Memulihkan
Citra MA
Marwan Mas, GURU
BESAR ILMU HUKUM UNIVERSITAS 45, MAKASSAR
Sumber
: SUARA KARYA, 17
Februari 2012
Ketua
Mahkamah Agung (MA) yang baru, Hatta Ali sudah ditunggu tugas berat, terutama
untuk membangun kembali citra MA yang belakangan ini terus disorot. Salah satu
tugas klasik yang turut memengaruhi citra MA adalah menyelesaikan tunggakan
perkara yang setiap tahun menggunung.
Mengatasinya,
bisa saja Ketua MA menggenjot kerja para hakim agung. Tetapi, cara ini bisa
menimbulkan masalah baru, kualitas putusan dan pemenuhan keadilan bagi
masyarakat bisa terabaikan. MA harus memiliki putusan yang bukan sekadar berkualitas
(benar dan adil), tetapi juga bisa diterima oleh semua pihak. Putusan tidak
boleh hanya memenuhi dalil-dalil yuridis, sebab yang juga penting,
menyelesaikan konflik sesuai kebutuhan masyarakat.
Selama
ini, hukum lebih sering dijadikan komoditas layaknya sebuah barang yang
bernilai ekonomis. Tidak sedikit kasus menimpa hakim dalam menangani suatu
perkara, lantaran tergoda oleh rayuan keuntungan dengan membisniskan hukum.
Bermunculan-lah "hakim-hakim nakal" dan "mafia peradilan",
tetapi dalam realitas kurang mendapat perhatian serius oleh pimpinan MA. Begitu
banyak hakim lebih mendahulukan keadilan prosedural ketimbang kebenaran dan
keadilan substansial yang mengakar dalam masyarakat. Membiarkan hakim nakal dan
mafia peradilan menguasai lembaga peradilan, sudah pasti akan semakin
memperburuk citra MA.
Untuk
memulihkan citra MA memang bukan pekerjaan mudah, tetapi bukan berarti
mustahil. Ketua MA bisa mendisain dan mengefektifkan pelaksanaan cetak biru
peradilan Indonesia 2010-2035. Terutama, merestorasi persoalan teknis dan
manajemen perkara, melakukan pengawasan bersinambung, mengorganisir peradilan,
dan menerapkan keterbukaan informasi terhadap putusan yang dihasilkan.
Setidaknya ada tiga proritas jangka pendek pelaksanaan cetak biru peradilan.
Pertama,
efektivitas administrasi peradilan, dimulai dari pendaftaran perkara sampai
pada penjatuhan putusan dan penyampaian putusan kepada para pihak. Para pencari
keadilan sering mengeluhkan terlalu birokratis saat mendaftarkan perkara,
termasuk perkara yang diajukan penuntut umum. Kepaniteraan pengadilan identik
dengan keterlambatan, terutama pada pemenuhan administrasi upaya hukum ke
tingkat peradilan yang lebih tinggi. Lambatnya menyampaikan petikan putusan
(extract vonis) kepada para pihak, bisa melanggar hak-hak terpidana yang
mestinya sudah bisa menghirup udara bebas, tetapi tetap mendekam dalam tahanan.
Kedua,
sistem informasi peradilan, terutama pada putusan yang baru dijatuhkan. Ketua
MA bisa mencontoh Mahkamah Konstitusi (MK), begitu putusan dijatuhkan, publik
bisa langsung mengaksesnya. Malah keesokan harinya, putusan itu dimuat di
lembaran koran tertentu yang bekerja sama dengan MK. Bukan hanya itu, MK juga
memberikan pelayanan cepat bagi warga masyarakat yang datang ke Gedung MK untuk
memperoleh putusan hakim. Malah MK melakukan kerja sama (membiayai) dengan
fakultas-fakultas hukum berbagai universitas untuk melaksanakan lomba peradilan
semu (moot court competition), sebagai salah satu upaya sosialisasi dan
mendekatkan pengadilan terhadap calon-calon pelaksana peradilan.
Ketiga,
kerja sama pengawasan peradilan dengan Komisi Yudisial (KY), terutama dalam
menangani hakim-hakim nakal yang melanggar perilaku hakim. Adanya resistansi
pimpinan MA dan hakim agung terhadap pengawasan KY, harus segera diakhiri
karena akan merugikan MA dari aspek pemulihan kepercayaan publik. Pengawasan
internal harus bersinergi dengan pengawasan eksternal dari KY, sehingga
pemeriksaan terhadap hakim nakal dan rekomendasi KY, mestinya diapresiasi Ketua
MA sebagai upaya perbaikan citra. Keengganan sebagian hakim agung untuk diawasi
KY merupakan pengabaian konstitusi, sebab tugas dan wewenang KY diatur dalam
UUD 1945. Jubah independensi hakim yang sering dijadikan tameng dari
pemeriksaan KY atas suatu putusan yang di dalamnya tersirat pelanggaran
perilaku hakim, sesuatu yang tidak berdasar.
Untuk
menilai seorang hakim berprestasi, bisa dinilai dari putusannya. Paling tidak,
ada dua aspek yang bisa diapresiasi dalam menilai prestasi hakim melalui
putusannya.
Pertama,
kualifikasi putusan dalam arti luas, yaitu semua produk putusan institusional
pengadilan seperti: putusan sela, akhir, deklaratur, atau penetapan hakim.
Selain itu, hakim juga harus dikontrol dan dievaluasi, agar tidak terjadi
distorsi dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan yang harus didasarkan pada
hati nurani dan kemerdekaan yang bermakna.
Sayang,
hati nurani dan kemerdekaan sebagian besar hakim belum banyak berbicara. Masih
banyak hakim menggunakan "kemerdekaan" dalam menjatuhkan putusan
didasarkan atas "kepentingan politik atau kepentingan pribadi sang
hakim", misalnya, dengan menguntungkan salah satu pihak tanpa dasar hukum,
kemudian menantang dengan perkataan, "Silahkan banding atau kasasi jika
tidak puas dengan putusan saya". Sikap hakim seperti itu merupakan sikap
hakim kolonial yang tidak memahami esensi seorang hakim sebagai pengadil yang
mestinya bijaksana, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum, keadilan,
dan kebenaran.
Kedua,
pada aspek perilaku hakim yang juga menentukan bagaimana citra bisa dibangun.
Perilaku dimaksud adalah perilaku dalam kedinasan dan nonkedinasan, sikap
terhadap atasan, bawahan, rekan sejawat, termasuk sikap dan perilaku dalam
kehidupan sosial masyarakat dan dalam keluarga. Kendati hal ini sudah diatur
dalam Kode Etik Profesi Hakim, tetapi perlu dijadikan ukuran dan penilaian
dalam menentukan apakah citra hakim sudah terbangun.
Inilah
tugas berat Ketua MA baru, bagaimana membangun citra yang baik di era
keterbukaan. Setiap hakim harus mampu mengaktualisasi kaidah-kaidah hukum
secara ideal ke dalam pergumulan nyata masyarakat yang terus berkembang. Jangan
sampai sorotan publik bahwa hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas
terus dipraktikkan hakim. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar