Babak
Baru Mesir-AS
Hery Sucipto, DIREKTUR PUSAT
KAJIAN TIMUR TENGAH DAN DUNIA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
Sumber
: REPUBLIKA, 17
Februari 2012
Setahun
berlalu, Arab Spring (revolusi mu sim semi Arab) telah memunculkan peta baru
dalam negeri Mesir, baik dalam hal kehidupan sosial-politik internal maupun
dalam konteks hubungan negeri itu dengan Amerika Serikat (AS). Berhasil
menumbangkan diktator Husni Mubarak yang telah berkuasa selama 30 tahun, Mesir
menatap masa depan demokrasi dengan sukses menggelar pemilu parlemen.
Kelompok
Islam yang selama ini dilarang, memenangi pemilu, yakni Ikhwanul Muslimin (IM)
melalui sayap politik Partai Keadilan dan Kebebasan dengan 47 persen, disusul
kubu Salafi dengan Partai Nour meraih 25 persen.
Sementara partai liberal dan pemerintah meraih suara di bawah lima persen.
Kelompok Islam menguasai parlemen dan mengubah peta kehidupan politik negeri
itu yang selama ini dikuasai partai pemerintah yang berhaluan
nasionalis-sekuler dan militer.
Di
luar capaian itu, Mesir kini dihadapkan pada konflik baru dengan Pemerintah AS
terkait diadilinya 19 warga negara AS yang diduga terlibat dalam kerusuhan
beruntun di Mesir melalui aktivitas LSM dan dukungan bagi kelompok pengacau
keamanan di negeri Lembah Nil tersebut. Meski ditentang keras AS, proses hukum
terhadap 19 warga Paman Sam dan puluhan aktivis asing lainnya tetap berjalan.
Saling Menguntungkan
Dalam
sejarah Mesir modern (republik), hubungan Mesir-AS memang tak selamanya
berjalan mulus. Meski lebih banyak harmonis dan didominasi saling
ketergantungan, hubungan dua negara tersebut tak lepas dari kerikil sandungan.
Di
masa kepemimpinan Gamal Abdel Nasser --yang pernah mengobarkan perang Arab
melawan Israel tahun 1967-hubungan Mesir-AS kerap bersitegang dan cenderung saling
berhadapan. Maklum saja, Nasser yang berhaluan sosialis --termasuk bersama
Indonesia di era Bung Karno-lebih banyak berkiblat kepada Uni Soviet yang
komunis, dan tak lain kompetitor AS di era Perang Dingin. Mesir masuk dalam
blok Soviet.
Era
Nasser berlalu, Anwar Saddat memegang kendali sebagai pemimpin baru Mesir. Di
era Saddat inilah hubungan Mesir-AS mulai dibenahi. Perlahan namun pasti,
hubungan kedua negara terus membaik. Saddat yang lebih moderat dan realistis
dalam konteks kehidupan regional Timur Tengah dan Dunia Arab, dinilai AS dapat
menjadi mitra strategis di kawasan Timur Tengah.
Di
masa Saddat pula diteken perjanjian damai Camp David tahun 1978, yang menandai
hubungan damai Mesir-Israel. Selain mendapatkan kembali Gurun Sinai dari Israel
(sebagai konsekuensi perjanjian tersebut), Mesir di bawah Saddat juga kian
mendapat dukungan dan bantuan kuat dari AS.
Hubungan
kedua negara semakin erat di masa Mubarak, yang berkuasa awal 80-an hingga 2011
lalu. Di era Mubarak, Mesir menjadi `mercusuar' politik di Timur Tengah,
seperti Indonesia di era Pak Harto di kawasan Asia Tenggara. Di bawah Mubarak
pula, Mesir menjadi sekutu terdekat AS setelah Israel. Meski memerintah dengan
tangan besi dan tidak ditegakkannya hukum dan HAM di negeri itu, AS terus men-support
Mesir agar tetap tegak di bawah kendali Mubarak dan menjadi pemimpin di kawasan
Timur Tengah dan Dunia Arab.
Bahkan,
ketika rezim Mubarak dihantam badai revolusi rakyat Januari tahun lalu, AS
masih bersikeras mempertahankan rezim represif ini dengan menggelontorkan
ratusan juta dolar AS untuk menumpas aksi jalanan. Bagi AS, mempertahankan
Mubarak jauh lebih baik dan lebih kecil risiko ataupun cost politiknya
ketimbang mengganti atau menjatuhkan di rinya. Sayang, gerakan `polisi dunia'
itu pun gagal membungkam gerakan rakyat Mesir.
Kontraproduktif
Kini
hubungan kedua negara diuji dengan munculnya masalah pengadilan warga AS yang
diduga terlibat dalam kerusuhan dan kegiatan spionase di Mesir. Sejak meletus
revolusi dan pascatumbangnya Mubarak, Mesir terus dililit kerusuhan massal,
baik berbau SARA maupun politik. Beberapa kali serangan terhadap minoritas
Kristen, juga serangan terhadap masjid. Terakhir kerusuhan di lapangan sepak
bola di Port Said, yang menewaskan 74 orang dan ratusan lainnya terluka.
Bagi
Mesir, berkah revolusi di antaranya kebebasan dan penegakan hukum. Dalam
konteks penegakan hukum, patut diapresiasi, secara cepat memproses pengadilan
terhadap Mubarak dan kroninya. Meski Dewan Agung Militer, penguasa sementara di
negeri itu kerap menuai kritik dan hujatan, fakta menunjukkan proses hukum
berjalan dengan transparan dan cepat. Begitu pun dengan 19 warga AS yang segera
dimejahijaukan. Proses hukum ini patut dihormati sebagai bentuk ketegasan
Pemerintah Mesir terhadap Amerika, yang selama ini mendikte Mesir.
Pada
akhirnya, AS harus realistis berhitung karena dengan menentang proses hukum
terhadap warganya, sesungguhnya hanya kerugian yang akan didapat dan
kontraproduktif bagi hubungan kedua negara. AS harus sadar, Mesir sangatlah strategis.
Pertama,
dalam konteks politik global, Mesir selama ini menjadi pemain utama yang sangat
berpengaruh di Timur Tengah dan dunia Arab. Lebih vital lagi dalam proses
perdamaian Palestina-Israel. Mesir memegang kunci karena diterima baik oleh
kedua negara berseteru tersebut.
Kedua,
dengan tampilnya pemain baru dalam pentas politik Mesir, yakni kubu Islamis, AS
harus banyak belajar dan berhitung kembali terhadap konstelasi politik dalam
negeri Mesir. AS berkepentingan untuk memastikan moderatisme politik Mesir
dengan tampilnya kubu Islam.
Karena itu, salah besar jika AS yang selama ini memusuhi kelompok Islam Mesir, tetap menjaga jarak dengan mereka. Kubu Islam ini harus dirangkul.
Karena itu, salah besar jika AS yang selama ini memusuhi kelompok Islam Mesir, tetap menjaga jarak dengan mereka. Kubu Islam ini harus dirangkul.
Ketiga,
Amerika sangat berkepentingan terus memantau dan mengendalikan arah `parlemen
jalanan' yang terus berlangsung hingga hari ini. Bagi AS, jangan sampai aksi
jalanan ini liar dan menjadi efek domino bagi negara lainnya. Aksi ini harus
terpantau dan terkendali.
Jika
berkaca pada revolusi Islam Iran tahun 1979, AS tidak ingin kehilangan sekutu
strategisnya untuk kedua kali, setelah rezim Shah Iran yang notabene sekutu AS,
tumbang oleh revolusi rakyat. Pendek kata, jangan sampai Mesir menjadi Iran
kedua.
Dengan
berbagai pertimbangan itulah, sangat logis bila Mesir selama ini mendapat
kucuran bantuan terbesar kedua setelah Israel. Dari data yang ada, AS
mengucurkan rata-rata 1,3-1,5 miliar dolar AS. Bahkan, untuk tahun anggaran
2012, Mesir mendapat bantuan 1,6 miliar dolar AS, yang sebagian besarnya untuk
keperluan militer (1,3 miliar dolar AS), ekonomi 230 juta dolar AS, dan 60 juta
dolar AS untuk perusahaan (Republika, 15/12).
Yang
paling baik dan saling menguntungkan bagi kedua negara adalah seharusnya
hubungan dibangun atas dasar kepentingan bersama untuk kesejahteraan dan perdamaian.
Sebagai kawasan penuh konflik, Timur Tengah membutuhkan lebih banyak lagi
kontribusi bagi stabilitas keamanan. Apalagi, revolusi yang belum tuntas di
Suriah, Yaman, dan beberapa percikan kecil lainnya.
Dalam situasi seperti itu, baik AS maupun Mesir,
sangat berkepentingan untuk turut mengawal dan memastikan proses revolusi agar
berjalan di jalur yang benar. Keduanya harus menjadikan perkembangan itu
menjadi pintu masuk bagi tegaknya demokrasi dan pemerintahan rakyat yang bersih
serta akuntabel. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar