Ambivalensi
Sikap Penyelenggara Negara
Romli Atmasasmita, GURU
BESAR EMERITUS UNIVERSITAS PADJADJARAN,
ANGGOTA DEWAN PAKAR PARTAI NASDEM
ANGGOTA DEWAN PAKAR PARTAI NASDEM
Sumber
: SINDO, 17
Februari 2012
Saat ini KPK
masih belum optimal melaksanakan tugas dan wewenangnya berdasarkan UU KPK
karena masalah internal dan eksternal. Masalah internal yaitu belum ada
pemahaman yang sama antara pimpinan dan pegawai penyidik dan penuntut mengenai
visi dan misi KPK.
Ketidaksepahaman itu terfokus pada pandangan KPK sebagai lembaga negara independen di samping kepolisian dan kejaksaan di satu sisi dan mengenai fungsi dan peranan KPK sebagai mitra kerja DPR RI di sisi lain. Sementara masalah eksternalnya, KPK telah menjadi pusat perhatian masyarakat luas dan bahkan menjadi ”kambing hitam” penyelenggara negara dalam menuntaskan pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Jargon ”masih menunggu penetapan tersangka dari KPK” atau ”penyelesaian diserahkan sepenuhnya pada KPK untuk memulai menindak anggota partai politik yang terlibat perkara korupsi” menempatkan KPK pada posisi disudutkan. Dengan demikian, beban psikologis pimpinan KPK sangat tinggi, seolah-olah ingin mengatakan bahwa nasib tersangka sepenuhnya di tangan KPK.
Pola pikir tersebut sangat keliru karena tidak berangkat dari perbedaan yang jelas dan tegas antara ranah hukum pidana dan hukum administrasi negara (penyelenggara negara) di satu sisi dan perbedaan antara ranah hukum dan ranah politik di sisi lain. Lebih jauh sikap ambigu di atas menunjukkan masih rendahnya integritas penyelenggara negara dalam mewujudkan komitmen pemberantasan korupsi.
Sekali lagi harus diingatkan kembali bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi tidak terletak pada pernyataan-pernyataan di muka publik, tapi hanya dapat diwujudkan dengan langkah nyata (action). Bentuknya bisa saja seperti pemberhentian sementara status hukum sebagai PNS/penyelenggara negara terhadap para pelaku yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK ataupun oleh kejaksaan. Indonesia memang serbaterbalik dalam masalah ini.
Jika kita contoh di negara maju,ketika seorang pejabat negara hanya diduga atau diisukan melakukan tindak pidana termasuk suap, dengan sendirinya yang bersangkutan menyatakan pengunduran dirinya di hadapan publik.Langkah itu untuk membuktikan komitmen dan langkah nyata dalam memelihara prinsip pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance).
Tidak terdengar pernyataan bahwa harus dihargai asas praduga tak bersalah atau menunggu putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, sementara yang bersangkutan terus saja menduduki jabatan dan menjalankan tugasnya, seolaholah tidak terjadi masalah. Jika dibandingkan sikap penyelenggara negara di negara maju dalam kaitan ini,dapat dikatakan bahwa sikap penyelenggara negara di Indonesia sebatas omong kosong saja. Sikap itu telah melukai perasaan keadilan rakyat.
Sementara jika rakyat yang tidak mampu melakukan kejahatan,serta-merta langkah penangkapan dan penahanan berjalan tanpa hambatan apa pun. Persoalan serius ini bukan terletak pada bagaimana memerankan fungsi dan peranan hukum progresif yang hanya dibebankan pada aparatur penegak hukum.Hakikat dan tujuan hukum progresif itu seharusnya telah melekat pada hati nurani para penyelenggara negara.
Apakah tidak memalukan jika sikap penyelenggara negara selalu menggunakan jargon asas praduga tak bersalah dan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi rakyat miskin jargon yang sama tidak diberlakukan? Atas dasar pertimbangan ini, kepada KPK diberikan wewenang berdasarkan UU KPK untuk melakukan langkah-langkah hukum yang luar biasa.
Termasuk di antaranya langkah penyadapan dan pemeriksaan penyelenggara negara yang tidak dimiliki kepolisian dan kejaksaan. Putusan MK RI yang telah mempreteli status hukum tersangka pimpinan KPK tidak boleh diberhentikan sementara hanya atas alasan diskriminasi dan bertentangan dengan UUD telah menempatkan status hukum pimpinan KPK yang bersangkutan sama dengan PNS/ penyelenggara negara lain.
Mereka sangat rentan terhadap pelemahan sikap dan integritas pimpinan KPK di masa yang akan datang. Contoh terbaru adalah rotasi anggota DPR dari Partai Demokrat Angelina Sondakh ke Komisi III dalam posisi yang bersangkutan sebagai tersangka oleh KPK. Sementara jika di satu sisi terjadi banyak keanehan penggunaan asas praduga tak bersalah yang menguntungkan individu yang bermasalah dengan korupsi, di sisi lain ada langkah buruk lain dari pemerintah.
Langkah melakukan pengetatan remisi dan bebas bersyarat yang bersifat diskriminatif terhadap beberapa anggota parpol lain bertentangan dengan UUD dan UU Pemasyarakatan. Sangat mengejutkan sikap dan pernyataan wakil pemerintah, Kementrian Hukum dan HAM di sidang Pengadilan TUN Jakarta Timur yang menyatakan bahwa hak terpidana tidak sama dengan HAM.
Menjadi pertanyaan bagi saya, apakah mereka yang berada di dalam LP saat ini hanya hewanhewan yang dikerangkeng? Sedangkan di antara mereka terdapat mantan pejabat negara yang telah berjasa kepada negara ini. Tidak ada satu pun ketentuan dalam Konvensi HAM Internasional dan UUD 1945 yang menegaskan bahwa HAM tidak berlaku untuk terpidana alias warga binaan.
Baca dan teliti kalimat ”every persons...” atau ”setiap orang...” dalam kedua rujukan hukum di atas. Saat ini kita merindukan dan sangat mengharapkan pemimpin dan penyelenggara negara bukan hanya pintar, melainkan juga amanah, jujur, berintegritas, dan satunya kata dengan perbuatan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar