Bidadari
Pun Lupa Diri
Budiyati Abiyoga, PRODUSER FILM
Sumber
: KORAN TEMPO, 18
Februari 2012
Iklan salah satu pewangi tubuh pria mengklaim
bahwa wangi seksinya membuat bidadari jadi lupa diri. Hal itu merusak image
(citra) standar tentang bidadari yang lembut, putih luar-dalam, yang andaikan
jatuh cinta dia masih akan sangat memilih-milih. Tapi, seperti halnya humanisme
sudah disikapi secara jungkir-balik sehingga hal-hal yang tidak humanis dapat
dipandang sebaliknya, “bidadarisme” tampaknya juga senada. Jadi, mungkin bukan
cuma dua bidadari yang lupa diri sampai turun ke bumi, yang setting di
iklan itu bukan di Indonesia, tapi tidak terhitung lagi jumlahnya yang memilih
bumi Nusantara karena banyaknya wangi seksi di sini. Keseksian bukan sekadar
berasal dari pewangi tubuh pria, tapi juga dari banyaknya uang panas
berseliweran melalui “skim” jalur eksekutif, legislatif, sampai yudikatif.
Tidak ada hari tanpa berita tentang begitu
mudahnya uang dalam jumlah superbesar, dengan sumber patut dipertanyakan,
mengalir ke berbagai arah. Tokoh-tokoh di baliknya menduduki posisi yang
pantasnya terhormat, karena mewakili rakyat atau dipercaya mengelola dan
mengawasi anggaran yang dibiayai rakyat. Terkait dengan dugaan terhadap satu
tokoh tersangka Nazaruddin saja, Koran Tempo edisi Selasa, 14 Februari
2012, menginformasikan aliran dana yang gila-gilaan. Sulit bagi saya mencerna
bagaimana dana bermiliar-miliar bisa ditilep dalam waktu relatif singkat.
Jadi, tindakan Wakil Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Denny Indrayana memergoki pertemuan menjelang tengah malam antara
Nazaruddin dan pengunjungnya semestinya diapresiasi karena memfokuskan
perhatian pada kasus “tokoh super” itu, yang sudah ada indikasi dugaan bahwa
keterkaitannya bukan semata pada kasus yang sedang disidangkan saja, namun akan
menyusul kasus-kasus lainnya, termasuk yang sudah ditetapkan adalah sebagai
tersangka pencucian uang.
Ada banyak kritik bahwa tindakan Wakil
Menteri semata untuk membangun citra, karena kemudian diinformasikan luas.
Padahal kasus semacam sudah banyak terjadi sejak jauh sebelum era reformasi di
semua lapas di Ibu Kota maupun di daerah-daerah. Sampai-sampai ada sindiran
supaya Pak Wakil Menteri menjadi satpam lapas saja. Informasi terbuka dari Wamen
mengenai hal itu, menurut hemat saya, tetap penting. Bukan soal citra, yang
pasti sangat diketahuinya sudah tidak mempan lagi dalam situasi publik sekarang
ini yang keburu trauma dengan hal-hal yang berhubungan dengan pencitraan.
Melalui keterbukaan informasi itu, kontrol sosial bisa lebih terfokus pula,
sehingga benang merah keterkaitan satu sama lain dapat lebih dicermati.
Keterbukaan informasi mengenai Nazar juga penting dalam situasi gencarnya
ulasan tentang peran tersangka sebagai whistle blower yang salah-salah
bisa memposisikan dia menjadi “superhero”.
Apakah penyimpangan yang sulit diterima akal
sehat itu terjadi sebatas yang terkait dengan tokoh Nazar saja? Apakah
aliran-aliran serupa, lebih kecil atau lebih besar jumlahnya, juga terjadi di mana
saja, kapan saja, sesuka-suka? Kondisi ini membuat kita sulit mempercayai
sistem pengelolaan negeri kita, sekalipun bisa saja kita berpendapat bahwa
bukan sistemnya yang salah, melainkan perorangan atau kelompok orang di balik
sistem itu. Mungkin juga sistem formalnya cukup baik, tapi pelaksanaannya
memungkinkan celah untuk penyimpangan dan memungkinkan terbangunnya
sistem-sistem bayangan yang justru menjadi acuan karena menggiurkan.
Terkait dengan uang panas yang membara di
banyak aliran, menjadi sangat penting hak publik untuk bisa mencermati alokasi
dana-dana besar dalam APBN sampai pada proses realisasi penggunaannya. Publik
pada umumnya kurang memahami detail APBN yang sumbernya adalah uang rakyat itu.
Keputusan perencanaan dan pengawasannya sudah dipercayakan pada sistem
kenegaraan yang ternyata realisasinya sering kali tidak bisa dipercaya. Dalam
situasi seperti ini, hak publik dapat diakomodasi melalui keterlibatan
konsultan strategis-independen, dengan pendekatan utama bottom-up.
Perannya seperti “mata-Suleman”, Sang Nabi yang menggali informasi langsung
dari warganya untuk menetapkan keputusan penting menyangkut kemaslahatan
rakyat. Untuk kondisi sekarang, dengan berbagai masalah multidimensi yang
menerpa negeri kita, perlu digabungkan Operation Research dan metode
konvensional-tradisional yang dikerjakan Sang Nabi. Prioritas telaah pada burning
issue yang saling terkait satu sama lain: dalam sistem sosial adalah
korupsi, kemiskinan-kesehatan-pendidikan-ketenagakerjaan, sedangkan dalam
sistem ekologis adalah perusakan biodiversity, sumber daya air,
pertanahan.
Keterlibatan “mata-Suleman” akan mendorong
birokrasi melaksanakan kewajibannya yang utama dalam pelayanan publik. Hal ini
akan sangat membantu pemerintah untuk benar-benar bersama rakyat mencermati
penggunaan dana, sebagai upaya preventif atas penyimpangan dan upaya
penghematan melalui review yang diperlukan. Jadi, bukan menunggu
terjadinya kebobolan.
Untuk APBN, kita memerlukan hourly
supervision, pengawasan melekat, yang bukan sebatas dari unsur inspektorat
pengawasan pengguna anggaran sendiri. Dalam hal ini saya teringat parodi film
Hollywood berjudul Dave, yang menceritakan ihwal oknum-oknum di dekat
Presiden yang merahasiakan sakitnya sang Presiden dengan menggantikan
penampilannya oleh seorang komedian bernama Dave, yang wajahnya mirip dan
memang sering menirukan sikap Presiden dalam pertunjukannya. Ternyata Dave
tidak mau didikte para oknum. Dia membuat keputusan-keputusan keuangan yang
“sederhana” menggunakan penasihat temannya yang ekonom dan pengusaha kecil
saja, sehingga justru mampu melihat pemborosan besar dalam anggaran. Dave
berhasil mengegolkan keputusannya yang di luar skenario para oknum karena
melibatkan kehadiran media. Peran media sebagai pengontrol sosial dalam sistem
demokrasi memang tidak dapat dimungkiri. Film ini memunculkan cameo
(penampilan sebagai dirinya sendiri) beberapa Senator Amerika, termasuk host
TV terkenal Larry King.
Nah, dengan mata-Suleman, kita bisa
menggunakan mata panah sederhana dan kecil saja, tapi yang benar-benar mengenai
sasaran yang tepat. Dengan kondisi ini, bidadari bisa tetap lupa diri, bukan
karena uang berseliweran, melainkan karena indikasi nyata negeri kita menuju
visi gemah ripah loh jinawi yang dimimpikan sejak zaman nenek moyang kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar