Rabu, 10 Juli 2019

(Utopia) Reformasi Birokrasi Pasca Pilpres

Rabu 10 Juli 2019, 13:30 WIB

(Utopia) Reformasi Birokrasi Pasca Pilpres

Ahmad Juwari - detikNews

Membayangkan reformasi birokrasi sampai pada tujuan hakikinya memperbaiki tata kelola pemerintahan adalah hal yang lumrah. Indonesia bisa saja sejajar dengan negara-negara maju, pemerintahan yang benar-benar efektif dan mampu menjadi motor pendorong ekonomi. Jika berandai dalam ukuran government effectiveness index (GDI), Indonesia harus yakin melampaui negara tetangga, Malaysia dan Thailand. Jika pada 2017 kita di urutan 84, maka lima tahun yang akan datang kita harus masuk 20 besar, atau minimal lebih baik dari negara-negara kita sendiri. Tapi, mungkinkah?

Salah satu pendorong perubahan birokrasi adalah kepemimpinan. Terpilihnya kembali Joko Widodo sebagai pemimpin nasional lima tahun mendatang perlu dimaknai menjadi dua hal dalam kerangka momentum reformasi birokrasi. Pertama, pasti ada kekurangan dan kelebihan Jokowi untuk mendorong reformasi birokrasi lima tahun belakangan. Proses perbaikan terus-menerus itu yang harus dilakukan. Jika GDI menjadi ukuran, maka tren positif membaiknya GDI setiap tahun perlu dijaga.

Kedua, Presiden Joko Widodo tidak mungkin mencalonkan kembali menjadi presiden pada 2024. Tidak hanya pada di ranah reformasi tata pemerintahan, Presiden Jokowi juga harus tampil "tanpa beban" lima tahun mendatang. Satu contoh yang bisa dilakukan adalah pemecatan PNS koruptor yang belum diberhentikan.


Dalam UU ASN dan PP 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) instansilah yang berwenang memecat PNS korup. Namun jika PPK instansi "bandel" dan kenyataannya tidak kunjung memecat, presiden perlu bertindak sebagai bukti komitmen kuat untuk memberantas korupsi.

Selain itu, gaya presiden yang lugas dan dekat dengan rakyat dengan ciri khas melakukan blusukan ke kantor-kantor pemerintah merupakan nilai lebih. Yang satu ini harus dilakukan terus-menerus, setidaknya untuk melakukan shock therapy yang efektif memperbaiki kualitas layanan.

Masa Depan Birokrasi Indonesia
Bappenas dalam pandangan birokrasi 2045, bertepatan dengan 100 tahun Indonesia merdeka, menggarisbawahi tiga ciri. Pertama, struktur kelembagaan yang adaptif dan kolaboratif. Kedua, tata kelola yang terbuka, partisipatif, dan berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Ketiga, SDM ASN yang profesional dan berintegritas.

Jika kita dalami satu per satu, pertama persoalan birokrasi Indonesia perlu mendapat perhatian pada bidang struktur kelembagaan. Terpilihnya lagi Joko Widodo sebagai presiden lima tahun mendatang semestinya mampu menaruh perhatian pada persoalan kelembagaan. Tantangannya adalah membentuk struktur kelembagaan yang adaptif dan kolaboratif ketika kondisi politik memungkinkan terjadinya "bagi-bagi kekuasaan" dengan kelembagaan yang justru membengkak dengan ego sektoral masing-masing.

Bentuk birokrasi ke depan diarahkan lebih adaptif terhadap perubahan, mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, dan tentu saja tidak kaku seperti budaya birokrasi yang terlihat saat ini. Pengalaman Jokowi yang malang melintang sejak menjadi Wali Kota Solo hingga Presiden semestinya mampu menjawab kebutuhan kelembagaan yang adaptif dan kolaboratif di masa depan.
Kedua, tata kelola yang terbuka, partisipatif, dan berbasis TIK. Birokrasi Indonesia perlu membuka diri, memberi kesempatan yang luas bagi masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan. Terlebih lagi, masyarakat sendiri yang tahu akan kebutuhan mereka sehingga birokrasi perlu menangkap kondisi yang ada di masyarakat sebagai bahan kebijakan pemerintah.

Selain itu, penggunaan teknologi perlu mendapat perhatian khusus oleh birokrasi Indonesia, di satu sisi birokrasi saat ini yang cenderung susah berubah dan sebagian besar diisi oleh pegawai yang sudah berumur. Teknologi harus menjadi instrumen utama bagaimana birokrasi bekerja, memangkas inefisiensi dan pemborosan yang selama ini melekat dalam birokrasi kita saat ini.
Bagaimana track record Presiden Jokowi selama ini pastinya bisa mengatasi hal tersebut di atas. Presiden Jokowi memiliki keterbukaan terutama dalam penerapan teknologi kekinian, memiliki keinginan kuat dalam mengembangkanstar up, dan terbuka pada perubahan-perubahan yang solutif, tinggal bagaimana keinginan dan visinya mampu diterjemahkan oleh menteri dan bawahannya. Hal ini penting dilakukan mengingat yang akan menempati kursi menteri kelak seharusnya tahu bagaimana birokrasi digerakkan untuk mencapai tujuan kementerian/lembaga.
Ketiga, ASN yang profesional dan berintegritas. Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, upaya untuk membentuk sumber daya manusia yang ada di birokrasi yang profesional sudah mulai dilakukan. Munculnya Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di samping Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebenarnya adalah bagaimana membentuk ASN yang profesional sehingga mampu memperbaiki kualitas layanan kepada masyarakat. Berintegritas diterjemahkan sebagai karakter ASN masa depan yang antikorupsi. Upaya memberantas korupsi terus dilakukan oleh para penegak hukum selain yang lebih penting lagi bagaimana pemerintah membentuk sistem yang kuat sehingga aparatur negara tidak ada lagi ceritanya menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki.
Sekali lagi, Presiden Jokowi punya segudang pengalaman dalam mengatasi hal ini. Dengan pencapaian-pencapaian yang sudah ada saat ini barangkali perlu strategi baru bagi presiden agar benar-benar mampu membentuk ASN yang profesional dan berintegritas.
Road Map Reformasi Birokrasi Nasional 2020-2024 menjadi ujung tombak pelaksanaan reformasi birokrasi Indonesia lima tahun mendatang. Jika membayangkan tata kelola pemerintahan di Indonesia semakin baik, maka presiden perlu melihat strategi apa yang akan diubah dan dipertahankan dalamroad map tersebut sehingga utopia tidak sekedar utopia, kita bisa sejajar dengan negara-negara maju lainnya dalam kualitas birokrasi.
Ahmad Juwari ; Analis Akuntabilitas Badan Kepegawaian Negara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar