Nasionalisme
Abdullah bin Nuh
Saidiman Ahmad, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber
: JIL, 3 Februari 2012
Bin Nuh menulis: “Anda adalah saudaraku.
Apapun keadaan anda dan apapun kebangsaan anda. Apapun bahasa anda dan
bagaimanapun warna kulit anda. Anda saudaraku walaupun anda tidak kenal aku dan
tidak tahu siapa bundaku. Walaupun aku tidak pernah tinggal serumah dengan anda
dan belum pernah seharipun hidup bersama anda….”
Bukan jalan benar yang dipersengketakan. Nama
jalan itulah yang diperdebatkan. Di jalan itu berdiri sebuah gereja setengah
jadi milik Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin. Gereja itu disegel.
Walikota Bogor pelakunya.
Nama jalan di mana gereja setengah jadi itu
berdiri adalah KH Abdullah bin Nuh. Ia adalah seorang tokoh besar.
Sumbangsihnya tidak tanggung-tanggung. Ia terlibat dalam proses pendirian
Negara Republik Indonesia. Ia adalah salah satu anggota Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP). Ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA)
bentukan Jepang. Ia bahkan menjadi komandan batalyon PETA atau daidancho.
Jabatan komandan batalyon ini ia pegang terus ketika ia bergabung dengan Badan
Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Ketika tentara NICA masuk kembali ke
Indonesia, pemerintah pusat pindah ke Yogyakarta. Salah satu yang diburu oleh
tentara NICA adalah KH Abdullah bin Nuh. Ia kemudian ikut hijrah ke Yogyakarta.
Di Yogyakarta inilah bersama sejumlah tokoh nasional ia memprakarsai pendirian
Sekolah Tinggi Islam yang kini menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Di
kota ini pula ia mengembangkan siaran berbahasa Arab Radio Republik Indonesia
(RRI).
Radio Republik Indonesia berbahasa Arab punya
peranan besar dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dari seksi bahasa Arab
inilah berita mengenai kemerdekaan RI tersiar ke manca negara, terutama ke
negara-negara Arab. Bukan kebetulan bahwa negara paling awal yang memberi
pengakuan terhadap kemerdekaan Indonesia adalah Mesir, kemudian disusul negara
Arab lainnya. Pada titik ini, menurut M. Imdadun Rakhmat (peneliti KH Abdullah
bin Nuh), jejak sang kiai di dunia jurnalisme sangat penting. Ia bukan sekedar
wartawan biasa, melainkan seorang wartawan pejuang.
Yang menarik dari cerita perjuangan ini
adalah bahwa sosok Bin Nuh adalah seorang nasionalis pembela negara. Kiprah
keulamaannya tidak menghalangi dia untuk menjadi seorang nasionalis. Sepanjang
hidupnya, Bin Nuh memang dikenal sebagai seorang kiai besar. Ia membangun
perguruan-perguruan tinggi dan sejumlah pesantren, tempat di mana lahir
ulama-ulama. Tak heran kalau nama Abdullah bin Nuh sering disebut sebagai guru
para ulama. Oleh para pengikutnya, ia dipanggil “Mama.”
Meski memiliki posisi keagamaan yang istimewa
di tengah umat Islam, ia sama sekali tidak tertarik ikut-ikutan dalam gerakan
pendirian negara Islam oleh Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII).
Padahal basis utama gerakan ini adalah Jawa Barat, daerah yang juga menjadi
basis gerakan Bin Nuh. Alih-alih bergabung dengan DI/TII, Bin Nuh justru terus
menjadi komandan batalyon BKR dan TKR, membentuk seksi bahasa Arab RRI untuk
mengabarkan kemerdekaan Indonesia, ikut hijrah ke Yogyakarta, mendirikan
universitas dan lembaga pendidikan, menjadi Lektor Kepala atau Dekan Fakultas
Sastra Universitas Indonesia, dan sederat aktivitas lain yang mendukung
keutuhan negara bangsa Republik Indonesia.
Jika di kemudian hari nama Bin Nuh dikaitkan
dengan sejumlah gerakan keagamaan internasional yang memiliki agenda
penghancuran negara bangsa Indonesia, itu adalah suatu kecerobohan besar. A
historis. Faktanya, hampir seluruh hidup sang kiai dicurahkan untuk mendirikan
dan membangun negara bangsa bernama Indonesia ini.
Dalam hal pemikiran keagamaan, Bin Nuh tampak
dekat dengan pemikiran yang berkembang dalam tradisi NU. Ia, misalnya, menulis
satu buku yang sejak halaman judul menetapkan posisi pemikirannya. “Ana
Muslimun Sunniyyun Syafi’iyyun” (Saya Seorang Muslim Sunni Pengikut Syafi’i).
Aliran teologi Sunni dan mazhab hukum Syafi’i sangat populer di Indonesia dan
menjadi anutan masyarakat Nahdlatul Ulama. Pada posisi ini, Bin Nuh sangat jauh
dari sosok tokoh Muslim tanpa mazhab seperti yang dikembangkan oleh kaum Salafi
Wahhabis. Kalau ada gerakan Islam Wahhabi apalagi jihadis Salafi yang
menisbatan gerakannya kepada Bin Nuh, lagi-lagi itu adalah klaim sepihak yang
tidak memiliki dasar faktual.
Lebih jauh, Bin Nuh memiliki kedekatan
keagamaan dengan kaum sufi, sesuatu yang sangat ditentang oleh kelompok
keagamaan Wahhabis. Salah satu karya besar Bin Nuh adalah Diwan bin Nuh. Buku
itu berisi 118 qasidah (nyanyian puji-pujian) yang terdiri dari 2.731 bait
sajak.
Dalam sebuah kesempatan wawancara untuk
talkshow Agama dan Masyarakat KBR 68H dan Tempo TV, KH Mustafa bin Abdullah bin
Nuh membantah jika ayahandanya dikaitkan dengan penolakan sekelompok orang
terhadap pembangunan gereja Taman Yasmin. Karakter dan jejak pemikiran Bin Nuh
sangat tidak sejalan dengan intoleransi terhadap pembangunan gereja. Ada begitu
banyak jalan yang menggunakan nama tokoh agama tertentu dan di situ ada rumah
ibadah agama lain.
Dalam buku tentang persaudaraan Islam yang
terbit tahun 1925, Bin Nuh menulis: “Anda adalah saudaraku. Apapun keadaan anda
dan apapun kebangsaan anda. Apapun bahasa anda dan bagaimanapun warna kulit
anda. Anda saudaraku walaupun anda tidak kenal aku dan tidak tahu siapa
bundaku. Walaupun aku tidak pernah tinggal serumah dengan anda dan belum pernah
seharipun hidup bersama anda di bawah satu atap langit.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar