Kesehatan
dan Produktivitas Bangsa
Siti Nurhayati, PEKERJA SENI,
ALUMNUS PASCASARJANA FAKULTAS
EKOLOGI MANUSIA IPB
Sumber
: SUARA KARYA, 20
Februari 2012
Kesehatan sangat erat kaitannya dengan produktivitas bangsa. Salah
satu faktor penentu kesehatan adalah gizi. Dalam bukunya berjudul Fortifikasi:
Program Gizi Masa Depan?, Prof Soekirman, Ketua Koalisi Fortifikasi Indonesia
(KFI) menggarisbawahi pernyataan Bank Dunia (2006). Pada waktu para pakar
ekonomi terkenal dunia yang sedang berkonferensi di Copenhagen tahun 2004
ditanya oleh peserta, dari dana 50 miliar dolar AS yang disediakan untuk
investasi pembangunan negara-negara berkembang, prioritas alokasi sebaiknya
diberikan pada program apa?
Mereka menjawab, prioritas pertama pada program penanggulangan
HIV/AIDS. Dan, yang kedua, pada program gizi untuk menanggulangi masalah kekurangan
vitamin dan mineral atau kekurangan gizi mikro.
Uniknya, tiga di antara para pakar ekonomi di atas adalah pemenang
nobel. Masalahnya, selama ini kita jarang sekali mendengar pakar ekonomi
berbicara tentang masalah gizi, apalagi menjadikan masalah gizi sebagai salah
satu prioritas pembangunan. Bagi banyak orang, masalah gizi dianggap sebagai
masalah kesehatan semata, dan bukan masalah ekonomi ataupun masalah
pembangunan.
Banyak perencana dan pengambil kebijakan pembangunan, kurang
menghargai pentingnya investasi di bidang gizi untuk pembangunan, khususnya
pembangunan sumberdaya manusia (SDM). Mereka baru ramai-ramai bicara soal gizi
ketika sedang terjadi bencana kelaparan dan munculnya banyak balita yang gizi
buruk akibat kurang energi (kalori) dan protein yang dikenal dengan Kurang
Energi Protein (KEP). Sehingga menurut Prof Soekirman, perlu adanya
transformasi "bahasa gizi" ke dalam "bahasa ekonomi".
Secara ekonomis, membiarkan anggota keluarga atau masyarakat
mempunyai masalah gizi berarti membiarkan potensi keluarga, masyarakat atau
bahkan bangsa hilang begitu saja. Potensi itu dapat berupa pendapatan keluarga
yang tidak dapat diwujudkan oleh karena anggota keluarga yang produktivitasnya
rendah akibat kekurangan gizi waktu balita. Bagi suatu negara, potensi yang
hilang itu dapat berupa pendapatan nasional atau PDB (Pendapatan Domestik
Bruto) atau PDB. Menurut penelitian, PDB yang hilang akibat kekurangan energi
protein, kurang zat besi dan kurang yodium pada anak dan dewasa di Pakistan dan
Bangladesh berkisar 2-5% dari PDB.
Keluarga dan masyarakat yang menyandang masalah gizi, maka bangsa
ini akan kehilangan potensi SDM yang berkualitas. Masalah yang akan dihadapi,
antara lain banyak anak tidak maju dalam pendidikan di sekolah, karena
kecerdasannya berkurang. Banyak anggota masyarakat dewasa yang produktivitasnya
rendah, karena pendidikan dan kecerdasannya kurang atau kemampuan kerja
fisiknya juga kurang, keluarga dan pemerintah mengeluarkan biaya kesehatan yang
tinggi, karena banyak warganya yang mudah jatuh sakit karena kurang gizi; serta
meningkatnya angka kematian pada usia produktif sehingga merupakan
penggerogotan SDM.
Hal ini harusnya menyadarkan kita bahwa membangun masyarakat tidak
cukup dengan membangun jalan, jembatan, gedung, pabrik, perkebunan dan
prasarana ekonomi lainnya. Investasi di bidang prasarana ekonomi tidak akan
dinikmati rakyat banyak tanpa disertai investasi yang sepadan untuk pembangunan
sosial terutama di bidang pangan, gizi, kesehatan dan pendidikan.
Terlepas dari kontroversi angka kemiskinan yang hingga kini belum
usai, yang jelas kemiskinan ini hanya bisa diatasi manakala setiap individu
yang masuk dalam kategori produktif, mempunyai akses ke dunia kerja. Dengan
kata lain, mampu bekerja. Terungkap bahwa struktur pendidikan angkatan kerja
kita sangatlah rendah. Yakni, lebih dari 63,2% angkatan kerja kita berlatar
belakang pendidikan dasar, bukan pendidikan tinggi. Yang justru tertampung di
dunia kerja adalah mereka yang hanya berlatar belakang pendidikan hingga tamat
SD, atau tidak sekolah sama sekali.
Berbicara kaitan gizi dan ekonomi, peraih hadiah Nobel Ekonomi,
Armatya Sen, mengatakan, terjadinya gizi buruk dan kelaparan bukan semata-mata
terkait kurangnya bahan pangan di suatu negara, tapi juga akibat akses pangan
yang rendah serta lemahnya daya beli masyarakat. Artinya, ketersediaan pangan
secara nasional tidak cukup untuk menjamin kecukupan pangan di tingkat rumah
tangga.
Oleh karena itu, seperti temuan Sen, tidak ada jaminan bahwa
masalah kurang pangan otomatis terhindari walau makanan berlimpah. Sebab,
masalah kelaparan terkait dengan soal apakah harganya terjangkau atau barang
terkait bisa diperoleh karena distribusinya yang baik. Sen, dalam bukunya
Inequality Reexamined (1992) menandaskan tentang pentingnya akses dan aspek
kebebasan. Sen memberi contoh, seorang yang berpuasa mungkin memiliki kemiripan
dalam hal jumlah makanan dan gizi dibandingkan dengan mereka yang miskin dan
terpaksa lapar. Namun, mereka yang berpuasa dan tidak miskin memiliki
kapabilitas yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang miskin (yang
pertama dapat memilih untuk makan enak, sedangkan yang kedua tidak).
Itu sebabnya, kemiskinan harus dipandang dalam konsep ini. Orang
miskin itu menjadi miskin karena ruang kapabilitas mereka kecil, bukan karena
mereka tidak memiliki barang. Dengan kata lain, orang menjadi miskin karena
mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena mereka tidak memiliki
sesuatu. Implikasinya, kesejahteraan tercipta bukan karena barang yang kita
miliki, tetapi karena akses yang memungkinkan kita memiliki barang tersebut.
Bisa dibayangkan, jika untuk makan saja sulit, apalagi menyediakan
kebutuhan kadar gizi yang baik bagi anak-anak? Persoalan keterbelakangan
kualitas gizi menghantui banyak keluarga. Masyarakat miskin makin jauh dari
kehidupan yang standar. Dengan demikian, akses kesehatan pun menjadi hal yang
langka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar