Prinsip
Berkeyakinan yang Setara
Sukidi, KANDIDAT PHD DALAM STUDI AGAMA, UNIVERSITAS HARVARD,
CAMBRIDGE,
MASSACHUSETTS, AS
Sumber
: KOMPAS, 4
Februari 2012
Akhir-akhir ini, kehidupan beragama kita
sedikit memprihatinkan. Spirit harmoni dan toleransi kehidupan beragama yang
selama ini kita banggakan mulai pudar. Justru terjadi tren negatif ke arah
intoleransi, terutama terhadap kelompok minoritas, baik di dalam Islam maupun
di luar Islam.
Yang tampak di permukaan: kelompok minoritas
tak memperoleh hak kebebasan berkeyakinan yang setara. Padahal, keyakinan
adalah hak asasi yang diberikan Tuhan secara setara kepada setiap manusia.
Sebagai pemberian Tuhan, hak itu sangat personal, individual, dan melekat pada
diri setiap warga negara Indonesia yang beragama, terlepas dari apa pun bentuk
agamanya.
Agama sekadar instrumen formal untuk mewadahi
ekspresi keyakinan yang sangat personal, individual, dan spiritual antara
setiap warga negara dan Tuhan- nya. Jika keyakinan merupakan hak pemberian
Tuhan yang seta- ra kepada setiap manusia, konsekuensinya: setiap warga negara
punya kebebasan yang setara pula untuk menentukan jalan keselamatannya
masing-masing.
Dalam proses ke arah itu, seti- ap warga
negara sepantasnya toleran, egaliter, dan terbuka terha- dap setiap pilihan
jalan keselamatan yang ada, yang memungkinkan terjadinya perbedaan, karena
karakter dasar jalan keselamatan itu sendiri tak pernah tunggal dan monolitik,
tetapi banyak dan plural. Itu sebabnya, ada banyak jalan keselamatan yang
setara menuju Tuhan.
Otoritas
Terlibat Aktif
Pilihan atas jalan keselamatan bersifat
sukarela dan ditentukan oleh otoritas internal yang inheren dan melekat pada
otoritas tertinggi dan absolut dalam diri manusia: akal dan keyakinan nurani,
bukan atas dasar paksaan dari otoritas eksternal yang temporal dan relatif,
yakni otoritas sipil ataupun otoritas agama.
Yang terjadi akhir-akhir ini adalah kedua
otoritas itu justru terlibat aktif dalam menentukan jalan keselamatan yang
tunggal dan monolitik, tanpa peduli sama sekali dengan karakter dasar keyakinan
dan masyarakat Indonesia yang plural.
Tampaknya presiden terlampau santun untuk
tidak menegur menterinya yang sering bekerja di luar yurisdiksi otoritas sipil
dengan begitu gemar menuduh sesat keyakinan tertentu yang dianut warganya.
Jelas, tuduhan sesat itu bukan sekadar
pernyataan yang inkonstitusional menurut standar konstitusi kita dan peraturan
internasional yang sudah diratifikasi, tetapi juga bentuk penodaan,
pelanggaran, serta kejahatan moral dan spiritual terhadap hak asasi yang paling
fundamental dan berharga dalam diri setiap manusia: keyakinan.
Sebagai konsekuensi dari hak pemberian Tuhan
yang setara kepada setiap manusia, keyakinan yang dianut oleh setiap warga
Indonesia pun layak dan harus mendapatkan perlakuan yang setara pula tanpa ada
diskriminasi atas nama apa pun.
Di Amerika Serikat, misalnya, perlakuan
setara itu pernah ditunjukkan secara terbuka dan publik oleh Presiden Barack
Obama dengan memberikan kebebasan penuh kepada Muslim AS menjalankan agama dan
keyakinannya—juga mendirikan pusat keislaman. ”Sebagai warga negara dan sebagai
presiden,” demikianlah pidato Obama waktu itu, ”Saya percaya bahwa umat Islam
memiliki hak yang setara untuk mempraktikkan agama mereka seperti halnya orang
lain di negara ini.”
Dengan populasi mayoritas masyarakat AS yang
Protestan, Obama bukan tanpa sadar bahwa pidatonya justru akan menurunkan basis
dukungan politik yang sudah mulai menurun di tingkat masyarakat luas. Namun,
komitmen dan kesetiaan Obama pada konstitusi AS, yang menjamin hak dan
kebebasan berkeyakinan secara setara, jauh melebihi dari kalkulasi politik
pragmatis yang bersifat jangka pendek.
Sebagai agama minoritas, Islam saat ini
justru menjadi agama yang pertumbuhannya paling pesat di AS. Masjid dan
pusat-pusat keislaman tumbuh, berkembang, dan tersebar luas di kota-kota besar
AS. Hal ini terwujud berkat prinsip kebebasan berkeyakinan secara setara yang
dijunjung tinggi.
Anjuran
untuk SBY
Sungguh bijak dan mulia sekiranya presiden
kita secara terbuka dan publik memberikan jaminan dan kebijakan perlakuan yang
setara kepada setiap warga negara untuk pertama, dapat beribadah secara bebas
sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianutnya tanpa ada ancaman dan perasaan
takut.
Kedua, untuk dapat mendirikan rumah ibadah
tanpa ada hambatan perizinan sedikit pun. Di saat-saat lapar dan haus, kita
ingin segera makan dan minum agar kesehatan hidup terjaga secara fisik.
Maka, begitu pula fungsi rumah ibadah bagi
pemeluknya, persis sebagai tempat untuk melepas rasa dahaga dan lapar secara
spiritual sehingga kesehatan secara spiritual juga terjaga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar