampaian berita adalah keunggulan komparatif media siber. Namun, kecepatan itu bukan satu-satunya aspek dalam jurnalisme. Jurnalisme tetap menuntut akurasi, kelengkapan berita, dan verifikasi. Di sini, kita menemukan problem pelik media siber di Indonesia. Data Dewan Pers 2010-2011 menunjukkan, tingkat pelanggaran kode etik jurnalistik oleh media siber terus meningkat. Dengan prinsip follow-up news, media siber sering mengesampingkan konfirmasi sumber berita atau verifikasi data. Akibatnya, muncul berita-berita yang tidak berimbang, tidak akurat, atau menghakimi.
Kemajuan teknologi informasi memang memberikan kemudahan bagi jurnalis untuk mengejar informasi, mengembangkan liputan, dan mentransmisikan pesan. Namun, kemajuan teknologi itu tidak mengubah hukum besi dalam jurnalisme: disiplin verifikasi dan kewajiban konfirmasi. Hal itulah yang coba ditegaskan dalam Panduan Pemberitaan Media Siber yang hendak disahkan Dewan Pers. Sebuah upaya untuk mengembalikan jurnalisme kepada esensinya sebagai perkara kebenaran verifikasi sambil tetap mengakomodasi kemungkinan-kemungkinan agar media siber dapat mengoptimalkan kelebihan komparatifnya: kecepatan dalam menyiarkan berita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar