Pembangunan
Berkesinambungan
dan
Perubahan Iklim
Jeffrey D. Sachs, GURU BESAR EKONOMI DAN DIREKTUR EARTH
INSTITUTE DI COLUMBIA UNIVERSITY, PENASIHAT KHUSUS SEKRETARIS JENDERAL PBB
MENGENAI MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS
Sumber
: KORAN TEMPO, 3
Februari 2012
Pembangunan
berkesinambungan berarti mencapai pertumbuhan ekonomi yang dinikmati bersama
dan yang melindungi sumber daya bumi yang vital. Namun ekonomi global saat ini
tidak berkesinambungan. Lebih dari 1 miliar orang tertinggal di belakang dan
lingkungan alam menderita kerusakan yang parah akibat ulah manusia. Pembangunan
yang berkesinambungan memerlukan mobilisasi teknologi-teknologi baru yang
dibimbing nilai-nilai sosial yang dibagi bersama.
Sekretaris
Jenderal Perserikatan BangsaBangsa Ban Ki-moon dengan tepat telah menempatkan
pembangunan berkesinambungan pada urutan teratas agenda global. Kita telah
memasuki masa yang berbahaya, dengan jumlah penduduk bumi yang besar dan terus
bertambah, beserta pertumbuhan ekonomi yang cepat, yang dikhawatirkan bakal
membawa dampak serius terhadap iklim dunia, keanekaragaman hayati, dan
ketersediaan air tawar. Para ilmuwan menamakan periode baru ini
Anthropocene--ketika manusia telah menjadi penyebab utama perubahan fisik dan
biologis di muka bumi.
Panel
Kebersinambungan Global (GSP) Sekretaris Jenderal PBB telah mengeluarkan sebuah
laporan yang memberikan garis besar kerangka pembangunan berkesinambungan. GSP
mencatat ada tiga pilar pembangunan berkesinambungan: mengakhiri kemiskinan
ekstrem; memastikan kemakmuran dibagi bersama untuk semua, termasuk wanita,
generasi muda, dan kaum minoritas; serta melindungi lingkungan. Pilar-pilar ini
bisa disebut pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan. Atau, sederhananya, triple
bottom line pembangunan berkesinambungan.
GSP
telah menyerukan kepada para pemimpin dunia agar mengadopsi serangkaian baru
Sustainable Development Goals, atau SDGs, yang akan membantu memberi bentuk
aksi dan kebijakan global setelah 2015 sebagai target tercapainya Millennium
Development Goals (MDGs).
Sementara MDGs berfokus pada pengentasan masyarakat miskin ekstrem, SDGs akan berfokus pada ketiga pilar pembangunan berkesinambungan: mengakhiri kemiskinan ekstrem, dinikmatinya bersama hasil-hasil pembangunan ekonomi, dan dilindunginya bumi
Sementara MDGs berfokus pada pengentasan masyarakat miskin ekstrem, SDGs akan berfokus pada ketiga pilar pembangunan berkesinambungan: mengakhiri kemiskinan ekstrem, dinikmatinya bersama hasil-hasil pembangunan ekonomi, dan dilindunginya bumi
Sudah
tentu mencapai tujuan yang hendak diraih SDGs tidak semudah
meluncurkannya. Masalahnya bisa dilihat
dengan mengamati satu tantangan utamanya: perubahan iklim. Dewasa ini, ada 7
miliar orang yang mendiami bumi, dan setiap satu orang rata-rata ikut
bertanggungjawab atas lepasnya setiap tahun lebih dari 4 ton karbon dioksida ke
dalam atmosfir. Emisi CO2 terjadi ketika kita menggunakan batubara, minyak, dan
gas untuk menghasilkan listrik, mengendarai mobil, atau menyalakan alat
penghangat di rumah kita. Semua manusia mengeluarkan emisi sekitar 30 miliar
ton CO2 per tahun ke dalam atmosfer, jumlah yang cukup untuk mengubah iklim
dengan tajam dalam waktu beberapa dekade.
Menjelang
2050, mungkin bakal ada lebih dari 9 miliar orang di muka bumi. Jika
orang-orang ini lebih kaya daripada orang-orang sekarang ini (dan karena itu
menggunakan lebih banyak bahan bakar per orang), total emisi di seluruh dunia
bakal meningkat dua kali atau bahkan tiga kali lipat. Inilah dilema yang harus
kita hadapi: kita perlu membatasi emisi CO2, tapi kita berada di jalur global
yang mendorong emisi semakin besar.
Kita
harus peduli terhadap skenario ini, karena jika kita tetap berada di jalur
emisi global yang terus meningkat, hampir pasti bakal terjadi kekacauan dan
penderitaan bagi miliaran orang, sementara mereka dilanda kekeringan, gelombang
panas, badai, dan banyak lagi bencana lainnya. Kita sudah mengalami awal dari
penderitaan itu pada tahun-tahun terakhir ini dengan terjadinya kelaparan yang
kejam, banjir, dan bencana-bencana lainnya yang terkait dengan perubahan iklim.
Jadi,
bagaimana penduduk di muka bumi ini—terutama mereka yang hidup dalam
kemiskinan—bisa memperoleh manfaat dari akses transportasi modern yang lebih
besar, tapi dengan cara yang menyelamatkan bumi, bukan dengan menghancurkannya?
Kenyataannya adalah kita tidak bisa melakukannya—kecuali kita meningkatkan
dengan dramatis teknologi yang kita gunakan.
Kita
perlu menggunakan energi dengan lebih bijaksana, sedangkan kita beralih dari
bahan bakar fosil ke sumber-sumber energi rendah karbon.
Peningkatan-peningkatan yang menentukan pasti bisa dicapai, dan secara ekonomi
realistis.
Lihat saja,
misalnya, tidak efisiennya energi mobil. Kita sekarang ini bergerak dari satu
ke tempat lainnya dengan kendaraan yang beratnya sekitar 1.000-2.000 kilogram
untuk mengangkut cuma beberapa orang, yang masing-masing beratnya mungkin
sekitar 75 kilogram. Dan kita berbuat begitu dengan menggunakan motor yang
memanfaatkan hanya sebagian kecil dari energi yang dirilis dengan membakar
bensin. Sebagian besar energi itu hilang sebagai panas yang terbuang percuma.
Maka kita sangat bisa mengurangi emisi CO2 dengan beralih
ke kendaraan kecil, ringan, dan yang menggunakan tenaga baterai yang
menggerakkan motor listrik yang sangat efisien dan yang dimuati listrik dari
sumber energi rendah karbon seperti tenaga surya. Bahkan lebih baik lagi,
dengan beralih ke kendaraan listrik, kita bakal bisa menggunakan teknologi informasi
yang canggih untuk membuat kendaraan itu pintar—bahkan cukup pintar untuk
mengembalikan dirinya sendiri dengan menggunakan sistem olah data dan positioning
yang maju.
Manfaat teknologi informasi dan komunikasi bisa ditemukan
di setiap wilayah kegiatan manusia: pertanian yang lebih baik dengan
menggunakan GPS dan pupuk mikro; presisi manufaktur, yang tahu bagaimana
menghemat penggunaan energi; dan kemampuan Internet, yang informatif dan yang
menghapus jarak itu. Mobile broadband sekarang sudah menjangkau dan
menghubungkan bahkan desa-desa terpencil di Afrika dan India, dan dengan
demikian memangkas perlunya perjalanan untuk menghubungi desa-desa itu.
Perbankan sekarang dilakukan lewat telepon, dan begitu
juga dunia medis yang semakin luas jangkauan diagnostiknya. Buku elektronik
dipancarkan langsung ke dalam telepon seluler tanpa perlu adanya toko buku,
perjalanan, dan kertas untuk terbentuknya buku secara fisik. Pendidikan juga
semakin tersedia online, dan tidak lama lagi memungkinkan siswa di mana-mana
memperoleh pelajaran kelas satu dengan ongkos yang “marginal”—hamper boleh
dikatakan nol.
Tapi berangkat dari sini menuju ke pembangunan berkesinambungan
bukan cuma soal teknologi. Ini juga soal insentif pasar, regulasi pemerintah,
dan dukungan publik untuk penelitian dan pengembangan. Tapi bahkan yang lebih
mendasar dari kebijakan dan regulasi adalah tantangan nilai. Kita harus
memahami nasib yang kita bagi bersama, dan merangkul pembangunan berkesinambungan
sebagai komitmen pada kepantasan (decency) hidup bagi umat manusia hari
ini dan di masa depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar