Kamis, 17 November 2011

Suap Sektor Swasta


Suap Sektor Swasta

Teten Masduki, AKTIVIS ANTIKORUPSI
Sumber : KOMPAS, 17 November 2011


Penawaran suap dari pelaku usaha untuk mendapat kontrak bisnis adalah gejala global saat ini.

Bribe Payer Index (2011) dengan skor rata-rata 7,8 menempatkan Indonesia dengan skor 7,1 di peringkat ke-25 dari 28 negara yang disurvei oleh Transparency International. Indonesia sedikit lebih baik dari Rusia (6,1) dan China (6,5). Di sini praktik suap pengusaha paling banyak dilakukan di sektor pekerjaan umum dan konstruksi dengan skor 5,3 (dari rata-rata 6,6).

Di Indonesia, suap dari sektor swasta dari waktu ke waktu nyatanya memainkan peran sentral sebagai sumber utama transaksi korupsi di antara pegawai negeri, pejabat pemerintah, dan anggota partai politik. Krisis finansial pada 1998 memperlihatkan faktor penawaran korupsi dari bisnis jadi masalah besar saat itu.

Dalam praktiknya suap itu bisa secara aktif diminta, diminta dengan pemerasan, ditawarkan secara proaktif oleh pebisnis ketika berhubungan dengan pejabat publik, dan ketiga bentuk itu sangat ditentukan oleh sejauh mana relasi kekuasaan antara pemerintah dan bisnis. Dalam survei Indeks Suap (2009) di 50 kota di Indonesia yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII), 45 persen mengaku biasa mendapat tawaran suap dari kalangan bisnis.

Politisi Terima Suap

Nilai transaksi suap sangat mencengangkan. Di negara berkembang disebutkan, politisi dan pejabat pemerintah menerima 20 miliar-40 miliar dollar AS tiap tahun, setara dengan 20-40 persen bantuan pembangunan (2008). Dan 50 persen manajer bisnis memperkirakan korupsi menambah biaya proyek sedikitnya 10 persen dan dalam beberapa kasus lebih dari 25 persen. Satu dari lima dari mereka mengakui dikalahkan pesaing yang melakukan suap (Control Risks and Simmons & Simmons, 2007). Sayangnya, nilai transaksi suap di dalam negeri belum diketahui.

Pengaruh suap dari sektor swasta terhadap perekonomian nasional barangkali berbeda-beda di setiap negara. Di negara- negara yang sangat tinggi tingkat korupsinya, seperti di Indonesia, pengaruhnya langsung menusuk ke dalam jantung perekonomian negara. Indonesia punya pengalaman nyata yang sangat panjang bagaimana transaksi bisnis yang kotor, baik dengan perusahaan asing maupun perusahaan nasional, hampir terjadi di semua sektor, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam, impor komoditas pangan, atau megakontrak pemerintah dalam pembangunan infrastruktur fisik.

Pada era Orde Baru, patronase rezim pemerintahan otoriter dan perusahaan multinasional atau konglomerasi nasional menjadi semacam simbiosis saling menguntungkan. Ia berkontribusi mempertahankan birokrasi, partai politik, dan pemerintahan yang korup. Pelaku bisnis yang kuat dapat mengendalikan kebijakan publik dan pemerintahan sehingga menghalangi terciptanya keputusan yang demokratis.

Dalam hal ini sebenarnya yang terjadi adalah perampokan negara secara sistematis: perusahaan melakukan pembayaran kepada pejabat publik untuk memengaruhi pilihan dan desain hukum, aturan, dan kebijakan publik. Jadi, dalam realitasnya jauh lebih rumit dari sekadar suap dalam bentuk transaksi kotor yang terputus.

Karena itu, hampir semua sumber ekonomi negara penting, antara lain dalam bentuk kredit subsidi, penghindaran pajak, kredit investasi, subsidi, pinjaman bersubsidi, dan pinjaman swasta dengan jaminan anggaran pemerintah, jatuh ke tangan segelintir pengusaha. Krisis finansial dan skandal kebijakan BLBI pada 1998 yang sampai sekarang mem- bebani APBN adalah contoh ekstrem gejala perampokan negara paling menyakitkan masyarakat.

Yang agak mengkhawatirkan dalam perkembangan mutakhir ialah gejala masuknya pengusaha jadi penguasa, baik di puncak pemimpin parpol berpengaruh maupun dalam tubuh pemerintahan, yang pada masa lalu pengusaha hanya donatur politik. Bisa dibayangkan yang akan terjadi di tengah bisnis mereka yang mengandalkan proyek yang dibiayai sumber pendanaan publik dan di tengah etiket bisnis yang rendah serta tiadanya pengaturan konflik kepentingan di negeri ini.

Bisa jadi pengusaha yang memasuki struktur kekuasaan politik adalah jalan pintas untuk berada di puncak kekuasaan ekonomi. Kasus Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, adalah contoh kecil bagaimana gejala pengusaha penguasa yang patut dikhawatirkan pada era demokrasi sekarang ini.

Masyarakat biasa adalah korban utama dari transaksi bisnis internasional yang kotor. Sekadar contoh: kasus Innospec yang menjual zat aditif terlarang TEL untuk produk premium dengan cara menyuap pejabat Pertamina. Saat ini kasusnya mandek di kejaksaan, padahal penyuapnya sudah diadili di Inggris dan AS.

Korban Jiwa

Hal yang sama pada masa lalu ialah skandal impor tabung gas rongsokan buatan Italia dalam proyek lingkungan ”Langit Biru” yang telah banyak membawa korban jiwa. Rakyat juga harus membayar mahal produk farmasi, misalnya, dari praktik kartel yang punya koneksi kuat terhadap otoritas kesehatan dan perdagangan dalam penetapan harga dan skema kolusi lainnya.

Anehnya, di Indonesia praktik suap dilakukan pelaku bisnis di tengah pengetahuan mereka tentang UU pemberantasan korupsi yang jauh lebih baik. Hasil survei TII pada 2008, 90 persen pebisnis paham UU pemberantasan korupsi. Sementara itu, hampir 77 persen dari 2.700 pejabat eksekutif, investor, dan eksportir besar di Perancis, Inggris, Jerman, dan AS tak mengetahui Konvensi OECD tentang Pemberantasan Suap terhadap Pejabat Publik Terlibat dalam Transaksi Bisnis Internasional.

Belakangan upaya mengurangi suap dari kalangan bisnis sedang mendapat perhatian global, termasuk korupsi dalam tubuh perusahaan swasta itu sendiri. Sejak demokratisasi yang meluas hampir di seluruh pelosok dunia, bentuk-bentuk transaksi bisnis kotor yang dilakukan perusahaan multinasional dengan rezim otoriter di negara berkembang sebagai komprador mereka sudah memasuki babak akhir.

Kini, dengan tuntutan transaksi bisnis yang kompetitif dan bersih, agenda pemberantasan korupsi mendunia, termasuk peran dunia bisnis di dalamnya. Meski harus diakui, tatanan ekonomi global dan pasar yang dinamis terus melahirkan berbagai peluang korupsi. Inggris dalam meningkatkan standar kepatuhan perusahaan mengeluarkan UU Tindak Pidana Penyuapan. Proses legislasinya 12 tahun.

UU ini mengatur tentang tindakan kriminal penyuapan pejabat publik negara lain, tindakan kriminal organisasi komersial yang tak dapat mencegah terjadinya penyuapan. Perusahaan Inggris yang beroperasi di luar negeri seperti Indonesia harus mematuhi UU ini sehingga praktik facilitation payment yang sebelumnya biasa dilakukan menjadi ilegal. Laporan United Steelworkers di AS dalam kasus Freeport Indonesia yang terindikasi melakukan pembayaran ilegal kepada aparat keamanan di Indonesia dimungkinkan karena ada kerangka hukum ini.

Memerangi suap dalam transaksi bisnis internasional perlu kerangka kerja internasional dan nasional serta kerja sama internasional yang betul-betul bisa bekerja dengan baik untuk mengadili penyuap, penerima suap, dan menarik kembali aset yang dilarikan koruptor ke luar negeri. Dalam konteks ini, setiap negara yang telah meratifikasi UNCAC, seperti Indonesia, wajib mengadopsi tindakan legislatif untuk mencegah dan sistem penegakan hukumnya membasmi penyuapan pejabat asing dalam bisnis internasional. Penguatan sistem hukum terkait seperti perlindungan saksi dengan sendirinya memberi landasan hukum yang kuat bagi kerja jurnalistik atau watchdog dalam membantu aparat hukum mengungkap transaksi suap yang biasanya dilakukan di ruang remang-remang.

Bersihkan Aparat Hukum

Yang terpenting: membersihkan aparat hukum yang kotor sebagai bagian dari reformasi hukum karena aturan yang baik tak ada guna di tangan aparat yang kotor. Penegakan aturan dana parpol mutlak dilakukan, terutama pengaturan dana kampanye, karena sistem pemilu di Indonesia berbasis pada kandidat. Seperti kata Ackerman, korupsi politik sulit dibasmi jika politisi menerima sumbangan kampanye yang ilegal dan menggunakan dana itu untuk menyogok pemilih.

Tentu saja dunia bisnis harus mencari strategi lobi politik atau tanggung jawab sosial perusahaan baru, yang saat ini sulit dibedakan dengan tindakan suap. Suap yang memengaruhi persaingan bisnis tak akan berhenti jika tak ada komitmen dari dunia bisnis sendiri untuk berhenti secara serempak. Di sinilah mungkin kehadiran asosiasi bisnis independen terhadap politik sangat diperlukan agar etiket bisnis bisa dipatuhi.

Yang tak kalah penting, sistem pencegahan korupsi di dalam sektor swasta sendiri, terutama sejak banyak skandal bisnis mengguncang perekonomian dunia. Kita tahu telah lazim praktik kotor dalam bisnis: pembuatan catatan-catatan di luar pembukuan. Mencatat pengeluaran yang tak ada, membuat catatan tentang kewajiban finansial yang tak benar, penggunaan dokumen palsu, pemusnahan secara sengaja dokumen pembukuan.

Dalam banyak kasus kebangkrutan perbankan di Indonesia, terakhir kasus Bank Century, negara harus menanggung kebobrokan manajemen. Dalam skala bisnis swasta tertentu yang pengaruhnya besar terhadap perekonomian nasional, mau tak mau pemerintah jadi tawanan dunia bisnis. Menjadi penting legislasi UU pelaksana korupsi swasta yang prinsipnya sudah diatur dalam UNCAC yang sudah kita ratifikasi.

Sistem transaksi keuangan nontunai mestinya juga diberlakukan BI dan pemerintah, baik dalam transaksi keuangan antarlembaga pemerintah, lembaga pemerintah dan swasta, maupun swasta ke swasta. Realitasnya, dalam beberapa kasus transaksi suap yang dapat ditangkap KPK senantiasa menggunakan uang tunai. Mungkin sambil menunggu kesiapan masyarakat sektor informal, penerapan aturan ini bisa dilakukan secara gradual.

Sistem transaksi nontunai ini tak saja memudahkan bekerjanya menjejaki transaksi suap, pencucian uang, atau politik uang dalam pemilu, juga berdampak positif bagi pemasukan dari sektor pajak. Dengan cara begitu, daftar orang kaya Indonesia versi Forbes bisa dibaca dalam daftar pembayar pajak tertinggi di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar