Sabtu, 18 Februari 2012

Antara Doha, Ramallah, dan Tel Aviv


Antara Doha, Ramallah, dan Tel Aviv
Broto Wardoyo, PENGAJAR DI DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL, UI
Sumber : KOMPAS, 18 Februari 2012


Hamas dan Fatah akhirnya mencapai kesepakatan rekonsiliasi. Mediasi yang dilakukan oleh Qatar berhasil menjembatani kepentingan kedua faksi untuk membentuk pemerintahan koalisi yang akan dipimpin oleh Presiden Mahmoud Abbas.
Ada empat catatan terkait kesepakatan yang ditandatangani di Doha ini.

Pertama, kesepakatan ini muncul justru ketika Palestina mengalami kebuntuan dalam negosiasi dengan Israel di Amman. Perundingan Palestina-Israel menunjukkan kegamangan Presiden Abbas. Pada September 2011, PLO mengajukan aplikasi untuk menjadi anggota PBB sebagai negara berdaulat. Pilihan untuk tetap menjalankan negosiasi langsung dengan Israel bisa dilihat sebagai inkonsistensi Palestina dalam bersikap.

Tekanan Publik

Kontradiksi ini juga bisa dilihat sebagai semakin lemahnya posisi politik Presiden Abbas. Langkah aplikasi ke PBB yang dilakukan PLO tidak saja ditentang Israel, tetapi juga Hamas.

Hamas konsisten dengan perjuangan bersenjata dalam melawan Israel meski melakukan modifikasi strategi (berkisar pada model intifada hingga strategi teror). Konsistensi Hamas ini mendapatkan hasil dengan peningkatan dukungan publik Palestina.

Kedua, terkait dengan catatan pertama, perundingan kali ini ditandatangani oleh Khaled Meshaal dan bukan oleh Ismail Haniya. Hal ini semakin mengindikasikan lemahnya posisi politik Presiden Abbas. Di Kairo, Fatah berunding dengan Hamas pimpinan Haniya. Sementara di Doha, Fatah berunding dengan Hamas pimpinan Meshaal.

Penandatanganan kesepakatan dengan Hamas pimpinan Meshaal, bukan Hamas versi Haniya, sangat mungkin dilakukan karena kebutuhan untuk memecah belah Hamas. Hamas pimpinan Haniya lebih mengakar di publik Palestina dibandingkan Hamas pimpinan Meshaal. Keberadaan Hamas pimpinan Haniya di ”wilayah pendudukan” dengan aksi-aksi sosial yang nyatalah yang selama ini jadi kekuatan utama Hamas dan pendulang suara publik Palestina.

Selain itu, berlangsungnya dua trek perundingan tersebut juga menjadi indikasi dua hal. Pertama, munculnya dualisme kepemimpinan di kubu Hamas. Kedua, ada pertarungan untuk mendapatkan keuntungan perdamaian (peace dividend) dari hadirnya kesepakatan. Kedua kemungkinan tersebut mempertegas dugaan semakin beragamnya pemain politik di Palestina.

Isu perpecahan di kubu Hamas bukanlah isu baru. Selain terpecah jadi kekuatan militer dan politik, Hamas juga terpecah dalam Hamas di ”wilayah pendudukan” dan Hamas di pengasingan. Hamas juga terpecah dalam kubu antara kelompok tua yang lebih ideologis dan kelompok muda yang lebih pragmatis.

Ketidakjelasan organisasional ini berkontribusi pada penolakan Barat secara membabi buta terhadap eksistensi Hamas. Akibatnya, semua perundingan yang dilakukan oleh Fatah dengan Hamas akan ditolak oleh Barat.

Catatan ketiga yang muncul dari kesepakatan ini adalah hadirnya Qatar sebagai mediator. Dalam beberapa tahun terakhir, peran regional Qatar cenderung meningkat. Peran Qatar dalam politik kawasan menjadi sangat terlihat dengan kemenangan Partai Ehnada dalam pemilu di Tunisia. Partai Ehnada disinyalir memiliki hubungan baik dengan Qatar.

Anna Mahjar-Barducci, Presiden Association of Liberal Democratic Arabs, bahkan menggunakan istilah patron untuk merujuk pada Emir Qatar dan klien untuk merujuk kepada pemimpin partai Ehnada Rached Ghannouci. Keterlibatan Qatar yang dikabarkan memiliki hubungan dagang dengan Israel tersebut semakin memperumit tali-temali hubungan di antara Hamas, Fatah, dan Israel.

Terakhir, catatan keempat, munculnya kesepakatan ini juga tidak bisa dilepaskan dari kuatnya tekanan perubahan di Dunia Arab atau dikenal dengan sebutan ”Arab Spring”. Meski tidak banyak disorot, gelombang protes publik Arab juga melanda Palestina.

Di periode awal ”Arab Spring”, publik Palestina menyerukan tekanan kepada para pihak yang bertikai di Palestina—Hamas dan Fatah—untuk melakukan rekonsiliasi. Publik mengancam akan melakukan mosi tidak percaya kepada pemerintahan-pemerintahan yang terbentuk kecuali jika pemerintahan yang terbentuk adalah pemerintahan koalisi Hamas-Fatah. Ancaman kudeta publik ini yang kemudian menghasilkan rangkaian pertemuan antara Hamas dan Fatah di Kairo, sebelum akhirnya dunia dikejutkan dengan penandatanganan kesepakatan antara Hamas dan Fatah di Doha.

Tuntutan Perubahan

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah perubahan apakah yang akan terjadi di masa datang? Kemungkinan terjadinya perubahan drastis peta politik Palestina tetap ada meski sangat kecil.

Ada beberapa alasan yang menjelaskan hipotesis tersebut. Pertama, suara Hamas pimpinan Meshaal di dalam Palestina tidak sekuat suara Hamas pimpinan Haniya. Meshaal memang memiliki relasi internasional yang kuat, termasuk dengan Iran. Meshaal menjadi saluran masuknya dana-dana bantuan bagi Hamas di ”wilayah pendudukan”. Figur Meshaal cukup kuat pada masa-masa yang lalu, tetapi sudah mulai memudar di masa-masa yang lebih kini.

Kedua, kesepakatan ini mensyaratkan pembentukan kabinet koalisi yang akan dipimpin Presiden Abbas. Hal ini akan membutuhkan pengaturan politik kenegaraan yang berbeda (terkait perangkapan jabatan perdana menteri dan presiden). Apakah tatanan politik baru tersebut bisa dibangun dalam rentang waktu yang cukup pendek? Apalagi, kabinet baru tersebut dibebani tugas melakukan pemilu di bulan Mei tahun ini. Tugas tersebut memiliki implikasi jangka panjang yang besar mengingat salah satu yang menjadi penyebab kekalahan Fatah dalam pemilu tahun 2006 adalah aturan pemilu yang menguntungkan Hamas.

Ketiga, penolakan Israel dan Barat terhadap keterlibatan Hamas. Meski Qatar memiliki relasi positif dengan Israel dan negara-negara Barat, Israel dan negara-negara Barat tetap menolak masuknya Hamas ke dalam pemerintahan. Selama logika berpikir ini (Hamas sebagai penghambat proses perdamaian) tak diubah, rekonsiliasi jenis apa pun tidak akan dapat membawa hasil pada proses negosiasi Palestina-Israel yang lebih maju. Pemahaman tentang pergeseran arah politik Hamas harus terlebih dahulu diterima sebagai realitas politik masa kini.

Tiga hal tersebut hanya akan bisa dikalahkan oleh semakin menguatnya tuntutan perubahan, bukan saja di Dunia Arab, melainkan juga di Israel. Hingga gelombang ”Arab Spring” berubah menjadi ”Middle East Spring”, rekonsiliasi Palestina tidak akan berdampak signifikan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar