Senin, 20 Februari 2012

Melogikakan ISI Menjadi ISBI

Melogikakan ISI Menjadi ISBI
Purnawan Andra, ALUMNUS JURUSAN TARI FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN ISI SURAKARTA
Sumber : SUARA MERDEKA, 20 Februari 2012


GAGASAN mengubah Institut Seni Indonesia (ISI) menjadi Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) sebagaimana gagasan Mendikbud M Nuh adalah polemik yang tiba-tiba menggelinding tak keruan di antara karut-marut peristiwa sosial negara kita yang juga makin tak jelas juntrungnya. Gagasan itu seperti mendasarkan pada logika pertanyaan lelucon bagi anak kecil: dahulu mana antara telur dan ayam?

Seni adalah bagian dari kebudayaan, berupa wujud cipta karya rasa manusia yang digunakan dalam masyarakatnya, dalam waktu cukup lama. Seni dan budaya bagai sisi mata uang, sama-sama membicarakan hasil rasa, cipta, dan karsa buah peradaban manusia. Budaya sebagai ilmu yang berdiri sendiri sesungguhnya telah terepresentasikan dalam berbagai jurusan humanologi, seperti seperti seni sastra, tari, musik, dan visual.

Hal itu mengartikan institusi pendidikan seni tidak dapat lepaskan dari aspek atau unsur humanologi karena basis seni terletak pada kehidupan masyarakat. Artinya ketika kita membicarakan kebudayaan berarti membicarakan produk seni dan bukan seni. Begitu pun kemudian dikenal adanya produk benda (tangible) dan bukan benda (intangible). Dengannya, mempelajari seni budaya suatu bangsa berarti memahami nilai, perilaku, etika, dan mindset yang terwujud dalam ilmu-ilmu humaniora seperti antropologi, sosiologi, etnografi,  termasuk seni.

Namun selama ini kebudayaan tereduksi maknanya, menyempit dan dipahami sebagai bentuk kesenian. Padahal, seturut Soediro Satoto (2003) seni merupakan lembaga sosial, dokumentasi sosial, cermin sosial, moral sosial, eksperimen sosial, sistem sosial, sistem semiotik, baik semiotik sosial maupun budaya yang amat kaya nuansa makna yang terkandung dalam tanda-tanda yang terbangun oleh seni pertunjukan. Artinya, dalam mempelajari seni, maka juga harus memahami wawasan kebudayaan. Keduanya saling terkait dan menyusun satu sama lain.

Mendikbud, yang notabene mantan Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya rupanya menganggap ilmu kebudayaan sama dengan entrepreneurship ataupun leadership. Ilmu-ilmu tersebut memerlukan bakat, dan bakat membutuhkan instrumen untuk mencetak budayawan melalui proses eksplorasi yang sistemik.

Inti Permasalahan

Dalam pemikirannya, ISBI diharapkan melakukan fungsi konservasi budaya, dari menggali sampai merawat produk budaya dan seni. ISBI diharapkan dapat mempromosikan dan membangun warisan budaya. Terlebih dalam era industri kreatif saat ini, seni budaya pada akhirnya diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan bangsa.

Pada titik ini seni budaya difungsionalisasikan secara mekanistik. Dalam analisis Purwasito (2012) fungsi budaya kemudian dianggap sejajar dengan fungsi politik dan ekonomi. Seni berada dalam wilayah pendidikan vokasi, yang dimaknai hanya sebagai keterampilan, sebuah aktivitas kreasi dan eksperimentasi. Akibatnya imaji diukur sebagai sebuah keberhasilan usaha (jasa), bukan peningkatan representasi dan refleksi nilai kemanusiaan.

Memahami kesenian tak sekadar mencicipi kuliner, atau mengabadikan alam dalam potret yang indah. Kesenian adalah bagian dari kebudayaan, berupa cita rasa, keanggunan memahami kehidupan, dan titik kulminasi antara manusia dan lingkungannya.

Paradigma pendidikan seni budaya ISI yang terkait dengan visi misi dan substansi kurikulumnya yang lebih kompetitif dan aplikatif, kiranya menjadi inti permasalahan yang patut segera disikapi secara riil. Pasalnya, di satu sisi hal itu akan membuktikan pembelajaran pemahaman kita atas budaya intelektual (kesenian).

Terlebih dalam konteks saat ini, seni menegaskan dirinya sebagai bagian ilmu pengetahuan yang inter dan multidisiplin sehingga nantinya mampu mengambil bagian dalam dinamika kehidupan sosial budaya masyarakat.

Jadi, kalau hanya mengubah nama ISI menjadi ISBI tapi tak mampu mengurusi seni budaya bangsa dengan baik, ngapain?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar