Senin, 06 Februari 2012

Politics Is Never Fair

Politics Is Never Fair
Saifur Rohman, DOKTOR DAN PENGAJAR FILSAFAT, MENETAP DI SEMARANG
Sumber : JAWA POS, 6 Februari 2012




AKHIRNYA Angelina Sondakh dari Partai Demokrat ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK Jumat lalu (3/2). Menanggapi penetapan itu, Angie, sapaan akrab Angelina Sondakh, menyalahkan keadaan melalui pernyataan dalam salah satu akun jejaring sosialnya, "Politics (is) never fair play." Dia seakan-akan baru tahu bahwa aturan main dalam dunia politik sangat berbeda dengan kontes ratu kecantikan.

Secara psikologis, penetapan itu seperti memenuhi harapan publik selama ini. Penetapan tersebut hampir setengah tahun setelah Nazaruddin tertangkap di Kota Cartagena, Kolombia, Minggu (7/8/11). Publik masih ingat, dia menggunakan paspor atas nama Syarifudin.

Nazaruddin menggunakan modus para koruptor pada masa lalu. Modusnya berdasar pengetahuan tentang trik kejahatan di Indonesia. Dalam sepuluh tahun terakhir, terdapat sekitar 45 koruptor yang lari ke luar negeri. Hampir separo di antara mereka menuju Singapura. Tujuan yang lain adalah Hongkong, Taiwan, dan Amerika. Kasus terbanyak adalah kasus BLBI. Artinya, rata-rata empat koruptor kakap memilih menjadi buron dan "menghilang" di luar negeri.

Ketika seorang diketahui menggarong uang negara, kemudian publik menuntut dia cepat diringkus, pelaku siap-siap melihat masa berlaku paspor dan jadwal penerbangan ke luar negeri. Mereka tidak bisa disebut kabur. Sebab, jangan salah, penerbangan itu sangat boleh jadi bukan tanpa sepengetahuan aparat karena pelaku sudah "mengoordinasikannya" terhadap pihak-pihak terkait. Contoh, rencana penerbangan Jumat, pencekalan dilakukan Sabtu.

Permodelan kejahatan itu bukanlah modus operandi biasa yang dilakukan para penjahat kampung yang miskin, nekat, dan bodoh. Bagaimana semangat aparat menjaga "keberlangsungan" mekanisme itu? Mengapa semua itu tiba-tiba seperti nirfungsi, bahkan malfungsi. Siapa sesungguhnya yang sedang kita kejar?

Norma Adalah Ketololan

Kita sebetulnya sedang menghadapi orang yang mengalami tekanan psikologis. Dalam psikologi, seseorang dikatakan sakit mental jika perilakunya menyimpang (outlier) dari norma-norma yang berlaku umum. Penyakit paling ringan adalah paranoia (kecurigaan tanpa dasar) dan paling berat adalah psikosis (hasrat untuk menghancurkan). Penyakit paranoid ditandai dengan halusinasi yang mengganggu pikiran, sedangkan dalam kasus psikosis pikirannya sudah dianggap sebagai fakta primer sehingga realitas objektif hilang.

Bila diterapkan pada kasus yang kita hadapi, tampak jelas pelarian koruptor dilatarbelakangi gangguan psikosis. Di pikirannya tergambar orang-orang barbar. Fakta subjektif yang muncul, orang lain telah dilihatnya membabi buta mencari kekayaan. Orang di sekitarnya telah menekan individu sehingga dirinya merasa tersudut, miskin sendirian, dan akhirnya terlukai. Kekayaan yang dikumpulkannya sebetulnya dimaksudkan untuk melukai orang lain.

Karena itu, kognisi koruptor tidak berfungsi optimal. Dia akan mencari cara apa pun untuk menggangsir kekayaan sebanyak-banyaknya. Prinsip dasarnya: The end justified the mean. Tujuan menghalalkan cara. Koruptor tidak bisa membedakan antara berbagai alternatif proses normatif dan proses menyimpang demi mencapai kekayaan, kemuliaan, dan kesenangan. Norma dianggap sebagai ketololan yang tak perlu diikuti.

Emosi mereka kehilangan kontrol. Perasaannya meluap demi gemerlap kemewahan yang bisa dicapai melalui kewenangan. Kemewahan yang ditunjukkan adalah cara membalas sakit hatinya selama ini.

Rasio tanpa Moral

Dalam perspektif filsafat, rasio tanpa moralitas adalah eksploitasi. Rasionalitas kemudian cenderung pragmatis, oportunistis, membuat segalanya jadi objek. Pikiran jadi tidak normal. Tidaklah aneh bila perilaku korupsi akan mengalami pencanggihan seiring dengan penciptaan perangkap-perangkap baru.

Buktinya, belasan warga negara Indonesia yang kabur ke luar negeri merupakan hasil salah satu siasat atas perangkap yang ada. Siasat para pendahulu seakan-akan menjadi "yurisprudensi" bagi koruptor di segala bidang. Contohnya, Nazaruddin adalah politikus yang terkait dengan dugaan korupsi dana olahraga. Dia menghilang ke Singapura sampai tertangkap di Kolombia. Ketika publik membicarakan penangkapannya, semula dia menyatakan bahwa dirinya sakit. Tetapi kemudian, diketahui dia takut pulang. Belakangan dia berkoar bahwa tindakan itu melibatkan rekan-rekannya. Modus serupa dilakukan Nunun Nurbaeti dan Anggoro Widjojo.

Para gerombolan tersangka BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia) adalah kelompok penjahat terbesar yang tiba-tiba menghilang. Contohnya, Bambang Soetrisno dan Andrian Kiki Ariawan, kalangan profesional, kini tidak terlacak setelah pergi ke Singapura.

Bukti-bukti tersebut cukuplah untuk menyatakan bahwa masalah pidana yang dihadapi seakan-akan sudah selesai. Tetapi, sebaliknya, masalah yang sesungguhnya dialami para koruptor justru semakin tampak. Jiwa mereka tidak mampu membedakan antara realitas primer dan realitas khayalan. Tanggung jawab lenyap, berganti dengan kepengecutan.

Selain penjara, jiwa seperti itu membutuhkan terapis untuk membongkar isi kognisi serta mengarahkan pada perilaku yang tertib dan benar. Untuk mengatasi kebuntuan cara menghadapi para koruptor yang terus melawan, dapat dipilih jalur terapi psikologis. Dengan terapi-terapi seperti model CBT (cognitive behavior therapy), terapi makna dan emosi, dapat diharapkan para tersangka mau jujur dan menerima kenyataan. Mestinya, pemerintah mengantisipasi model-model terdahulu diterapkan para tersangka masa kini.

Pernyataan Angie bahwa politik tak pernah adil memberikan indkasi pengetahuan awal tentang adanya praktik tidak fair dalam setiap lini politik. Artinya, dia tahu, dari ratu kecantikan menjadi ratu Senayan jelas bukan aturan yang adil.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar