Merespons Konflik Berbasis Agama
Rumadi, PENELITI SENIOR THE WAHID INSTITUTE
Sumber : KOMPAS, 14 November 2011
Komisi
IX DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial, di
mana dalam naskah akademiknya, agama dipandang sebagai salah satu sumber
konflik sosial.
Konflik
sosial, termasuk konflik bernuansa agama, merupakan kenyataan yang pernah dan
mungkin akan terus terjadi di Indonesia. Namun, pemerintah (dan juga agamawan)
enggan mengakui kenyataan tersebut.
Meski
di sejumlah tempat, seperti Ambon dan Poso, pernah terjadi konflik bernuansa
agama yang begitu kental, para pejabat pemerintah lebih senang menyatakan sebagai
konflik sosial biasa, tak ada hubungan dengan agama. Kalau toh semangat
keagamaan ada dalam konflik, itu sering dianggap penyebab sekunder atau agama
hanya dijadikan kamuflase konflik yang sebenarnya, seperti konflik perebutan
sumber daya ekonomi dan politik. Bahkan, tindakan terorisme yang jelas-jelas
menggunakan spirit agama juga tak diakui sebagai persoalan agama. Kalau toh
terorisme dianggap terkait agama, yang dipersalahkan adalah pemahaman keagamaan
yang keliru.
Pertanyaannya,
mengapa ada keengganan untuk menyebut konflik agama? Tentu ada alasan meski tak
terucap, misalnya agama adalah sesuatu yang suci, sedangkan konflik sosial
dianggap kotor. Yang suci dan yang kotor tak mungkin bersatu. Agama juga
dianggap hal sensitif yang bisa mengaduk-aduk emosi massa. Begitu sebuah
konflik dideklarasikan sebagai konflik agama, dikhawatirkan terjadi eskalasi.
Warisan
dan Potensi Konflik
Indonesia
kini menghadapi masalah-masalah warisan konflik masa lalu dan potensi konflik
di masa depan. Persoalan warisan konflik masa lalu merupakan akibat dari belum
tertanganinya secara memadai akar dan sumber konflik yang pernah terjadi.
Potensi
konflik timbul akibat kebijakan pembangunan tak peka konflik, menguatnya
sentimen kedaerahan akibat desentralisasi, kian langkanya sumber daya akibat
bencana dan eksploitasi alam, serta konflik politik akibat belum
terkonsolidasikannya demokrasi. Di satu sisi, potensi konflik warisan masa lalu
masih perlu penanganan khusus, di sisi lain muncul potensi konflik baru yang
perlu pencegahan dan pembangunan perdamaian lebih sistematis dan
berkesinambungan.
Penanganan
konflik selama ini dihadapkan pada pilihan-pilihan dilematis: apakah sepenuhnya
diserahkan ke negara untuk bertanggung jawab menanganinya atau diserahkan ke
mekanisme sosial-kultural yang hidup di masyarakat sipil. Hal itu tecermin
dalam perdebatan yang berkembang selama ini, antara pendekatan resolusi konflik
dan pendekatan HAM. Pendekatan resolusi konflik lebih menekankan pentingnya
penyelesaian konflik berbasis pendekatan kultural mengingat banyak konflik
terjadi tak hanya melibatkan warga sipil sebagai korban, tetapi sekaligus juga
sebagai pelaku, seperti terjadi dalam konflik komunal di Maluku, Maluku Utara,
Poso, serta Kalimantan Barat dan Tengah.
Pendekatan
HAM lebih menekankan pentingnya penyelesaian konflik berbasis HAM, meminta
tanggung jawab negara atas tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan,
khususnya ketika negara justru terlibat sebagai aktor dan masyarakat jadi
korban. Pendekatan komprehensif diperlukan dengan memadukan kedua model lewat
pendekatan pembangunan sebagai perdamaian, dengan menempatkan keterjaminan
pemenuhan kebutuhan dan hak dasar warga negara melalui kebijakan peka konflik
dan peka HAM, bukan semata untuk mencegah konflik, melainkan juga mengatasi
akar dan sumber konflik di masyarakat. Kebijakan ini perlu diintegrasikan ke
sistem hukum dan politik sebagai bagian dari pelembagaan dan konsolidasi
demokrasi.
Pembentukan
RUU ini sebenarnya langkah strategis menuju bergulirnya kebijakan peka konflik
dan sensitif HAM. Dengan itu diharapkan kebijakan pencegahan konflik dan
pembangunan perdamaian lebih terarah dan terpadu, di tingkat nasional maupun
daerah. Pelembagaan upaya pencegahan konflik dan pembangunan perdamaian di
dalam sistem hukum dan politik sangat penting karena perdamaian, pembangunan,
dan demokrasi tak bisa dipisahkan satu sama lain. Pembentukan RUU ini
diharapkan mendorong kebijakan pembangunan yang kian peka konflik, sensitif
HAM, dan mempromosikan perdamaian sehingga kalau ada konflik, bisa diselesaikan
secara demokratis di setiap level pengambilan kebijakan.
Arah
RUU
Pertanyaannya,
apakah RUU ini sudah berjalan ke arah tersebut, terutama yang terkait konflik
keagamaan. RUU ini sebenarnya tak secara khusus membahas spesifik soal konflik
agama. Apa pun latar belakangnya, konflik secara umum dikategorikan konflik
sosial meski setiap konflik punya karakter sendiri-sendiri dan menuntut model
penyelesaian berbeda. Agama hanya disebutkan salah satu sumber konflik sosial,
di samping suku, etnis, perebutan wilayah, perebutan sumber daya ekonomi,
distribusi dan sumber daya tak adil. Barangkali memang tak perlu pembahasan
secara khusus.
RUU
tampaknya menghindar dari penyelesaian konflik vertikal. Meski dalam naskah
akademik dijelaskan macam-macam konflik, konflik vertikal, horizontal dan
diagonal, dalam perumusan konflik cenderung diletakkan sebagai konflik
horizontal. Ini bisa dilihat dalam rumusan pengertian konflik, yang diartikan
”benturan dengan kekerasan fisik antara dua atau lebih kelompok masyarakat atau
golongan yang mengakibatkan cedera dan/atau jatuhnya korban jiwa, kerugian
harta benda, berdampak luas, dan berlangsung dalam jangka waktu tertentu yang
menimbulkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga menghambat
pembangunan nasional dalam mencapai kesejahteraan masyarakat”.
Dari
rumusan ini, ada beberapa pertanyaan. Pertama, apakah ini ketidaksengajaan atau
upaya sadar sebagai cara menghindar negara dari konflik sosial, terutama
konflik bernuansa agama? Kedua, model pendefinisian demikian tak bisa
sepenuhnya digunakan untuk menyelesaikan konflik-konflik keagamaan yang marak
di Indonesia, seperti soal Ahmadiyah, konflik tempat ibadah, dan intoleransi.
Dalam
kasus-kasus itu, meski jelas terjadi konflik, isu-isu itu tak masuk skema RUU ini
selama tak ada ”peperangan” antardua kelompok. Penyusun RUU Penanganan Konflik
Sosial tampaknya hanya membayangkan konflik yang pernah terjadi di Ambon dan
Poso, padahal konflik sosial bernuansa agama kini modusnya beraneka macam. Jika
memang yang dibayangkan konflik Ambon dan Poso, kedua konflik besar ini
bukanlah semata konflik antarkelompok masyarakat, tetapi ada faktor negara di
sana. Kita tak bisa membayangkan aparat birokrasi itu bisa sepenuhnya ”netral”
dalam konflik sosial sehingga mereka sepenuhnya diberi kewenangan untuk
menyelesaikan.
Dalam
kasus Ambon dan Poso, aparat keamanan dan birokrasi justru jadi bagian dari
konflik itu sendiri. Karena itu, penyelesaian pencegahan, penghentian konflik,
dan penanganan pascakonflik tak bisa dilakukan secara mekanik. Hal lain yang
alpa dari RUU ini adalah pendefinisian tentang korban konflik. RUU ini sama
sekali tidak punya perspektif korban yang harus dipulihkan hak-haknya. Ini
persoalan serius yang harus mendapat perhatian penyusun RUU ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar