Implikasi
Penempatan Pasukan AS di Darwin
Singgih Nugroho, PENELITI
DI PERCIK, LEMBAGA PENELITIAN SOSIAL, DEMOKRASI, DAN KEADILAN SOSIAL DI
SALATIGA
Sumber
: SINAR HARAPAN, 3
Februari 2012
Kunjungan Presiden AS Barack Obama ke Bali
pada November 2011 untuk menghadiri Pertemuan Tingkat Tinggi ASEAN dan Asia
Timur ke-19 merupakan lawatan resmi keduanya ke Indonesia dalam perannya
sebagai presiden.
Pada November 2010 ia menyampaikan pidato di
Universitas Indonesia di mana ia memuji Indonesia karena berhasil
merekonsiliasikan Islam dan demokrasi, serta mampu mengelola keragaman secara
demokratis.
Pujian ini tidak pelak disambut baik banyak
orang. Namun, banyak orang Indonesia merasa kata-katanya itu berseberangan
dengan kebijakan AS baru-baru ini di kawasan dan merasa bahwa ada banyak lagi
yang harus dilakukan untuk memperbaiki hubungan di antara kedua negara.
Akhir November lalu, sebelum kedatangannya di
Bali, Obama mengumumkan penempatan 2.500 pasukan marinir di Darwin, Australia,
yang hanya berjarak 800 kilometer dari Indonesia, untuk pertama kalinya sejak
Perang Dunia II.
Keputusan itu mengejutkan dan mencemaskan
banyak orang Indonesia. Meski sebagian besar pengamat dan politikus menganggap
langkah itu terkait dengan hubungan AS dengan China, sebagian orang khawatir
kehadiran pasukan AS akan menciptakan ketegangan dan ketidakpercayaan di antara
kedua negara.
Bagi banyak orang, kehadiran militer AS yang
begitu dekat dengan tepi wilayah Indonesia bisa dipandang sebagai sesuatu yang
membuat kita tidak nyaman.
Pada pertemuan tingkat tinggi di Bali itu,
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengomentari, “Yang tidak saya sukai dari
rencana AS itu adalah jika penempatan militer di Darwin ini nantinya berkembang
menjadi upaya untuk memancing reaksi dan kontra reaksi yang justru menciptakan
siklus ketegangan dan rasa curiga atau tidak percaya.”
Yang menyedihkan, ketidakpercayaan ini telah
muncul. Para diplomat AS dan Australia di Indonesia telah secara terbuka
menyatakan penempatan ini tidak ditujukan untuk menambah ketegangan di kawasan
dan murni untuk tujuan pengelolaan bencana kemanusiaan.
Namun, penjelasan itu secara umum ditanggapi
dengan rasa tidak yakin, di mana para analis dan pengamat terus menyuarakan
kecurigaan terkait motif-motif penempatan pasukan tersebut.
Jadi Bahan Propaganda
Situasi ketidakpercayaan itu telah berdampak
ke tingkat akar rumput di Indonesia. Penempatan pasukan AS menjadi tambahan
dalih bagi propaganda yang terus dilancarkan kelompok-kelompok radikal di
Indonesia bahwa AS memiliki tujuan-tujuan imperialis bila datang ke Indonesia.
Propaganda seperti itu pada gilirannya bisa
mempersulit masyarakat sipil Indonesia untuk menghadapi ideologi-ideologi
eksklusif dan memajukan pluralisme di dalam negeri.
Di kawasan Asia Pasifik, banyak orang melihat
sarana diplomatik dan politik sama pentingnya dengan tujuan akhir. Karenanya,
sebagian besar orang Indonesia sejalan dengan kepentingan-kepentingan AS di
kawasan namun tidak setuju dengan penggunaaan demonstrasi kekuatan militer
untuk mencapainya.
Banyak orang Indonesia mengagumi sistem
pemerintahan, komunitas bisnis, dan budaya AS, dan tidak punya masalah dengan
publik AS secara umum.
Pada saat yang sama, mereka tidak setuju
dengan beberapa unsur kebijakan luar negeri AS, khususnya orang-orang yang
mereka lihat menerapkan standar ganda ketika menyangkut penegakan HAM pada satu
sisi, dan kebijakan bisnis dan korporat pada sisi lain. Peluang untuk
benar-benar memahami AS dan orang Amerika hanya dimiliki sekelompok kecil
rakyat Indonesia.
Kerenggangan ini bisa diatasi jika
masing-masing dari kedua pihak lebih peka dengan nilai-nilai dan kerangka acuan
pihak lain. Media dan figur publik di kedua pihak bisa menahan diri dari
menyajikan opini yang masih mentah dan kurang berdasar sebagai fakta.
Pendekatan diplomatik di antara kedua
pemerintahan bisa mendorong kerja sama yang lebih langsung antara warga Amerika
dan warga Indonesia dalam beberapa tingkatan.
Kegiatan itu bisa berbentuk kegiatan
pertukaran pemerintahan, pendidikan, dan masyarakat sipil yang memungkinkan
orang Amerika dan Indonesia berbagi pengalaman kehidupan keseharian mereka dan
saling menatap dengan wajah yang baik, fair, bersahabat dan penuh perhatian.
Skeptisisme dan ketidakpercayaan terus
menghiasi tulisan-tulisan di Indonesia tentang aksi AS di Darwin. Tetapi jika
para pemimpin di kedua pihak bisa menggunakan hal itu sebagai peluang untuk
melihat hubungan AS-Indonesia secara lebih saksama, itu bisa membuahkan jalinan
hubungan-hubungan baru yang berdasarkan kepentingan bersama dan kemauan baik,
bukannya kecurigaan atau ketakutan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar