Memperkuat
Pendidikan Jurnalisme
Arya Gunawan Usis, PEMERHATI
MEDIA, MANTAN WARTAWAN. KINI BEKERJA SEBAGAI PENANGGUNG JAWAB PROGRAM
PEMBERDAYAAN MEDIA UNTUK UNESCO DI TEHRAN
Sumber
: KORAN TEMPO, 18
Februari 2012
Pendidikan bagi wartawan
merupakan salah satu hal yang menjadi sorotan saat perayaan puncak Hari Pers
Nasional (HPN) di Jambi, 9 Februari 2012. Pendidikan jurnalisme selama ini
memang seperti tak mendapatkan perhatian yang sepatutnya, kalah dibandingkan
isu-isu lainnya yang lebih menarik, seperti kemerdekaan pers, sumbangsih pers
dalam proses pembangunan bangsa, peran pers di tengah perkembangan pesat di
bidang teknologi informasi, iklim persaingan dan kepemilikan perusahaan pers,
serta persoalan-persoalan etika terbaru termasuk dalam konteks kehadiran
berbagai media baru.
Pendidikan jurnalisme dapat
dianggap sebagai hulu dari proses pengembangan pers dan jurnalisme yang
bermutu. Sebab, di sinilah titik-tolak berangkatnya proses penyiapan
kader-kader yang kelak--sebagian darinya--akan terjun langsung ke kubangan
profesi jurnalistik, mulai dari reporter di lapangan (juga tenaga kreatif
lainnya seperti juru foto, tenaga perancang perwajahan, tenaga yang mengurusi
manajemen media) hingga jenjang yang lebih tinggi, sampai ke tingkatan
pengambil keputusan redaksional (redaktur pelaksana, hingga pemimpin redaksi).
Jadi, apabila dilakukan
pencegatan di tahap hulu ini, yakni memperkuat pendidikan jurnalisme, itu sama
halnya dengan memperkuat fondasi pengembangan pers dan jurnalisme, yang pada
gilirannya akan memperkokoh proses yang terjadi di tahap hilir, yakni mutu
produk jurnalistik yang dihasilkan. Adapun muara alias tujuan tertingginya
adalah pemberdayaan segenap lapisan masyarakat yang tercerahkan dan memiliki
kesempatan setara untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi dan pembangunan;
sesuatu yang dimungkinkan karena pers telah menyediakan ruang dan forum bagi
proses interaksi dan dialog publik.
Tentu saja tetap terbuka
kemungkinan bahwa, meskipun pendidikan jurnalisme diperkuat, mutu pers dan
jurnalisme masih jauh dari kondisi ideal. Sejumlah kendala tetap dapat muncul
di tengah jalan. Misalnya saja, kenyataan bahwa tidak semua praktisi pers
adalah mereka yang telah digembleng lewat pendidikan jurnalisme. Untuk kasus di
Indonesia, banyak juga pekerja pers berasal dari latar belakang pendidikan
non-jurnalisme. Selain itu, tidak semua praktisi pers yang berasal dari latar
belakang pendidikan jurnalisme benar-benar mampu menerapkan secara ideal apa
yang telah mereka peroleh semasa menjalani proses pendidikan. Situasi nyata
yang mereka jumpai saat telah mencemplungkan diri ke tengah kubangan profesi
jurnalistik sering kali berbeda dan lebih “garang” ketimbang berbagai
idealisasi yang selama ini disampaikan kepada mereka oleh para dosen di ruang
kuliah. Situasi nyata ini juga menghadirkan beragam godaan yang mudah membuat
orang limbung dan melupakan idealisme.
Kontra-argumen di atas
memang absah untuk diajukan. Namun tetaplah upaya penguatan pendidikan
jurnalisme merupakan satu kebutuhan yang mendesak. Dan jika upaya penguatan ini
dilakukan dengan cermat dan saksama, akan terbuka peluang untuk berlangsungnya
wacana menerus yang akan melibatkan juga para praktisi pers dari latar belakang
pendidikan non-jurnalisme. Mereka ini kemudian akan ikut terpapar kepada
konsep-konsep yang ditawarkan oleh pendidikan jurnalisme (ini tentu akan
menambah wawasan mereka), dan pada saat yang sama juga memberikan berbagai
masukan berharga (berdasarkan pengalaman langsung sehari-hari bergulat dengan
berbagai proses jurnalistik di lapangan). Wacana semacam ini akan berkembang
menjadi sintesis berkelanjutan dan simbiosis mutualisme yang akan memutakhirkan
pendidikan jurnalisme, dan tentulah akan memberikan banyak manfaat ketimbang
mudarat.
Ihwal pentingnya memperkuat
pendidikan jurnalisme ini bukan hanya terbatas pada urusan di satu negeri
tertentu belaka; ia telah menjadi satu keprihatinan di tingkat global. Ini
terbukti setidaknya dari apa yang disuarakan oleh sejumlah negara anggota
UNESCO (lembaga internasional yang mengurusi pendidikan, ilmu pengetahuan,
kebudayaan, dan komunikasi-informasi termasuk juga media dan jurnalisme) sejak
beberapa tahun silam.
Negara-negara ini beranggapan bahwa perkembangan yang
pesat di berbagai bidang membuat pendidikan jurnalisme megap-megap untuk menyejajarkan
dirinya dengan perkembangan-perkembangan di luar bidang jurnalisme, apabila
masih menggunakan berbagai rujukan lama dalam mengajarkan jurnalisme di
perguruan tinggi (dan juga lembaga-lembaga pelatihan). Pemutakhiran pendidikan
jurnalisme--khususnya pada aspek pembaruan kurikulumnya--lalu dianggap sebagai
sesuatu yang mustahak.
Berdasarkan masukan dari
negara-negara anggotanya ini, menjelang akhir 2005 UNESCO mengambil prakarsa
untuk melibatkan lebih dari 20 praktisi senior di bidang jurnalisme dan para
pakar di bidang pendidikan jurnalisme dari berbagai penjuru dunia untuk
merumuskan satu panduan penyusunan kurikulum pendidikan jurnalisme. Dalam
berbagai diskusinya, para pakar ini mendapati kenyataan bahwa memang diperlukan
upaya di tingkat global untuk penguatan pendidikan jurnalisme ini. Hampir dua
tahun mereka berdiskusi, hingga berhasil merumuskan buku panduan penyusunan
kurikulum, berjudul Model Curricula for Journalism Education (Kurikulum
Model untuk Pendidikan Jurnalisme), yang diluncurkan secara resmi dalam
acara Kongres I Persatuan Pendidikan Jurnalisme Sedunia, di Singapura, Juni
2007.
Salah satu keistimewaan
panduan UNESCO ini adalah bahwa buku ini merupakan hasil dari upaya pertama di
tingkat global untuk merumuskan satu panduan yang memungkinkan pendidikan
jurnalisme menjawab berbagai tantangan mutakhir seiring dengan kemajuan zaman.
Perlu dicatat bahwa panduan UNESCO ini bukanlah kurikulum itu sendiri,
melainkan semacam kisi-kisi yang lentur, sehingga memudahkan para pakar penyusun
kurikulum di setiap negara untuk melakukan penyesuaian dengan konteks serta
situasi dan kondisi negara yang bersangkutan.
Keistimewaan lainnya adalah
bahwa kurikulum pendidikan jurnalisme didorong agar mengacu pada tiga poros
utama. Poros pertama adalah poros yang mengajarkan norma-norma, nilai-nilai,
perangkat, standar, dan praktek jurnalisme. Poros kedua menekankan pada
aspek-aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum, dan etika dari praktek
jurnalisme, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Adapun poros ketiga
terdiri atas pengetahuan umum mengenai dunia dan tantangan-tantangan
intelektual dalam dunia jurnalisme.
Ketiga poros ini memang
terbukti relevan dan sekaligus aktual dengan kondisi pendidikan jurnalisme di
banyak negara, termasuk juga di Indonesia. Pengalaman penulis saat melakukan
serangkaian kegiatan untuk memperkenalkan panduan UNESCO tadi kepada sejumlah
perguruan tinggi yang memiliki program pendidikan jurnalisme di beberapa kota
utama di Indonesia sepanjang tahun 2009-2010 menunjukkan kenyataan tersebut.
Berbagai kesulitan masih dialami oleh sebagian besar dari mereka, mulai
kesulitan untuk mendapatkan buku rujukan yang mutakhir (terutama rujukan
mengenai nilai dan standar universal di bidang jurnalisme, termasuk tentang
etika), kesulitan hubungan birokratis dengan pihak pemerintah yang bertanggung
jawab mengurusi proses pengembangan kurikulum, hingga ke kesulitan merumuskan
kurikulum yang relevan yang berakibat kurang tepatnya materi yang diajarkan
kepada para peserta didik dibandingkan dengan tantangan nyata yang ada. Bahkan
banyak di antara perguruan tinggi ini yang sudah lebih dari satu dasawarsa tak
melakukan tinjauan dan pembaruan terhadap kurikulum yang mereka terapkan.
Ada juga contoh di mana
penyusunan kurikulum seperti tidak disandarkan pada alasan yang kuat dan masuk
akal. Di satu perguruan tinggi, misalnya, didapati bahwa jurnalisme
investigatif hanya diajarkan kepada mahasiswa dari program pendidikan
jurnalisme cetak (tanpa mengikutsertakan mahasiswa dari program pendidikan
jurnalisme siaran). Padahal setiap mahasiswa jurnalisme tentu saja wajib
mendapatkan mata kuliah jurnalisme investigatif.
Masih banyak ruang yang
tersaji di hadapan kita untuk memperkuat berbagai aspek kurikulum pendidikan
jurnalisme di sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia, jika dikaitkan
dengan ketiga poros yang termaktub dalam panduan kurikulum pendidikan
jurnalisme versi UNESCO itu. Semua pihak yang merasa berkepentingan terhadap
kemajuan pers Indonesia hendaknya turut mengupayakan sumbangsih yang berarti
untuk mengisi ruang yang masih lebar tersebut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar