Sesulit
Apa Mematikan Korupsi
Donny Gahral Adian, DOSEN FILSAFAT POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber
: KOMPAS, 17
Februari 2012
Korupsi ibarat rumput kering pada musim
kemarau. Sedikit saja lengah, sebatang korek mampu menghanguskan hutan beserta isinya.
Api merambat, membiak, dan menyeret dengan cepat dan beringas. Untuk itu, dalam
upaya mematikan api korupsi, diperlukan keberanian ekstra untuk menembus hutan
yang terbakar. Di sini, ucapan Tuan Presiden tentang sulitnya memberantas
korupsi memperoleh makna. Panglima tertinggi yang bersumpah untuk memimpin
pemberantasan korupsi akhirnya menimang dengan bimbang pedangnya sendiri.
Namun, mari tak berburuk sangka dan mencoba
menyelami kegalauan di lubuk hati Tuan Presiden.
Korupsi Terorganisasi
Kita pasti bertanya, mengapa setelah sekian
lama, Tuan Presiden akhirnya mengeluhkan sulitnya mematikan korupsi. Apakah
fakta lapangan memang menunjukkan demikian? Atau, itu lebih merupakan proyeksi
kesulitan internal partai Tuan Presiden sendiri?
Kita tahu betapa keluh kesah Tuan Presiden
disampaikan setelah api korupsi merambati rumah politiknya sendiri. Tidak
tanggung-tanggung. Korupsi tidak hanya menyeret pengurus rumah, tetapi juga
sang kepala rumah.
Namun, saya tidak ingin memojokkan rumah
politik Tuan Presiden semata. Terlepas dari rekam jejak ketidaktegasan Tuan
Presiden, saya ingin mencari tahu apa sesungguhnya kesulitan itu. Mari kita
mulai dengan mencoba memahami tiwikrama yang tengah dialami korupsi di Republik
ini.
Kita biasa mendengar kata ”korupsi politik”.
Konsep itu merujuk pada tindakan koruptif yang dilakukan demi tujuan-tujuan
politik.
Kepala daerah yang mengorup Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk biaya kampanye pemilihan kepala
daerah berikut tergolong pelaku korupsi politik.
Biaya politik yang sangat tinggi memantik
perilaku korupsi politik. Bayangkan, seorang bupati bakal calon gubernur sudah
sesumbar akan menggelontorkan seratus miliar apabila direkomendasi partainya.
Duit dari mana? Gaji pokok bupati lebih kecil daripada gaji saya di
universitas.
Sayangnya, ”korupsi politik” tidak
sesederhana yang dibayangkan orang. ”Korupsi politik” bukan lagi upaya
menjadikan korupsi sebagai alat tukar politik. Itu sudah berubah menjadi
korupsi yang terorganisasi secara politik. Dengan kata lain, korupsi bukan
inisiatif orang per orang, melainkan sistem yang bersarang pada organisasi
politik, apa pun benderanya.
Politik sudah kadung dimaknai sebagai biaya.
Akibatnya, pasang surut partai sebagai organisasi politik tergantung pada saldo
kas-nya. Untuk itu, sejumlah fungsionaris partai ditempatkan di jabatan yang
kuyup rupiah. Sebagian lagi ditugaskan di posisi-posisi penentu anggaran di
parlemen.
Lalu, ke mana sisanya? Sisanya ditempatkan di
berbagai posisi yang dapat memberi proteksi politik apabila diperlukan. Semua
diatur dengan rapi dan rahasia. Korupsi pun menjadi sewajar menarik uang di
ATM. Tidak ada yang salah. Sebab, kekuatan-kekuatan pelindung, mulai dari
hukum, ekonomi, sampai politik, bekerja secara paripurna.
Gonjang-ganjing di partai Tuan Presiden,
menurut hemat saya, adalah akibat kesalahan manusia (human error) yang membuat
pengorganisasian korupsi berantakan sampai akhirnya terdeteksi.
Hukum dan Infeksi Politik
Orang pasti mengeluhkan pesimisme akut yang
saya idap ini. Artinya, ucapan Tuan Presiden menjadi masuk akal dan hati
sekaligus. Kita akhirnya berempati terhadap kesulitan Presiden memberantas
korupsi.
Namun, banyak yang belum tahu bahwa empati
adalah satir dalam bentuk lain. Tulisan ini adalah satir terhadap ketumpulan
politik di hadapan korupsi. Politik tumpul karena alih-alih menjadi pedang yang
memenggal koruptor, dia justru menjadi baju besi bagi mereka.
Ketika kita berharap pada politik untuk
mematikan korupsi, kita tengah menyodorkan cek kosong. Ini ibarat meminta seorang
ibu menyudahi nyawa anak kandungnya sendiri.
Ketika politik tumpul memenggal korupsi, lalu
Tuan Presiden pun menyerahkan kepada dewi keadilan. Saat politik disesaki
ketidakpastian dan kontestasi kepentingan, hukum akan melantangkan kepastian.
Hukum ibarat mesias yang akan membawa kita
keluar dari padang gurun korupsi. Itu sebabnya, semua politisi kita (termasuk
Tuan Presiden) akan berkata ”serahkan pada hukum” ketika ditanya mengenai
penyelesaian masalah korupsi.
Hukum akan menunjukkan siapa yang benar dan
siapa yang salah secara adil dan pasti. Setelah itu, pedang politik akan sangat
enteng diayunkan. Sebab, titah dewi keadilan adalah harga mati bagi siapa pun
juga di republik ini. Tak terkecuali pimpinan partai dan Tuan Presiden sendiri.
Namun, apakah benar hukum dapat menjadi
mesias yang akan menyelamatkan republik ini dari korupsi? Mereka yang
membedakan antara politik yang tak pasti dan hukum yang pasti menderita
kenaifan tersendiri.
Pertama, muasal hukum adalah politik. Hukum
tidak dibuat di ruang kosong, tetapi laboratorium politik yang sarat
kepentingan. Hukum tidak dibuat oleh orang-orang suci, tetapi lembaga politik.
Dengan demikian, hukum tidak se-mesianistik
yang dibayangkan orang. Hukum dibuat bukan untuk hukum itu sendiri, melainkan
demi suatu tujuan di luar hukum. Nah, tujuan itu kemudian digenapi oleh para
politisi pembuat hukum yang notabene adalah protektor bagi kesehatan keuangan
partainya.
Kedua, hukum bukan sekadar dokumen, melainkan
juga orang dan organisasi. Ketika berbicara soal orang dan organisasi, kita tak
dapat melepaskan diri dari politik. Orang bersaing dan organisasi butuh
pelumas. Dokumen hanya benda mati yang hidup ketika orang memutuskan dan
organisasi mendukung.
Kasus Bank Century, misalnya. Ketika
undang-undang memberi kewenangan ekstra bagi Komisi Pemberantasan Korupsi,
semua tidak berarti banyak. Pengusutan kasus Bank Century hanya berhasil
apabila pimpinan memutuskan dan organisasi mendukung penuh tanpa ”masuk angin”.
Jika tidak, sampai kiamat pun ”perbuatan
melawan hukum” tidak akan ditemukan dalam kasus dana talangan Bank Century.
Sekali lagi, hukum tidak kalah ganjilnya
dengan politik. Kalimat sakti ”kita serahkan pada hukum” sama artinya dengan
menyerahkan ketidakpastian lama ke ketidakpastian baru.
Hukum adalah nama lain bagi medan kontestasi
politik dan ekonomi. Mereka yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik dapat
bernapas lega ketika Tuan Presiden sudah berkata ”kita serahkan pada hukum”.
Sinis?
Waktu akan menjawabnya. Namun, saya kok yakin
Gusti Allah ora sare. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar