Demokrasi
yang Sakit
Daoed Joesoef, ALUMNUS UNIVERSITE PLURIDISCIPLINAIRES PANTHEON-SORBONNE
Sumber
: KOMPAS, 3
Februari 2012
Wahai para politikus dan penguasa negeri,
bukalah mata dan pikiran! Kerusuhan Sidomulyo dan Bima, gerakan separatis di
Aceh, Papua, dan Ambon adalah ”hasil nyata” dari sinergi dua kekuatan
destruktif—demokrasi sakit-sakitan dan pembangunan eksklusif—karya kalian.
Demokrasi sakit setelah ia diterapkan tidak
langsung. Yang diderita adalah penyakit institusional, motivasional, dan
mekanistis, disebut neurosis politis. Neurosis adalah kondisi yang bisa dialami
siapa atau apa saja dalam mencapai tujuan.
Demokrasi punya tiga tujuan politis. Pertama
(A), secara implisit dan dijadikan ideal, adalah menjunjung tinggi kedaulatan
rakyat dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yaitu pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Kedua (B), tidak dinyatakan secara eksplisit
karena bersifat problematik, adalah menentang siapa atau apa pun yang mau
menindas kepentingan rakyat.
Ketiga (C), kelihatannya tidak problematik:
berdisiplin pada partai—dengan berpura-pura berpihak ke rakyat—melalui slogan
”demi kepentingan umum, ”atas nama rakyat”, ”vox populi vox dei”.
Demokrasi menderita neurosis apabila
tujuannya yang riil, tetapi problematik (B) berbeda dengan yang resmi, tetapi
tidak sungguhan, dan dibeberkan secara terbuka (C), begitu rupa hingga tujuan
(B) diredam, terbengkalai. Begitu demokrasi terperangkap dalam kebingungan
(neurosis) politis, ”logika” lebih banyak menghambat ketimbang membantu.
Apabila menganggap semakin ”logis” berusaha
mencapai tujuan resmi, tetapi sebenarnya bohong-bohongan (C), semakin jauh ia
dari tujuan riil dan problematik (B), semakin tidak berdaya ia memecahkan
masalah-masalah yang terkait dengan tujuan (B), jadi semakin tidak menjangkau
tujuan riil yang didambakan (A).
Berarti, semakin logis demokrasi menganggap
usaha mencapai tujuan yang dengan resmi dibeberkan (C), akan semakin gagal ia
secara riil (A) dan (B). Maka, agar bisa sukses demokrasi perlu bertindak
”tidak logis” (illogic). Peredaman logika ini menghambat kemajuan sekaligus
melecehkan logika human. Dengan kata lain, logika di sini menjadi penghambat
dan bukan pembantu kemajuan, termasuk dalam urusan pelayanan kepada rakyat yang
katanya pemilik negara berdemokrasi.
Kerdilkan
Otonomi Warga
Selain cenderung meredam logika, demokrasi
tak langsung mengerdilkan keotonomian warga dan menepis daya kritis anggota
parpol. Para warga dimotivasi agar berkelompok dalam parpol dan organisasi yang
dilembagakan inilah yang menetapkan calon-calon wakil. Baru sesudah itu warga
”dipersilakan” memilih di antara calon-calon itu, yang akan mendapat
kepercayaan formal sebagai wakil mereka serta berlabel ”wakil rakyat” di bidang
legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Sesudah wakil terpilih, rakyat yang memilih
kehilangan keotonomiannya dalam bertindak secara politis. Kehilangan ini oleh
mekanisme pemilihan disulap hingga kelihatannya wajar-wajar saja.
Yang turut lenyap, tetapi tersembunyi dari
penglihatan sebagai akibat bekerjanya mekanisme tersebut, adalah criticism yang
justru diperlukan bagi kesehatan demokrasi. Ia lenyap setelah atribut rakyat
selaku individu otonom diserahkan, padahal sang wakil yang menerima belum tentu
menghayati. Sebab, dalam memfungsikan criticism, sang wakil masih punya rujukan
lain, yaitu kehendak parpol yang telah ”mendudukkan” dia di kursi terhomat
Dewan Perwakilan Rakyat.
Jadi, built-in mechanism institusional dan
motivasional yang dimiliki oleh neurosis politis menyelubungi suatu kekeliruan
faktual: bahwa organisasi politik tidak bisa melahirkan manusia otonom karena
diskusi politik paling jauh hanya menggugah semangat mengkritik (the spirit to
criticize). Semangat ini tidak berkembang menjadi semangat kritis (critical
spirit) karena adanya disiplin partai. Semangat kritis terkait dengan
keberanian untuk membedakan antara benar dan salah, bebas dari bujukan,
resolusi rapat akbar, ataupun disiplin kepartaian.
Wakil rakyat dan politikus dibiasakan
berdisiplin kepada partai, bukan kepada rakyat pemilih yang mengorbankan
keotonomian dan kekritisannya. Mereka tidak mengimbangi pengorbanan rakyat itu
dengan mengembangkan semangat kritisnya berhubung parpol sudah menjadi sumber
nafkah yang pasti. Maka, dengan dalih ”disiplin partai”, para wakil rakyat dan
politikus paling jauh mengkritik parpol dan politikus lain, bukan parpolnya
sendiri dan kawan-kawan separtai. Sikap politis semacam ini semakin meracuni
sosok demokrasi yang sudah sakit-sakitan.
Pembangunan nasional punya peluang untuk
menyehatkan demokrasi. Pangkal kesehatan ini bukan eksistensi formal
lembaga-lembaga, melainkan seberapa jauh suara yang berbeda dari berbagai
lapisan rakyat didengar, jadi mengacu pada ”government by discussion”, yaitu
kapasitas menggandakan reasoned engagement melalui peningkatan ketersediaan
informasi dan kelayakan diskusi interaktif.
Hal ini justru dilecehkan oleh pemerintah,
sebelum dan sesudah reformasi, dengan menyodorkan ke rakyat keputusan
pemerintah yang serba jadi, ”take it or leave it”. Dengan mereduksi
”pembangunan nasional” menjadi hanya ”pembangunan ekonomi”, di tataran makro,
kebiasaan ekstraktif meningkat ekstensif dan intensif. Akibatnya lebih runyam
daripada zaman penjajahan. Kalau dulu luas tanah berhadapan dengan 70 juta
penduduk, sekarang 230 juta manusia memperebutkan luas tanah yang sama dengan
kandungan alam jauh berkurang. Penduduk dipasok kaum miskin, berhubung the poor
gets children while the rich gets richer.
Pasar
Kalahkan Aspirasi
Di tataran mikroekonomi, suasana produksi
didikte oleh ”prinsip pasar” dari ajaran teori ekonomi pure and simple, bukan
oleh aspirasi rakyat sewaktu revolusi dulu. Maka, mesin produksi tidak lagi
membuat ”barang/jasa”, tetapi ”simbol” kemewahan dari orang-orang bertenaga
beli tinggi.
Jadi, setelah dalam pembangunan demokrasi
rakyat mengorbankan keotonomiannya tanpa imbalan sepadan, dalam pembangunan
nasional rakyat pun menjadi ”penonton pasif”, tidak dianggap manusia
bermartabat, tidak ”diwongke”. Rakyat hanyalah ”angka rata-rata”, suatu hal
yang dikutuk oleh Disraelli dengan ungkapan ”lies, damned lies, and
statistics”.
Tidak heran kalau rakyat jengkel dan gampang
marah. Hal sepele mudah menyulut amuk massa karena stres. Ketika kekecewaan
masih individual, rakyat kembali ke suku atau daerah asalnya. Jika kekecewaan
meliputi suku atau daerah, rakyat akan serentak keluar dari NKRI. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar