Setahun
Musim Semi Arab
Hasibullah Satrawi, PENGAMAT POLITIK TIMUR TENGAH
PADA
MODERATE MUSLIM SOCIETY (MMS) JAKARTA
Sumber
: KOMPAS, 4
Februari 2012
Pada Januari lalu Musim Semi Arab (Ar-Rabi’
Al-’Arabiy) telah setahun berlangsung.
Revolusi yang mengguncang dunia Arab dalam
setahun terakhir itu berawal dari gerakan solidaritas rakyat Tunisia atas aksi
bakar diri seorang penjual sayur-mayur bernama Muhammed Bouazizi. Gerakan ini
dimulai pada 18 Desember 2010 dan berhasil melengserkan rezim Ben Ali pada 14
Januari 2011.
Dari Tunisia, revolusi dunia Arab kemudian
menyebar ke negara Arab lain dan berjaya mendongkel pemerintahan otoriter di
Mesir dan Libya. Bahkan, bara revolusi terus berkobar hingga sekarang di Yaman,
Suriah, dan Bahrain.
Melawan
Rezim Otoriter
Sejauh ini ada dua tahap revolusi yang
berkembang di dunia Arab.
Pertama, revolusi melawan rezim otoriter
seperti yang masih terjadi di Yaman dan Suriah. Revolusi pada tahap ini masih
membutuhkan waktu panjang, tenaga, dan darah untuk melengserkan rezim diktator
Abdullah Saleh dan Bashar al-Assad karena keduanya bersikukuh mempertahankan
kekuasaan mereka. Korban jiwa di Suriah sudah lebih dari 6.000 orang.
Masyarakat internasional tetap terpecah,
bahkan gamang mengayunkan satu langkah pasti untuk menyikapi krisis politik di
sana. Dalam konteks krisis politik di Suriah, misalnya, negara-negara yang
berhubungan bisnis dengan rezim Bashar al-Assad, seperti Rusia dan China, tetap
berusaha menyelamatkan pemerintahan yang ada. Ini terlihat jelas dari sikap
Rusia dan China di tingkat persidangan PBB yang menolak solusi apa pun yang
bersifat intervensi militer pihak asing.
Sebaliknya, Amerika Serikat beserta sekutunya
terus berusaha mendongkel pemerintahan Bashar al-Assad. Bahkan, sekutu AS terus
mendesak PBB menjatuhkan sanksi keras terhadap Pemerintah Suriah, termasuk
sanksi zona larangan terbang seperti yang dilakukan terhadap Libya pada era
Khadafy.
Dalam konteks krisis politik di Yaman,
pandangan masyarakat internasional—khususnya sekutu AS—lebih tak menentu lagi.
Di satu sisi mereka kerap menyerukan agar Abdullah Saleh segera mundur dan
melaksanakan transisi kekuasaan secara damai. Di sisi lain, mereka tetap
membiarkan Abdullah Saleh bebas tanpa tekanan. Bahkan, mereka tampak mendukung
syarat yang diajukan Abdullah Saleh untuk mundur dari bangku Presiden Yaman: bebas
dari dakwaan hukum apa pun.
Itulah yang memicu kembali kemarahan
masyarakat Yaman dalam beberapa minggu terakhir.
Kegamangan AS bersama sekutunya dalam krisis
politik di Yaman tak lepas dari kepentingan mereka. Kepentingan untuk tetap
bisa mengontrol dan menguasai jaringan terorisme yang ada di Yaman. Apalagi,
kelompok pendukung Osama bin Laden di Yaman semakin tak terkontrol semenjak
negara itu dilanda badai revolusi. Inilah yang bikin langkah AS dan sekutunya
lunglai menyikapi krisis di Yaman.
Kedua, revolusi pada tahap melawan
disintegrasi. Dibandingkan dengan revolusi pada tahap pertama, revolusi pada
tahap kedua ini bisa dikatakan lebih maju. Tunisia, Mesir, dan Libya telah
berhasil melengserkan rezim diktator masing-masing.
Runtuhnya rezim otoriter tak berarti akhir
dari perjalanan revolusi. Sebaliknya, runtuhnya rezim otoriter justru menjadi
awal dari sejumlah perjuangan berat yang harus dihadapi oleh kekuatan revolusi:
disintegrasi.
Ini terjadi karena runtuhnya rezim otoriter
tidak hanya berarti kemenangan dan kebebasan bagi para pemuda pejuang revolusi,
tetapi juga berarti kebebasan dan kemenangan bagi semua pihak, mulai dari
pemuda pejuang revolusi hingga kelompok agamis yang dikekang pada masa
kekuasaan sang diktator.
Yang saat ini terjadi di Mesir bisa dijadikan
contoh paling baru mengenai kemenangan yang dialami kelompok agamais yang
dipaksa tiarap pada masa rezim otoriter Mubarak. Setelah kekuasaan Mubarak
berakhir, kelompok agamais di Mesir—salafi dan Ikhwan Muslimin—mendapat
kebebasan mewujudkan cita-cita perjuangan mereka. Kedua kelompok agamais di
Mesir itu berhasil memenangi pemilu legislatif secara mutlak.
Kemenangan kubu agamais di dunia Arab
pascarevolusi menjadi persoalan tersendiri. Tidak semata-mata karena mereka
dicurigai akan mengubah konstitusi dan menjadikan Mesir, misalnya, negara
agama.
Juga bukan hanya karena kalangan agamais tak
ubahnya penumpang gelap dalam gerakan revolusi yang dimotori kalangan pemuda
kelas menengah yang kebarat-baratan. Lebih dari itu: kelompok agamais membawa
ideologi eksklusif yang bercorak sektarianistik hingga berlangsung pelbagai
macam konflik sektarian seperti yang kerap terjadi di Mesir mutakhir.
Seiring dengan konflik sektarian yang terus
berlangsung, disintegrasi bangsa acap tak terelakkan. Dalam konteks seperti
ini, bukan kebaikan yang didapatkan dari revolusi Arab itu, melainkan keburukan
yang tak kalah parah dibanding semua keburukan rezim otoriter yang dilengserkan
berdarah-darah.
Tak
Banyak Berubah
Pertanyaannya, seperti apa revolusi dunia
Arab ke depan? Pada hemat saya, tak banyak perubah- an. Setidaknya sepanjang
tahun 2012 ini. Tak tertutup kemungkinan revolusi dunia Arab kian berkembang
dan menyebar ke negara Arab yang lain karena hampir semua negara Arab mengidap
penyakit revolusi yang sama: kemiskinan dan kediktatoran yang memberangus
kebebasan.
Yang terjadi di dunia Arab dalam setahun
terakhir masuk dalam kategori ”revolusi oleh kemiskinan”. Itu sebabnya revolusi
yang terjadi hanya melanda negara-negara miskin, seperti Tunisia, Mesir, Yaman,
dan Suriah. ”Revolusi oleh kediktatoran” sejauh ini belum terjadi.
Revolusi kemiskinan terjadi lebih awal
dibandingkan dengan revolusi kediktatoran karena kelaparan lebih kuat daripada
kediktatoran dalam mendorong seseorang melakukan hal-hal ”yang tak mungkin”
menjadi mungkin. Jika revolusi kemiskinan telah menerjang negara-negara Arab
miskin, revolusi kediktatoran kemungkinan besar akan menerjang negara Arab kaya
yang tak memberi kebebasan kepada rakyatnya seperti di kawasan Teluk dan
sekitarnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar