Jumat, 17 Februari 2012

Jalan Panjang Ratifikasi


Jalan Panjang Ratifikasi
Anis Hidayah, DIREKTUR EKSEKUTIF MIGRANT CARE
Sumber : KOMPAS, 17 Februari 2012


Setelah 13 tahun, akhirnya amanat presiden untuk ratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Seluruh Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya—dikenal sebagai Konvensi Buruh Migran—ditandatangani pada 7 Februari 2012.

Pada 9 Februari, amanat presiden tersebut diserahkan kepada Ketua DPR. Dalam skema perlindungan buruh migran, ratifikasi terhadap konvensi tersebut merupakan instrumen paling mendasar bagi Pemerintah Indonesia sebagai negara pengirim. Oleh karena itu, hal ini harus jadi momentum bersama untuk menata kembali manajemen perlindungan buruh migran yang selama ini selalu menjadi korban pelanggaran HAM, terutama di sejumlah negara tujuan.

Konvensi Buruh Migran yang disahkan Majelis Umum PBB pada 18 Februari 1990 melalui Resolusi No 45/158 merupakan instrumen internasional, berisikan prinsip-prinsip dan kerangka perlindungan global bagi buruh migran dan anggota keluarganya berdasarkan standar HAM. Konvensi berlaku efektif setelah 20 negara meratifikasinya.

Sejak Timor Leste menjadi negara ke-20 yang meratifikasi konvensi tersebut pada Maret 2003, sejak 1 Juli 2003 konvensi tersebut menjadi perjanjian berkekuatan hukum mengikat. Hingga 12 Februari 2012, konvensi ini sudah diratifikasi oleh 45 negara. Sebanyak 33 negara di antaranya telah menandatanganinya.

Tak Bernalar

Dibandingkan Timor Leste yang notabene negara baru, Indonesia sesungguhnya jauh lebih berkepentingan untuk meratifikasi konvensi ini. Sebab, lebih dari 6 juta warga negara Indonesia bekerja di luar negeri dengan sistem perlindungan sangat minim. Anehnya, selama ini pemerintah tidak memiliki komitmen untuk menjadikan ratifikasi sebagai agenda prioritas.

Kalkulasi untung-rugi yang sering mengabaikan kondisi obyektif buruh migran Indonesia dengan perlindungan yang ala kadarnya selalu jadi alasan untuk menghindari ratifikasi. Ketakutan pemerintah terhadap konsekuensi ratifikasi yang selalu dipandang akan membebani kerja birokrasi terbukti tak dapat dinalar. Ketidaknalaran itu juga tergambar jelas ketika Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi memasang iklan resmi di satu harian nasional pada 24 Februari 2009. Isinya: ratifikasi Konvensi Buruh Migran belum mendesak bagi Pemerintah RI.

Padahal, sejak Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM) 1999-2003, pemerintah telah menetapkan ratifikasi sebagai salah satu agenda, kemudian diperbarui dalam RAN HAM 2004-2009 dan 2011-2014. Pada 22 September 2004, Pemerintah Indonesia menandatangani konvensi tersebut dengan janji segera meratifikasi. Selain itu, TAP MPR No V/2002 juga telah mengamanatkan Pemerintah RI agar meratifikasi Konvensi Buruh Migran. Tahun 2005-2009, DPR juga menetapkan ratifikasi sebagai agenda Program Legislasi Nasional.

Ironisnya, dalam berbagai kesempatan di forum-forum regional dan internasional, Pemerintah Indonesia tampak sangat membangun pencitraan dengan janji segera melaksanakan ratifikasi. Misalnya, dalam High Level Dialogue on Migration and Development tahun 2006, dalam Pledge on UN HRC Candidacy (United Nation of Human Rights Council), dalam Universal Periodic Report, dalam Global Forum on Migration and Development sejak 2007, dalam Colombo Process (forum pertemuan tingkat menteri tenaga kerja di Asia) sejak 2003, dalam Abu Dhabi Dialogue (forum antara negara pengirim dan penerima di Asia), dan dalam forum ASEAN, janji ratifikasi selalu diobral.

Desakan kepada Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi konvensi ini tidak hanya dilakukan kalangan masyarakat sipil di Indonesia, tetapi juga dari berbagai komunitas internasional. Di antaranya, pertama, rekomendasi umum Komite CEDAW No 26 on Women Migrant Workers poin 29 pada 2008, ”Negara pihak didorong untuk meratifikasi semua instrumen internasional yang relevan dengan perlindungan HAM perempuan pekerja migran, khususnya Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.”

Kedua, rekomendasi pelapor khusus PBB bagi pekerja migran tahun 2006 (A/HRC/4/24/Add.3) poin 66: ”Pemerintah Indonesia harus meningkatkan usahanya untuk segera meratifikasi Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.”

Ketiga, concluding comment Komite CEDAW tahun 2007 (poin 44) mendesak Pemerintah Indonesia meratifikasi traktat yang belum diratifikasi Indonesia sebagai negara pihak, yaitu Konvensi mengenai Perlindungan Hak Semua Tenaga Kerja Migran dan Anggota Keluarganya.

Sikap Pemerintah Indonesia yang selalu menunda agenda ratifikasi Konvensi Buruh Migran mengakibatkan lemahnya perlindungan buruh migran Indonesia selama ini. Banyak kebijakan diambil Pemerintah Indonesia, baik nasional maupun bilateral dengan negara tujuan yang tidak mencerminkan standar HAM.

Di tingkat nasional, UU No 39/2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI (saat ini sedang dalam tahap revisi di legislatif) sama sekali tidak mengatur perlindungan buruh migran karena lebih mengatur bisnis penempatan. Sementara berbagai nota kesepahaman (MOU) dengan negara tujuan juga terbukti tidak efektif, seperti MOU dengan Malaysia—ditandatangani pada 13 Mei 2006—yang akhirnya harus direvisi setelah memakan waktu 2,5 tahun karena secara substantif tidak memenuhi standar HAM. Demikian pula dengan banyak MOU lain.

Akibatnya, menurut catatan Migrant Care, setiap tahun selalu terjadi pelanggaran HAM serius, terutama terhadap pekerja rumah tangga (PRT) migran di luar negeri. Tahun 2011, 228.193 buruh migran Indonesia menghadapi berbagai permasalahan, seperti ancaman hukuman mati, kematian, pelecehan seksual, gaji tidak dibayar, kelebihan tinggal, deportasi, dan trafficking. Dengan demikian, tak keliru kiranya jika dikatakan bahwa menunda ratifikasi sama artinya membiarkan dengan sengaja buruh migran Indonesia dalam ancaman pelanggaran HAM.

Langkah Awal

Kini, setelah amanat presiden ditandatangani dan diserahkan kepada Ketua DPR, kita semua berharap legislatif segera melakukan upaya proaktif untuk meratifikasi konvensi tersebut tanpa reservasi (pengecualian terhadap pasal tertentu). Dengan ratifikasi, pemerintah memiliki kewajiban untuk membentuk mekanisme perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya yang mengedepankan HAM.

Meski demikian, ratifikasi Konvensi Buruh Migran ini sesungguhnya bukan akhir dari tanggung jawab negara. Justru ini merupakan langkah awal dan harus menjadi tonggak penanda perubahan yang lebih baik dalam perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya yang sudah sangat nyata telah memasok devisa bagi negara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar