Menggugat
UU Zakat
Yusuf Wibisono, WAKIL KEPALA PEBS
FE-UI
Sumber
: REPUBLIKA, 18
Februari 2012
Pada
Senin (31/10/ 2011), di Harian Republika ini, penulis telah menguraikan
kelemahan-kelemahan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, atau tiga
hari setelah UU ini disahkan pada Jumat (28/10/2011). Beberapa diskusi dan
temuan lapangan dalam tiga bulan terakhir semakin menguatkan penulis bahwa UU
ini sangat berpotensi melemahkan dunia zakat nasional ke depan yang saat ini
sangat ditopang oleh lembaga amil zakat (LAZ) yang dikelola masyarakat sipil.
Sebagai
misal, antisipasi keten tuan “paling mematikan” dalam UU tersebut, yaitu
keharusan LAZ didirikan oleh ormas Islam. Berbagai LAZ telah merencanakan dan
bahkan telah melakukan exit stra tegy, seperti memperoleh status kelembagaan
non-LAZ dari lembaga pemerintahan non-Kemenag, bahkan dari lembaga internasio
nal. LAZ di daerah juga telah ba nyak yang mulai “tiarap” menyi kapi ketentuan
“kriminalisasi” dalam UU ini, yaitu amil yang ti dak memiliki izin diancam
pidana penjara dan/atau denda. Bahkan, sebagian amil di daerah telah mulai beralih profesi karena me lihat
tidak ada masa depan di LAZ.
Karena
itu, penting untuk segera melakukan upaya-upaya perbaikan sebelum dampak
destruktif UU ini meluas. Penulis melihat uji materiil atas UU ini sangat layak
dilakukan untuk mendapatkan tabayyun konstitusi.
Hak Membangun Masyarakat
Pasal 5, 6, dan 7 UU No 23/2011 ini telah
menyentralisasi pengelolaan zakat nasional sepenuhnya di tangan
pemerintah, yaitu di Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Dan, di
saat yang sama, Pasal 17, 18, dan 19 UU ini telah menyubordinasikan kedudukan lembaga
amil zakat bentukan masyarakat sipil, yaitu LAZ yang berada
dibawah Baznas dengan menyatakan bahwa eksistensi LAZ hanya sekadar membantu Baznas.
Dengan logika sentralisasi dan subordinasi di atas maka UU secara sistematis
memarginalkan, bahkan berpotensi mematikan LAZ. Pasal 18 ayat (2) huruf (a)
mempersyarakatkan bahwa LAZ harus didirikan oleh organisasi ke masyarakatan Islam
yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial.
Ketentuan
di atas secara jelas adalah ahistoris dan mengingkari peran masyarakat sipil
yang sejak tiga dekade terakhir secara gemilang telah membangkitkan zakat
nasional dari ranah amal-sosial ke ranah pemberdayaan-pembangunan, yang antara
lain dipelopori oleh Yayasan Dana Sosial al-Falah (1987), Dompet Dhuafa
Republika (1993), Rumah Zakat Indonesia (1998), dan Pos Keadilan Peduli Ummat
(1999). Seluruh LAZ perintis dan terbesar ini tidak didirikan oleh ormas Islam.
Walau
UU No 23/2011 ini tetap mengakui LAZ yang sekarang sudah dikukuhkan berdasarkan
UU No 38/1999 (Pasal 43 ayat 3), di saat yang sama mereka tetap diharuskan
menyesuaikan diri dengan UU Zakat tersebut, maksimal dalam lima tahun ke depan
(Pasal 43 ayat 4). Dengan demikian, dalam lima tahun ke depan, LAZ harus
mengikuti persyaratan pen di ri an LAZ baru jika ingin pengu kuhan dan izin
operasionalnya ti dak dicabut oleh Menteri Agama.
Ketentuan
in sangat potensial digunakan untuk melemahkan bahkan ‘mematikan’ LAZ karena
sebagian besar LAZ, tidak ada yang didirikan atau berafiliasi dengan ormas
Islam. Demikian pula dengan LAZ-LAZ yang sangat potensial, namun hingga kini belum
mendapat izin dan belum dikukuhkan oleh Menteri Agama, seperti Al-Azhar Peduli
Ummat dan PPPA Daarul Qur’an yang juga terancam.
U
U No 23/2011 juga menerapkan persyaratan pendirian LAZ harus mendapatkan
rekomendasi dari Baznas (Pasal 18 ayat 2 huruf c). Padahal, berdasarkan UU ini,
Baznas menyandang status sebagai operator zakat nasional, status yang sama
sebagaimana halnya dengan LAZ. Hal ini secara jelas menimbulkan conflict of
interest; Baznas memiliki motif, insentif, dan kewenangan untuk menjegal
pendirian LAZ baru yang berpotensi menjadi pesaingnya.
Lebih
jauh lagi, bagi LAZ yang tetap beroperasi tanpa izin, akan terancam
dikriminalisasikan oleh UU ini yang melarang LAZ yang beroperasi tanpa izin
dari pejabat yang berwenang (Pasal 38). Dan, memberi ancaman pidana penjara
maksimal satu tahun dan/atau pidana denda maksimal Rp 50 juta bagi LAZ ilegal
(Pasal 40) walaupun sejumlah amil zakat memiliki kredibilitas tinggi dan
berkinerja baik.
Semua
tersebut secara jelas kontraproduktif dengan upaya peningkatan kinerja zakat
nasional, khususnya dalam upaya mengoptimalkan potensi dana filantropi Islam
yang besar untuk penanggulangan kemiskinan. Kinerja penghimpunan dan
pendayagunaan dana zakat lebih banyak ditentukan oleh legitimasi dan reputasi
lembaga pengumpul, bukan sentralisasi kelembagaan oleh pemerintah. Kinerja zakat
nasional di Indonesia terbukti justru meningkat setelah dikelola oleh
masyarakat sipil yang kredibel.
Karena
itu, UU No 23/2011 ini secara jelas berpotensi merugikan hak konstitusional LAZ
sebagai badan hukum publik yang memiliki hak untuk membangun masyarakat, yang
dijamin konstitusi dalam Pasal 28 C ayat (2) UUD 1945, yaitu: Setiap orang
berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif
untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Perlakuan Sama
Pasal
5 dan 15 UU No 23/2011 telah membuat pendirian Baznas di tingkat pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota menjadi amanat UU, tanpa memberi persyaratan
pendirian. Di saat yang sama, pendirian LAZ yang sama-sama operator zakat
nasional sebagaimana halnya Baznas, mendapat restriksi yang sangat ketat (Pasal
18).
Restriksi,
dan karenanya konsolidasi, organisasi pengelola zakat (OPZ) memiliki
rasionalitas yang kuat. Karena, kini jumlah operator zakat nasional memang
sudah terlalu banyak sehingga menimbulkan inefisiensi karena mayoritas OPZ
beroperasi pada skala usaha yang terlalu kecil. Hal ini juga me nyulitkan
pengaturan dan pengawasan OPZ yang efektif, terlebih dengan ketiadaan regulator
zakat yang kuat.
Namun,
restriksi terhadap OPZ ini menjadi tidak valid ketika hanya diterapkan ke LAZ
dan tidak diterapkan juga ke Baznas meski sama-sama menyandang status sebagai
operator zakat nasional. Restriksi ini semakin kehilangan kredibilitas ketika
restriksi LAZ dikaitkan dengan keharusan didirikan oleh ormas Islam. Meski pun
UU menyatakan bahwa Baznas adalah lembaga pemerintah nonstruktural (Pasal 5
ayat 3), pendiriannya secara jelas mengikuti struktur pemerintahan.
Alih-alih
melakukan reformasi dan konsolidasi, UU ini justru memperkuat status quo di
mana ke depan akan terdapat satu Baznas pusat, 33 Baznas provinsi, dan 502
Baznas kabupaten/kota.
UU
juga memberi keistimewaan kepada Baznas, yaitu selain tetap dapat menggunakan
sebagian dana zakat yang dihimpun (hak amil), Baznas juga berhak mendapat
pembiayaan dari APBN (Pasal 30). Sedangkan, Baznas pro vinsi dan
kabupaten/kota, selain hak amil juga berhak menda pat pembiayaan dari APBD dan APBN
(Pasal 31). Di sisi lain, LAZ dihadapkan pada disiplin pasar yang tinggi karena
tidak mendapat pembiayaan dari APBN atau APBD dan hanya berhak mendapat
pembiayaan dari hak amil (Pasal 32).
Berbagai
ketentuan tersebut secara jelas bersifat diskriminatif di mana tidak terdapat
kesetaraan perlakuan di antara sesama warga negara di hadapan hukum. Secara
teknis-ekonomis, diskriminasi yang dilakukan UU No 23 Tahun 2011 kepada LAZ
dengan memberi berbagai privilege kepada Baz nas sebagai operator zakat bentukan
pemerintah, telah menciptakan level of
playing field yang tidak sama antar sesama ope rator zakat nasional.
Karena itulah, maka UU No 23/2011 ini juga
berpotensi merugikan hak konstitusional LAZ yang berhak atas perlakuan yang
sama di hadapan hukum, yang dijamin dalam Pasal 28 D ayat (1) Undang Undang
Dasar 1945. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar