Sabtu, 04 Februari 2012

Setahun Musim Semi Arab


Setahun Musim Semi Arab
Hasibullah Satrawi, PENGAMAT POLITIK TIMUR TENGAH
PADA MODERATE MUSLIM SOCIETY (MMS) JAKARTA
Sumber : KOMPAS, 4 Februari 2012


Pada Januari lalu Musim Semi Arab (Ar-Rabi’ Al-’Arabiy) telah setahun berlangsung.
Revolusi yang mengguncang dunia Arab dalam setahun terakhir itu berawal dari gerakan solidaritas rakyat Tunisia atas aksi bakar diri seorang penjual sayur-mayur bernama Muhammed Bouazizi. Gerakan ini dimulai pada 18 Desember 2010 dan berhasil melengserkan rezim Ben Ali pada 14 Januari 2011.

Dari Tunisia, revolusi dunia Arab kemudian menyebar ke negara Arab lain dan berjaya mendongkel pemerintahan otoriter di Mesir dan Libya. Bahkan, bara revolusi terus berkobar hingga sekarang di Yaman, Suriah, dan Bahrain.

Melawan Rezim Otoriter

Sejauh ini ada dua tahap revolusi yang berkembang di dunia Arab.
Pertama, revolusi melawan rezim otoriter seperti yang masih terjadi di Yaman dan Suriah. Revolusi pada tahap ini masih membutuhkan waktu panjang, tenaga, dan darah untuk melengserkan rezim diktator Abdullah Saleh dan Bashar al-Assad karena keduanya bersikukuh mempertahankan kekuasaan mereka. Korban jiwa di Suriah sudah lebih dari 6.000 orang.

Masyarakat internasional tetap terpecah, bahkan gamang mengayunkan satu langkah pasti untuk menyikapi krisis politik di sana. Dalam konteks krisis politik di Suriah, misalnya, negara-negara yang berhubungan bisnis dengan rezim Bashar al-Assad, seperti Rusia dan China, tetap berusaha menyelamatkan pemerintahan yang ada. Ini terlihat jelas dari sikap Rusia dan China di tingkat persidangan PBB yang menolak solusi apa pun yang bersifat intervensi militer pihak asing.

Sebaliknya, Amerika Serikat beserta sekutunya terus berusaha mendongkel pemerintahan Bashar al-Assad. Bahkan, sekutu AS terus mendesak PBB menjatuhkan sanksi keras terhadap Pemerintah Suriah, termasuk sanksi zona larangan terbang seperti yang dilakukan terhadap Libya pada era Khadafy.

Dalam konteks krisis politik di Yaman, pandangan masyarakat internasional—khususnya sekutu AS—lebih tak menentu lagi. Di satu sisi mereka kerap menyerukan agar Abdullah Saleh segera mundur dan melaksanakan transisi kekuasaan secara damai. Di sisi lain, mereka tetap membiarkan Abdullah Saleh bebas tanpa tekanan. Bahkan, mereka tampak mendukung syarat yang diajukan Abdullah Saleh untuk mundur dari bangku Presiden Yaman: bebas dari dakwaan hukum apa pun.

Itulah yang memicu kembali kemarahan masyarakat Yaman dalam beberapa minggu terakhir.

Kegamangan AS bersama sekutunya dalam krisis politik di Yaman tak lepas dari kepentingan mereka. Kepentingan untuk tetap bisa mengontrol dan menguasai jaringan terorisme yang ada di Yaman. Apalagi, kelompok pendukung Osama bin Laden di Yaman semakin tak terkontrol semenjak negara itu dilanda badai revolusi. Inilah yang bikin langkah AS dan sekutunya lunglai menyikapi krisis di Yaman.

Kedua, revolusi pada tahap melawan disintegrasi. Dibandingkan dengan revolusi pada tahap pertama, revolusi pada tahap kedua ini bisa dikatakan lebih maju. Tunisia, Mesir, dan Libya telah berhasil melengserkan rezim diktator masing-masing.

Runtuhnya rezim otoriter tak berarti akhir dari perjalanan revolusi. Sebaliknya, runtuhnya rezim otoriter justru menjadi awal dari sejumlah perjuangan berat yang harus dihadapi oleh kekuatan revolusi: disintegrasi.

Ini terjadi karena runtuhnya rezim otoriter tidak hanya berarti kemenangan dan kebebasan bagi para pemuda pejuang revolusi, tetapi juga berarti kebebasan dan kemenangan bagi semua pihak, mulai dari pemuda pejuang revolusi hingga kelompok agamis yang dikekang pada masa kekuasaan sang diktator.

Yang saat ini terjadi di Mesir bisa dijadikan contoh paling baru mengenai kemenangan yang dialami kelompok agamais yang dipaksa tiarap pada masa rezim otoriter Mubarak. Setelah kekuasaan Mubarak berakhir, kelompok agamais di Mesir—salafi dan Ikhwan Muslimin—mendapat kebebasan mewujudkan cita-cita perjuangan mereka. Kedua kelompok agamais di Mesir itu berhasil memenangi pemilu legislatif secara mutlak.

Kemenangan kubu agamais di dunia Arab pascarevolusi menjadi persoalan tersendiri. Tidak semata-mata karena mereka dicurigai akan mengubah konstitusi dan menjadikan Mesir, misalnya, negara agama.

Juga bukan hanya karena kalangan agamais tak ubahnya penumpang gelap dalam gerakan revolusi yang dimotori kalangan pemuda kelas menengah yang kebarat-baratan. Lebih dari itu: kelompok agamais membawa ideologi eksklusif yang bercorak sektarianistik hingga berlangsung pelbagai macam konflik sektarian seperti yang kerap terjadi di Mesir mutakhir.

Seiring dengan konflik sektarian yang terus berlangsung, disintegrasi bangsa acap tak terelakkan. Dalam konteks seperti ini, bukan kebaikan yang didapatkan dari revolusi Arab itu, melainkan keburukan yang tak kalah parah dibanding semua keburukan rezim otoriter yang dilengserkan berdarah-darah.

Tak Banyak Berubah

Pertanyaannya, seperti apa revolusi dunia Arab ke depan? Pada hemat saya, tak banyak perubah- an. Setidaknya sepanjang tahun 2012 ini. Tak tertutup kemungkinan revolusi dunia Arab kian berkembang dan menyebar ke negara Arab yang lain karena hampir semua negara Arab mengidap penyakit revolusi yang sama: kemiskinan dan kediktatoran yang memberangus kebebasan.

Yang terjadi di dunia Arab dalam setahun terakhir masuk dalam kategori ”revolusi oleh kemiskinan”. Itu sebabnya revolusi yang terjadi hanya melanda negara-negara miskin, seperti Tunisia, Mesir, Yaman, dan Suriah. ”Revolusi oleh kediktatoran” sejauh ini belum terjadi.

Revolusi kemiskinan terjadi lebih awal dibandingkan dengan revolusi kediktatoran karena kelaparan lebih kuat daripada kediktatoran dalam mendorong seseorang melakukan hal-hal ”yang tak mungkin” menjadi mungkin. Jika revolusi kemiskinan telah menerjang negara-negara Arab miskin, revolusi kediktatoran kemungkinan besar akan menerjang negara Arab kaya yang tak memberi kebebasan kepada rakyatnya seperti di kawasan Teluk dan sekitarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar