Senin, 20 Februari 2012

Bidadari Pun Lupa Diri

Bidadari Pun Lupa Diri
Budiyati Abiyoga, PRODUSER FILM
Sumber : KORAN TEMPO, 18 Februari 2012


Iklan salah satu pewangi tubuh pria mengklaim bahwa wangi seksinya membuat bidadari jadi lupa diri. Hal itu merusak image (citra) standar tentang bidadari yang lembut, putih luar-dalam, yang andaikan jatuh cinta dia masih akan sangat memilih-milih. Tapi, seperti halnya humanisme sudah disikapi secara jungkir-balik sehingga hal-hal yang tidak humanis dapat dipandang sebaliknya, “bidadarisme” tampaknya juga senada. Jadi, mungkin bukan cuma dua bidadari yang lupa diri sampai turun ke bumi, yang setting di iklan itu bukan di Indonesia, tapi tidak terhitung lagi jumlahnya yang memilih bumi Nusantara karena banyaknya wangi seksi di sini. Keseksian bukan sekadar berasal dari pewangi tubuh pria, tapi juga dari banyaknya uang panas berseliweran melalui “skim” jalur eksekutif, legislatif, sampai yudikatif.

Tidak ada hari tanpa berita tentang begitu mudahnya uang dalam jumlah superbesar, dengan sumber patut dipertanyakan, mengalir ke berbagai arah. Tokoh-tokoh di baliknya menduduki posisi yang pantasnya terhormat, karena mewakili rakyat atau dipercaya mengelola dan mengawasi anggaran yang dibiayai rakyat. Terkait dengan dugaan terhadap satu tokoh tersangka Nazaruddin saja, Koran Tempo edisi Selasa, 14 Februari 2012, menginformasikan aliran dana yang gila-gilaan. Sulit bagi saya mencerna bagaimana dana bermiliar-miliar bisa ditilep dalam waktu relatif singkat.

Jadi, tindakan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana memergoki pertemuan menjelang tengah malam antara Nazaruddin dan pengunjungnya semestinya diapresiasi karena memfokuskan perhatian pada kasus “tokoh super” itu, yang sudah ada indikasi dugaan bahwa keterkaitannya bukan semata pada kasus yang sedang disidangkan saja, namun akan menyusul kasus-kasus lainnya, termasuk yang sudah ditetapkan adalah sebagai tersangka pencucian uang.

Ada banyak kritik bahwa tindakan Wakil Menteri semata untuk membangun citra, karena kemudian diinformasikan luas. Padahal kasus semacam sudah banyak terjadi sejak jauh sebelum era reformasi di semua lapas di Ibu Kota maupun di daerah-daerah. Sampai-sampai ada sindiran supaya Pak Wakil Menteri menjadi satpam lapas saja. Informasi terbuka dari Wamen mengenai hal itu, menurut hemat saya, tetap penting. Bukan soal citra, yang pasti sangat diketahuinya sudah tidak mempan lagi dalam situasi publik sekarang ini yang keburu trauma dengan hal-hal yang berhubungan dengan pencitraan. Melalui keterbukaan informasi itu, kontrol sosial bisa lebih terfokus pula, sehingga benang merah keterkaitan satu sama lain dapat lebih dicermati. Keterbukaan informasi mengenai Nazar juga penting dalam situasi gencarnya ulasan tentang peran tersangka sebagai whistle blower yang salah-salah bisa memposisikan dia menjadi “superhero”.

Apakah penyimpangan yang sulit diterima akal sehat itu terjadi sebatas yang terkait dengan tokoh Nazar saja? Apakah aliran-aliran serupa, lebih kecil atau lebih besar jumlahnya, juga terjadi di mana saja, kapan saja, sesuka-suka? Kondisi ini membuat kita sulit mempercayai sistem pengelolaan negeri kita, sekalipun bisa saja kita berpendapat bahwa bukan sistemnya yang salah, melainkan perorangan atau kelompok orang di balik sistem itu. Mungkin juga sistem formalnya cukup baik, tapi pelaksanaannya memungkinkan celah untuk penyimpangan dan memungkinkan terbangunnya sistem-sistem bayangan yang justru menjadi acuan karena menggiurkan.

Terkait dengan uang panas yang membara di banyak aliran, menjadi sangat penting hak publik untuk bisa mencermati alokasi dana-dana besar dalam APBN sampai pada proses realisasi penggunaannya. Publik pada umumnya kurang memahami detail APBN yang sumbernya adalah uang rakyat itu. Keputusan perencanaan dan pengawasannya sudah dipercayakan pada sistem kenegaraan yang ternyata realisasinya sering kali tidak bisa dipercaya. Dalam situasi seperti ini, hak publik dapat diakomodasi melalui keterlibatan konsultan strategis-independen, dengan pendekatan utama bottom-up. Perannya seperti “mata-Suleman”, Sang Nabi yang menggali informasi langsung dari warganya untuk menetapkan keputusan penting menyangkut kemaslahatan rakyat. Untuk kondisi sekarang, dengan berbagai masalah multidimensi yang menerpa negeri kita, perlu digabungkan Operation Research dan metode konvensional-tradisional yang dikerjakan Sang Nabi. Prioritas telaah pada burning issue yang saling terkait satu sama lain: dalam sistem sosial adalah korupsi, kemiskinan-kesehatan-pendidikan-ketenagakerjaan, sedangkan dalam sistem ekologis adalah perusakan biodiversity, sumber daya air, pertanahan.

Keterlibatan “mata-Suleman” akan mendorong birokrasi melaksanakan kewajibannya yang utama dalam pelayanan publik. Hal ini akan sangat membantu pemerintah untuk benar-benar bersama rakyat mencermati penggunaan dana, sebagai upaya preventif atas penyimpangan dan upaya penghematan melalui review yang diperlukan. Jadi, bukan menunggu terjadinya kebobolan.

Untuk APBN, kita memerlukan hourly supervision, pengawasan melekat, yang bukan sebatas dari unsur inspektorat pengawasan pengguna anggaran sendiri. Dalam hal ini saya teringat parodi film Hollywood berjudul Dave, yang menceritakan ihwal oknum-oknum di dekat Presiden yang merahasiakan sakitnya sang Presiden dengan menggantikan penampilannya oleh seorang komedian bernama Dave, yang wajahnya mirip dan memang sering menirukan sikap Presiden dalam pertunjukannya. Ternyata Dave tidak mau didikte para oknum. Dia membuat keputusan-keputusan keuangan yang “sederhana” menggunakan penasihat temannya yang ekonom dan pengusaha kecil saja, sehingga justru mampu melihat pemborosan besar dalam anggaran. Dave berhasil mengegolkan keputusannya yang di luar skenario para oknum karena melibatkan kehadiran media. Peran media sebagai pengontrol sosial dalam sistem demokrasi memang tidak dapat dimungkiri. Film ini memunculkan cameo (penampilan sebagai dirinya sendiri) beberapa Senator Amerika, termasuk host TV terkenal Larry King.

Nah, dengan mata-Suleman, kita bisa menggunakan mata panah sederhana dan kecil saja, tapi yang benar-benar mengenai sasaran yang tepat. Dengan kondisi ini, bidadari bisa tetap lupa diri, bukan karena uang berseliweran, melainkan karena indikasi nyata negeri kita menuju visi gemah ripah loh jinawi yang dimimpikan sejak zaman nenek moyang kita. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar