Bumerang
James Luhulima, WARTAWAN SENIOR kOMPAS
Sumber
: KOMPAS, 4
Februari 2012
Pada 27 Januari lalu, Jalan Tol
Jakarta-Cikampek lumpuh. Arus lalu lintas di jalan tol itu terhenti selama
delapan jam, mulai dari pukul 09.30 hingga pukul 17.30. Ribuan buruh dan
pekerja di Kabupaten Bekasi menguasai Jalan Tol Jakarta-Cikampek, terutama di
ruas Cikarang Barat Kilometer 31,800.
Turun ke jalannya para buruh dan pekerja itu
disulut oleh dikabulkannya sebagian gugatan Asosiasi Pengusaha Indonesia
(Apindo) atas Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Barat tentang Upah Minimum
Kabupaten/Kota (UMK) di Jawa Barat oleh hakim Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) Bandung, sehari sebelumnya.
SK Gubernur Jawa Barat menetapkan UMK di Jawa
Barat 2012. UMK Kabupaten Bekasi (UMK tertinggi) Rp 1,491 juta (kelompok I),
upah minimum kelompok II sebesar Rp 1,849 juta, dan upah minimum kelompok III
sebesar Rp 1,715 juta.
Penetapan itu lebih tinggi daripada penetapan
UMK sebelumnya. Itu sebabnya, ketika hakim PTUN Bandung mengabulkan sebagian
gugatan Apindo, ribuan buruh dan pekerja turun ke jalan. Pertanyaannya adalah
mengapa Gubernur Jawa Barat membuat surat keputusan tentang UMK di Jawa Barat
itu secara sepihak tanpa mengajak pengusaha yang nantinya harus membayar upah
tersebut? Jawabannya mudah, yakni kepentingan politik lokal. Semua itu
dilakukan untuk menarik simpati rakyat agar mendapatkan mayoritas suara dalam pemilihan
umum kepala daerah.
Uniknya, penyelesaian yang diupayakan
pemerintah pusat, dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, adalah
memilih untuk mengalah terhadap tuntutan buruh dengan memberlakukan SK Gubernur
Jawa Barat, dengan catatan perusahaan yang tidak mampu membayar UMK sesuai SK
Gubernur Jawa Barat akan dikecualikan.
Langkah buruh dan pekerja di Jawa Barat
langsung diikuti rekan-rekannya di Tangerang. Aliansi Serikat Buruh Serikat
Pekerja Tangerang Raya mengancam akan memblokade Jalan Tol Jakarta-Bandar Udara
Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Kamis pekan depan, jika tuntutan
mereka tidak dipenuhi. Mereka menuntut agar UMK dibayarkan sesuai dengan SK
Gubernur Banten yang lebih tinggi daripada penetapan sebelumnya.
Dan, sama seperti di Jawa Barat/Bekasi, kali
ini pun tuntutan buruh dan pekerja di Tangerang dipenuhi oleh pemerintah.
Catatannya pun sama, perusahaan yang tidak mampu akan dikecualikan dari
keharusan membayar upah buruh atau pekerja sesuai SK Gubernur.
Pertanyaannya, bagaimana jika perusahaan yang
tidak mampu membayar upah sesuai SK Gubernur itu berjumlah banyak? Apa yang
akan terjadi? Maukah buruh atau pekerja menerima itu? Jika tidak, siapa yang
akan membayar kekurangannya?
Pemerintah daerah yang semestinya menjadi
mediator malah memicu perselisihan antara buruh dan pengusaha dengan menetapkan
upah minimum yang melanggar mekanisme resmi. Dan, pemerintah pusat, dalam hal
ini Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, tidak dapat berbuat banyak.
Upah
yang Layak
Bahwa buruh dan pekerja harus diberikan upah
yang layak, itu sudah seharusnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun
mengatakan, kesejahteraan dan upah buruh harus semakin meningkat seiring dengan
perkembangan perekonomian dan dunia usaha. ”Secara moral, upah pekerja harus
semakin baik, layak, dengan demikian semakin adil,” ujarnya.
Namun, pertanyaannya, berapakah upah yang
dianggap layak? Menurut Presiden, upah yang layak itu ditetapkan dengan
memperhatikan kepentingan para pekerja dan didukung kemampuan perusahaan. Dengan
kata lain, kepentingan pekerja dan kemampuan perusahaan menjadi kata kunci.
Apabila kemampuan perusahaan tidak dijadikan bahan pertimbangan dalam
menentukan upah minimum para pekerja, dipastikan perusahaan itu akan tutup dan
meninggalkan Indonesia.
Seandainya perusahaan tutup dan meninggalkan
Indonesia, yang paling dirugikan adalah buruh atau pekerja. Alih-alih
mendapatkan kenaikan upah yang diterima, mereka malah akan kehilangan pekerjaan
yang secara otomatis juga berarti mereka kehilangan penghasilan. Apabila hal
ini terjadi, siapa yang akan bertanggung jawab?
Jika para kepala daerah, antara lain Gubernur
Jawa Barat dan Gubernur Banten, memutuskan untuk menaikkan upah minimum secara
sepihak, yang tentunya menyenangkan para buruh dan pekerja, bisa dipastikan
keputusan nantinya akan menjadi bumerang yang akan memukul balik para buruh dan
pekerja. Oleh karena itu, jika kenaikan upah buruh ditetapkan secara sepihak
tanpa mempertimbangkan kemampuan perusahaan, ketetapan yang menyenangkan buruh
atau pekerja itu juga akan menjadi ketetapan yang menyengsarakan buruh.
Akan jauh lebih baik jika gubernur atau
kepala daerah lain, yang mau membantu kehidupan buruh atau pekerja, turun
tangan memberantas ekonomi biaya tinggi yang membuat harga jual barang menjadi
mahal.
Ekonomi biaya tinggi, yang ditanggung
pengusaha, menjadikan pengusaha tidak mempunyai pilihan lain kecuali menekan
upah buruh untuk menurunkan harga jual barang produksi mengingat ekonomi biaya
tinggi yang harus dibayarkan pengusaha berada di luar kendali pengusaha,
seperti alur distribusi, logistik, dan harga energi.
Dalam kaitan itulah, jika ekonomi biaya
tinggi bisa diberantas, pengusaha tidak perlu menekan upah buruh untuk membuat
harga jual barang murah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar