Rasionalitas
Korupsi
Arif Susanto, DOSEN FISIPOL UNIVERSITAS GADJAH MADA;
DIREKTUR EKSEKUTIF LEMBAGA SURVEI INDONESIA
Sumber
: KOMPAS, 21 Februari 2012
Di tengah maraknya korupsi, kita kembali
diingatkan kalimat ”Kekuasaan cenderung disalahgunakan”. Pernyataan anggota
Parlemen Inggris, Lord Acton (1834-1902), itu memang berlaku abadi. Tindakan
korupsi hanya mungkin dilakukan mereka yang punya kekuasaan.
Namun, kita masih perlu penjelasan tentang
motif dasar yang menggerakkan orang untuk korupsi. Jika problem di atas
diajukan kepada Thomas Hobbes (1588-1679), jawabannya: karena manusia cenderung
pada pemenuhan hasrat secara berkelanjutan. Apa jadinya jika kekuasaan negara
dikelola dengan hasrat yang potensial merusak?
Hasrat Manusia
Hobbes adalah pelopor pemikiran modern
tentang kepentingan diri. Ia tak memandang negatif rasa cinta diri manusia,
tetapi justru memanfaatkannya untuk mewujudkan suatu tertib sosial.
Hobbes percaya manusia memberikan prioritas
pada upaya perlindungan diri. Demi menghasilkan suatu tatanan politik, ia
menganjurkan pertukaran kepatuhan pada kekuasaan negara dengan rasa aman.
Menurut Hobbes, manusia punya kebebasan
bertindak dan emosi adalah yang menggerakkan tindakan. Dalam tindakan dan emosi
terdapat rasa cinta dan benci. ”Sesuatu yang dikehendaki orang adalah apa yang
mereka cintai dan sesuatu yang dibenci adalah apa yang tidak mereka sukai”
(Leviathan, Bab VI, halaman 32).
Atas dasar itulah orang kemudian membuat
penilaian: segala yang memenuhi hasrat kesenangan dipandang baik dan segala
yang tidak dikehendaki dianggap buruk. Kita dapat mengambil contoh: terpandang
itu baik, terhina itu buruk; kenikmatan itu baik, penderitaan itu buruk.
Dengan segala hasrat untuk memenuhi
kepentingan dirinya, manusia sulit untuk tenang dalam kepuasan. Obyek hasrat
seseorang bukanlah semata untuk menikmati sesuatu sekali dan sekejap, melainkan
untuk keberlanjutan pemenuhan hasrat. ”Kecenderungan umum manusia adalah hasrat
abadi dari penguasaan yang satu menuju penguasaan yang lain. Hanya berhenti saat
dia meninggal” (Leviathan, Bab IX, halaman 61).
Menimbang bahwa perhatian pada kesejahteraan
berkelanjutan merupakan kepentingan sekaligus landasan bagi tindakan manusia,
David Gauthier (1969:7) berkesimpulan, ”Manusia itu mementingkan diri sendiri”.
Jika demikian, apa konsekuensinya? Karena
kepentingan diri terbentuk melalui hasrat emosional—yang adalah penggerak
tindakan—rasionalitas itu terikat pada kepentingan diri. Artinya, kepentingan
diri jadi pertimbangan pokok perspektif personal seseorang.
Jika cara bernalar semacam itu kita bawa ke
ruang kekuasaan, koruptor akan berpikir demikian: ”jika korupsi itu
menguntungkan, bukankah itu suatu tindakan yang rasional?”
Kalau rasional dipahami sebagai segala yang
memberikan kenikmatan bagi seseorang, dalam perspektif yang sempit niscaya
simpulan tersebut diterima oleh manusia-manusia Hobbesian.
Apakah artinya Hobbes memberikan justifikasi
terhadap korupsi? Jelas tidak. Ia sekadar menggambarkan, tindakan manusia
sesungguhnya dilandasi kepentingan dirinya. Maksimisasi hasrat malah melahirkan
perselisihan.
Ia mengidentifikasi tiga prinsip yang
menyebabkan perselisihan: persaingan demi mendapatkan keuntungan,
ketidakpercayaan yang memunculkan kebutuhan rasa aman, dan kejayaan yang
diperjuangkan demi nama besar. Persoalannya, perselisihan tersebut dapat
menghasilkan kehancuran—perang setiap orang melawan setiap orang—manakala
negara tidak hadir dengan segenap kedaulatannya.
Negara Ahistoris
Kita telah paham manusia Hobbesian adalah
manusia yang mengedepankan pemenuhan hasrat secara berkelanjutan. Dalam kasus
korupsi, tindakan memperkaya diri atau orang lain melalui penyalahgunaan
kekuasaan merupakan bagian dari pemenuhan hasrat, dan itu rasional.
Namun, kita mesti cermat membedakan antara
rasional dan beralasan (reasonable) untuk paham bahwa korupsi itu meski
rasional tetap tidak dibenarkan.
John Rawls (2008:54) menjelaskan rasional
biasa dipahami sebagai logis atau bertindak demi kebaikan atau kepentingan
seseorang, sementara reasonable lebih dimengerti sebagai berpikiran terbuka,
bijak, dan mampu mempertimbangkan pandangan yang berlainan.
Dalam perkara ini, rasional menyangkut
pemajuan kebaikan atau kemanfaatan bagi seseorang atau tiap-tiap orang yang
bekerja sama, sementara reasonable lebih berkenaan dengan tindakan bersama.
Dengan sudut pandang tersebut, sebagai
tindakan memperkaya diri, korupsi itu masuk akal; sebagai tindakan
penyalahgunaan kekuasaan, korupsi itu tidak ada pembenarannya.
Meski jelas tidak dapat dibenarkan, korupsi
merupakan salah satu persoalan besar yang tidak mampu dituntaskan seluruh rezim
pasca-Soeharto.
Ketika sebagian pihak membanggakan stabilitas
demokrasi Indonesia kontemporer, ironis bahwa stabilitas terbangun terutama
oleh pertukaran kepentingan (yang antara lain membiakkan korupsi) di kalangan
elite. Pada beberapa masa terakhir, korupsi semakin dalam memasuki ruang
kekuasaan dan menggerogoti integritasnya.
Secara formal, negara tetap ada dan
beroperasi. Namun, kekuasaan negara tak banyak memproduksi kebijakan dan
keputusan yang bersumber dari—sekaligus diorientasikan pada—kepentingan bersama
rakyat.
Tindakan negara lebih kerap menunjukkan
perilaku strategis yang dijalankan menggunakan rasionalitas kekuasaan; sesuatu
dipandang baik sejauh memberikan kontribusi bagi penguatan kekuasaan. Negara
menjadi ahistoris karena pengelolaan kekuasaan cenderung menjauh dari
pertimbangan yang reasonable.
Mentalitas manusia Hobbesian—yang
mengedepankan kepentingan diri—dikembangkan dalam menjalankan negara sehingga
negara semakin terasing dari masalah publik.
Kalau gejala ini terus menguat, negara tak
akan mampu menegaskan otoritasnya untuk memperoleh kepatuhan warga. Ini
merupakan suatu pintu masuk bagi negara gagal; suatu kebangkrutan bagi
penyelenggaraan kekuasaan.
Demi menghindari itu terjadi, elite
sepatutnya memulihkan akuntabilitas dan integritas sebagai bagian lekat dari
kekuasaan.
Akuntabilitas dan integritas tidak ditentukan
oleh besarnya dukungan dalam pemilu atau dalam survei opini. Keduanya lebih
ditentukan tingkat pertanggungjawaban kekuasaan terhadap publik dan
terpenuhinya standar moralitas.
Kalau Presiden mengeluhkan tidak berjalannya
sejumlah instruksi, patut dipahami bahwa tentang kekuasaan, tak ada yang lebih
efektif dibandingkan penyelenggaraan negara secara akuntabel dan berintegritas.
Jadi, untuk menyelesaikan perkara ini, yang
pertama kali perlu diperiksa adalah akuntabilitas dan integritas kekuasaan itu
sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar