Senin, 14 November 2011

Pengusaha (Anti) Korupsi


Pengusaha (Anti) Korupsi

Reza Syamawi, PENELITI HUKUM DAN KEBIJAKAN TRANSPARANCY INTERNATIONAL INDONESIA  
Sumber : KOMPAS, 14 November 2011


Transparency International yang berbasis di Berlin, Jerman, meluncurkan Bribe Payers Indeks 2011 (2/11). Sebuah instrumen untuk mengukur sejauh mana tingkat suap pengusaha dalam menjalankan bisnisnya yang dilakukan di sejumlah negara.

Dalam survei ini, Transparency International menyurvei sekitar 3.000 eksekutif perusahaan di 28 negara yang dikategorikan maju secara ekonomi, termasuk Indonesia. Bahkan, semua negara yang tergabung dalam G-20 dilibatkan dalam survei. Hasilnya, China dan Rusia di urutan paling ”buncit”, posisi ke-27 dan ke-28. Perusahaan di negara ini dikategorikan paling sering melakukan praktik suap demi kelancaran bisnisnya. Sektor terkorup adalah yang berkaitan dengan pekerjaan umum dan konstruksi.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia mendapat tempat tak terlalu mengejutkan bagi publik, di urutan ke-25. Posisi ini praktis menggambarkan bahwa suap masih jadi tren bagi kalangan pengusaha di Indonesia dalam menjalankan bisnisnya.

Suap itu Korupsi

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara gamblang menjelaskan bahwa suap salah satu perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan korupsi.

Dalam UU ini terdapat 30 jenis tindak pidana korupsi yang diklasifikasikan ke dalam tujuh hal, yakni yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Di antara ketujuh hal, suap-menyuap jadi poin yang paling mendominasi dan paling banyak diatur di dalam UU.

Kompleksnya regulasi yang mengategorikan suap-menyuap sebagai kejahatan korupsi ternyata tak berbanding lurus dengan penurunan praktik suap-menyuap terutama di kalangan pengusaha. Dalam konteks Indonesia, kasus Nazaruddin sangat pas untuk mendeskripsikan kebiasaan suap oleh pengusaha dalam melakukan usahanya. Dalam beberapa fakta persidangan dalam kasus itu terungkap, proyek pembangunan wisma atlet SEA Games yang dimenangi PT Duta Graha Indah ternyata telah didesain sejak awal.

Sebagai imbalannya, PT Duta Graha diduga membagi-bagikan uang kepada beberapa pihak untuk kepentingan pemenangan atas proyek wisma atlet. Beberapa lembaga, yakni DPR, Kementerian Pemuda dan Olahraga, hingga pemerintah daerah, ditengarai menerima suap dari perusahaan tersebut. Kondisi ini semakin diperparah ketika pengusaha ternyata juga jadi bagian dari kekuasaan negara. Politisi sebagian besar ternyata memiliki latar belakang sebagai pengusaha. UU memang tak melarang siapa pun termasuk pengusaha untuk jadi politisi. Namun, dalam praktiknya, kondisi ini justru memperparah dan melanggengkan praktik suap-menyuap.

Kondisi ini juga didukung oleh lemahnya pengaturan konflik kepentingan pejabat publik. Pengusaha yang juga merangkap sebagai pejabat publik ikut dalam penentuan kebijakan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Fenomena perburuan rente yang dilakukan melalui institusi negara menunjukkan telah mewabahnya praktik korupsi. Elite penguasa yang berkolaborasi dengan pengusaha ”hitam” telah memanipulasi pembentukan kebijakan dan aturan untuk kepentingan mereka sendiri (state capture corruption).

Kuncinya di Birokrasi

Kondisi ini akan sangat sulit diubah jika pemerintah tak serius bersikap tegas terhadap perilaku suap-menyuap di kalangan pengusaha. Belakangan ini bahkan juga terungkap pemberian ”uang keamanan” berjumlah jutaan dollar AS bagi aparat keamanan oleh PT Freeport Indonesia untuk jasa pengamanan perusahaan tersebut. Praktik ini seolah-olah telah menjadi kebiasaan yang sepertinya ”sengaja” dipelihara baik oleh institusi negara maupun kalangan pengusaha.

Bagaimana menciptakan situasi dunia usaha di Indonesia agar bebas dari praktik suap-menyuap? Hal terpenting, bagaimana pemerintah memperbaiki birokrasi dalam mengatur dunia usaha. Birokrasi yang rumit dan berbelit-belit adalah faktor yang paling berkontribusi untuk melanggengkan praktik suap-menyuap.

Selanjutnya adalah bagaimana hal terkait konflik kepentingan diatur secara tegas dalam 
aturan hukum. Hal ini untuk memutus ”rantai” kolusi antara kepentingan pengusaha dan kewenangan yang melekat pada pejabat publik. Terakhir adalah pada sektor penegakan hukum jika terjadi praktik suap-menyuap oleh pengusaha terhadap pejabat publik mana pun. Akan sangat sulit memberantas praktik ini jika penegak hukum cenderung memperlemah upaya penegakan hukum, melemahkan dakwaan, tuntutan, dan pada akhirnya berbuah vonis ringan atau bahkan bebas dari tuntutan hukum.

Posisi Indonesia sebagai negara terkorup dalam catatan Indeks Persepsi Korupsi Transparency International 2010 dengan skor 2,8 dan BPI 2011 pada posisi ke-25 akan tetap stagnan jika ketiga hal itu tidak dilakukan. Praktik suap-menyuap yang telah menimbulkan ketidakadilan dalam pemenangan kontrak proyek mengurangi kualitas layanan dasar publik, menimbulkan iklim di sektor swasta yang tak kompetitif, dan menghancurkan kepercayaan masyarakat pada institusi publik. Hal ini tak akan tercapai jika kalangan pengusaha tak ikut serta dalam upaya memberantas praktik suap-menyuap ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar