Senin, 14 November 2011

Papua, Freeport, dan Renegosiasi


Papua, Freeport, dan Renegosiasi

Harry Tjan Silalahi, MANTAN SEKRETARIS JENDERAL FRONT PANCASILA 1965  
Sumber : KOMPAS, 14 November 2011


Dengan kemelut di Papua, mulai bermunculan pembahasan tentang kehadiran Freeport di Indonesia. Pemicu kemelut adalah tingkat upah buruh Freeport yang dirasa terlampau rendah.
”Para buruh itu mengetahui dengan persis berapa pendapatan PT Freeport Indonesia (PT FI),” kata Ruben Magai, Ketua Komisi A DPRD, yang menyerukan supaya Freeport membuka diri.
Menurut ukuran tingkat upah buruh di Indonesia pada umumnya, yang dituntut oleh buruh Freeport memang tinggi, yaitu 7,5 dollar AS per jam dari yang sekarang sekitar 3 dollar AS per jam. Namun, mereka tahu upah buruh Freeport di Amerika Serikat sendiri 66,43 dollar AS per jam.

Campur Aduk

Kemelut menjadi campur aduk antara kepentingan ekonomi dengan Organisasi Papua Merdeka dan otonomi khusus yang tidak beres keuangannya. Apalagi setelah dibicarakan bahwa TNI dan Polri memperoleh ”uang makan” dari PT FI. Kontrak dengan PT FI ditandatangani sejak 1967, menyusul konferensi di Geneva, November 1967, yang oleh John Pilger digambarkan dalam buku The New Rulers of the World.

Antara lain dikatakan, ”Dalam bulan November 1967, menyusul diperolehnya ’hadiah terbesar’ (baca: Surutnya Bung Karno), hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Geneva yang dalam waktu tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia. Para pesertanya terdiri dari para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili: perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orang Soeharto yang oleh Rockefeller disebut ’ekonom-ekonom Indonesia yang top’.”

”Freeport mendapatkan bukit dengan tembaga di Papua Barat. Sebuah konsorsium Eropa mendapatkan nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapatkan bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapatkan hutan-hutan tropis di Sumatera, Papua Barat, dan Kalimantan. Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan kepada Soeharto membuat para investor ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.”

Eksploitasi tembaga, emas, dan mineral lainnya oleh PT FI didasarkan pada sejumlah regulasi, antara lain kontrak karya generasi pertama yang ditandatangani 7 April 1967, Keppres No 82/EK/KEP/4/ 1967, UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, pembaruan KK tahap II di tahun 1991, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994, dan surat BKPM Nomor 415/A.6/1997.

Kalau kita lihat adanya evolusi dalam pengaturan, evolusi ini tidak membawa perbaikan pada nasib bangsa Indonesia, tetapi justru memberikan kebebasan kepada penanam modal asing, dengan perumusan yang melanggar UUD 1945.

Kutipan Pasal 5 dari Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 antara lain berbunyi: ”Perusahaan patungan dapat melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak, yaitu pelabuhan, produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkit tenaga atom, dan media massa”.

Jadi, perusahaan harus patungan, tetapi porsi Indonesia dalam perusahaan patungan cukup 5 persen saja. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 6 Ayat (1) yang berbunyi: ”Saham peserta Indonesia … sekurang-kurangnya 5 persen dari seluruh modal disetor perusahaan....”

Suasana dalam Konferensi Geneva di tahun 1967 diwarnai kondisi ekonomi Indonesia yang sangat rusak dan pilihan Indonesia sangat terbatas, ditambah dengan para juru runding pihak Indonesia yang terdiri dari teknokrat dan lawyer yang belum berpengalaman dalam dunia praktik, apalagi menghadapi para CEO dan pemilik dari korporasi dunia seperti yang disebutkan John Pilger tadi.

Liberal dan Melanggar UUD

Namun, kontrak karya yang pertama beserta peraturan tentang peran modal asing mengalami perubahan-perubahan. Mengapa perubahan itu justru dibuat begitu liberal dan begitu vulgar melanggar jiwa UUD 1945? Kesalahan fatal dari kehadiran PT FI yang begitu lama, yaitu per tahun 2010 sudah 43 tahun, dengan pembagian manfaat yang begitu tidak adil antara PT FI dan bangsa Indonesia membuat kericuhan menjadi multidimensi, campur aduk antara kepentingan ekonomi dan kepentingan politik. Dalam kondisi seperti ini, tidak mustahil kekerasan yang terjadi dilatarbelakangi oleh beking yang luar biasa dari kekuatan korporat asing. Dan yang lain-lainnya itu hanya merupakan puncak dari gunung es yang sangat menyakitkan hati.

Tak heran kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang biasanya lemah lembut, jadi berang ketika mengumumkan akan melakukan renegosiasi (bukan asal berang saja). Memang enough is enough. Mau ditunggu sampai kapan? Apakah sampai Papua merdeka dengan penguasaan de facto oleh Freeport yang berfungsi bak VOC dulu?

Sekadar beberapa angka perbandingan. Pada saat ini Freeport McMoran menguasai 90,64 saham Freeport Indonesia. Hanya 9,36 persen yang dimiliki Pemerintah Indonesia.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar