Selasa 09 Juli 2019, 11:55 WIB
Seleksi Pimpinan KPK: "Pemain Bintang" atau Pemberantasan Korupsi?
Saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pimpinan Agus Rahardjo akan memasuki masa akhir jabatannya dan akan diisi kembali oleh pemain baru yang nantinya akan diangkat oleh Presiden untuk periode masa jabatan 4 tahun yang akan datang. Jika diibaratkan sepak bola, saat ini KPK bagaikan klub bola yang sedang meramu skuat masa depannya agar bisa diisi oleh pemain-pemain "bintang" yang dapat memastikan langkah KPK semakin kuat dalam mencegah dan memberantas korupsi.
Menariknya, proses pemilihan komisioner KPK periode ini mengundang perhatian publik ketika panitia seleksi (pansel) yang dibentuk presiden melakukan sosialisasi dan mendatangi beberapa institusi negara termasuk institusi penegak hukum kepolisian dan kejaksaan.
Sikap panitia seleksi yang menjemput bola agar kepolisian dan kejaksaan memberikan dukungan terhadap anggota-anggota terbaiknya mendaftar sebagai calon komisioner KPK dapat diartikan dari dua sudut pandang. Pertama, jika tidak diloloskan, maka dapat diartikan bahwa pesan yang ingin disampaikan oleh pansel adalah kedua lembaga tersebut belum cukup independen untuk dapat memimpin KPK dan memegang kewenangan menangani kasus-kasus korupsi di Indonesia.
Sebaliknya, jika pansel meloloskan, maka dapat diartikan bahwa KPK belum cukup independen untuk dapat menangani kasus korupsi di Indonesia tanpa dipimpin oleh komisioner yang memiliki latar belakang sebagai penegak hukum. Tulisan ini akan membahas kedua kemungkinan tersebut menggunakan masyarakat sipil yang peduli terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.
Merekrut "Pemain Bintang"
Salah satu alasan utama pansel mendatangi kepolisan dan kejaksaan adalah karena kebutuhan akan komisioner yang memiliki kemampuan dalam melakukan penegakan hukum. Oleh karenanya, pansel mengharapkan kepolisian dan kejaksaan mengirimkan "pemain bintang"-nya untuk ikut dalam proses seleksi Calon Komisioner KPK.
Meski tidak menutup kemungkinan calon dari unsur lainnya untuk mendaftar, pansel menilai bahwa KPK membutuhkan orang yang sudah berpengalaman dalam penegakan hukum. Lebih lanjut, kehadiran unsur kepolisian dan kejaksaan di KPK dinilai dapat melengkapi peran komisioner di ranah teknis penanganan perkara di mana nantinya komisioner yang lain dapat berperan di ranah filosofi dan akademik pemberantasan korupsi.
Sekilas, pendekatan tersebut dapat dianggap wajar mengingat penegakan hukum merupakan salah satu alat utama KPK dalam memberantas korupsi, namun pelaksanaannya bukanlah suatu hal yang eksklusif dapat dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan. Pasalnya, praktik penegakan hukum memang tidak dirancang agar menjadi lembaga yang eksklusif.
Sebagai contoh, eksklusivitas penegakan hukum tidak ditemukan di kejaksaan yang memberikan kewenangan bagi Presiden untuk memilih Jaksa Agung yang berasal dari jalur non karier. Artinya, logika bahwa peran penanganan perkara sebaiknya diisi oleh calon dari unsur penegak hukum justru tidak sinkron dengan sistem yang saat ini berlaku.
Sebaliknya, pansel perlu memastikan agar Komisioner KPK terpilih nantinya dapat beroperasi secara independen tanpa pengaruh atau tekanan dari pihak mana pun. Hal ini justru akan sulit dilakukan oleh calon yang berasal dari unsur kepolisian dan kejaksaan mengingat besar kemungkinan yang bersangkutan akan berhadapan dengan atasan/senior/koleganya saat mengusut kasus-kasus yang berkaitan dengan penegak hukum. Kondisi yang demikian berpeluang mengendurkan kinerja KPK dalam penanganan perkara khususnya yang melibatkan pejabat tinggi di kepolisian atau kejaksaan.
Salah satu alasan utama pansel mendatangi kepolisan dan kejaksaan adalah karena kebutuhan akan komisioner yang memiliki kemampuan dalam melakukan penegakan hukum. Oleh karenanya, pansel mengharapkan kepolisian dan kejaksaan mengirimkan "pemain bintang"-nya untuk ikut dalam proses seleksi Calon Komisioner KPK.
Meski tidak menutup kemungkinan calon dari unsur lainnya untuk mendaftar, pansel menilai bahwa KPK membutuhkan orang yang sudah berpengalaman dalam penegakan hukum. Lebih lanjut, kehadiran unsur kepolisian dan kejaksaan di KPK dinilai dapat melengkapi peran komisioner di ranah teknis penanganan perkara di mana nantinya komisioner yang lain dapat berperan di ranah filosofi dan akademik pemberantasan korupsi.
Sekilas, pendekatan tersebut dapat dianggap wajar mengingat penegakan hukum merupakan salah satu alat utama KPK dalam memberantas korupsi, namun pelaksanaannya bukanlah suatu hal yang eksklusif dapat dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan. Pasalnya, praktik penegakan hukum memang tidak dirancang agar menjadi lembaga yang eksklusif.
Sebagai contoh, eksklusivitas penegakan hukum tidak ditemukan di kejaksaan yang memberikan kewenangan bagi Presiden untuk memilih Jaksa Agung yang berasal dari jalur non karier. Artinya, logika bahwa peran penanganan perkara sebaiknya diisi oleh calon dari unsur penegak hukum justru tidak sinkron dengan sistem yang saat ini berlaku.
Sebaliknya, pansel perlu memastikan agar Komisioner KPK terpilih nantinya dapat beroperasi secara independen tanpa pengaruh atau tekanan dari pihak mana pun. Hal ini justru akan sulit dilakukan oleh calon yang berasal dari unsur kepolisian dan kejaksaan mengingat besar kemungkinan yang bersangkutan akan berhadapan dengan atasan/senior/koleganya saat mengusut kasus-kasus yang berkaitan dengan penegak hukum. Kondisi yang demikian berpeluang mengendurkan kinerja KPK dalam penanganan perkara khususnya yang melibatkan pejabat tinggi di kepolisian atau kejaksaan.
Korupsi Institusional
Dalam konteks seleksi, tentunya siapapun punya hak yang sama untuk dapat mendaftar sebagai calon komisioner KPK sepanjang memenuhi syarat. Tidak ada aturan yang melarang pansel untuk mendatangi institusi-institusi yang dipandang dapat membantu jalannya proses seleksi. Artinya, secara hukum apa yang dilakukan oleh pansel bukanlah suatu hal yang melawan hukum. Lantas, apakah sikap penolakan yang ditunjukkan masyarakat sipil dapat dibenarkan?
Ketika berbicara dalam tataran normatif, umumnya mudah bagi awam untuk menilai apakah suatu peristiwa adalah hasil dari kejahatan atau bukan. Kita mungkin sering mendengar bahwa korupsi adalah perbuatan curang atau melawan hukum (ilegal) yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau orang lain. Tetapi, pada kenyataannya, masyarakat awam dapat merasakan bahwa ada banyak hal-hal yang secara hukum dianggap sah (legal) tapi bernuansa koruptif.
Lawrence Lessig (2013:3) menjelaskan fenomena tersebut dan menyebutnya dengan Korupsi Institusional. Dalam artikelnya yang berjudul Institutional Corruptions, Lessig mengambil contoh fenomena Institusi Kongres Amerika Serikat yang mempertontonkan keberpihakannya pada penyumbang dana politik. Meski tidak ada larangan bagi seorang politisi untuk menerima bantuan dana kampanye dari konstituen, mayoritas penduduk Amerika Serikat percaya bahwa praktik "uang dapat membeli hasil" adalah bentuk korupsi yang dilakukan Kongres dengan memperdagangkan kewenangannya sebagai pembentuk undang-undang.
Kata kunci yang perlu diperhatikan adalah "percaya". Konsep ini menekankan bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya berkutat dalam hal penegakan hukum terhadap koruptor semata tapi juga membangun kepercayaan publik dengan membatasi hubungan-hubungan antar aktor penyelenggara negara yang berpotensi melanggengkan praktek korup.
Dalam konteks seleksi, tentunya siapapun punya hak yang sama untuk dapat mendaftar sebagai calon komisioner KPK sepanjang memenuhi syarat. Tidak ada aturan yang melarang pansel untuk mendatangi institusi-institusi yang dipandang dapat membantu jalannya proses seleksi. Artinya, secara hukum apa yang dilakukan oleh pansel bukanlah suatu hal yang melawan hukum. Lantas, apakah sikap penolakan yang ditunjukkan masyarakat sipil dapat dibenarkan?
Ketika berbicara dalam tataran normatif, umumnya mudah bagi awam untuk menilai apakah suatu peristiwa adalah hasil dari kejahatan atau bukan. Kita mungkin sering mendengar bahwa korupsi adalah perbuatan curang atau melawan hukum (ilegal) yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau orang lain. Tetapi, pada kenyataannya, masyarakat awam dapat merasakan bahwa ada banyak hal-hal yang secara hukum dianggap sah (legal) tapi bernuansa koruptif.
Lawrence Lessig (2013:3) menjelaskan fenomena tersebut dan menyebutnya dengan Korupsi Institusional. Dalam artikelnya yang berjudul Institutional Corruptions, Lessig mengambil contoh fenomena Institusi Kongres Amerika Serikat yang mempertontonkan keberpihakannya pada penyumbang dana politik. Meski tidak ada larangan bagi seorang politisi untuk menerima bantuan dana kampanye dari konstituen, mayoritas penduduk Amerika Serikat percaya bahwa praktik "uang dapat membeli hasil" adalah bentuk korupsi yang dilakukan Kongres dengan memperdagangkan kewenangannya sebagai pembentuk undang-undang.
Kata kunci yang perlu diperhatikan adalah "percaya". Konsep ini menekankan bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya berkutat dalam hal penegakan hukum terhadap koruptor semata tapi juga membangun kepercayaan publik dengan membatasi hubungan-hubungan antar aktor penyelenggara negara yang berpotensi melanggengkan praktek korup.
Peran Pansel
Menggunakan desain formal pada umumnya tidak cukup bagi pansel untuk dapat merekrut Komisioner KPK yang independen dan dipercaya publik. Pansel yang fokus pada kegiatan merekrut komisioner cenderung lupa bahwa fungsi tersebut harus sejalan dengan tujuan KPK itu dibentuk. Jika diibaratkan klub bola, pansel seakan sedang merekrut atlet taekwondo yang mampu menendang bola dengan kencang, namun tidak paham bagaimana bermain sepak bola.
Jika hanya menjalankan tugas menyelenggarakan proses seleksi dan memilih calon, artinya pansel terpaku pada desain fungsi dan melupakan desain substansi pemberantasan korupsi di Indonesia. Pemberantasan korupsi bukan sekedar dan tidak pernah hanya berbicara tentang siapa yang mampu menjalankan fungsi KPK. Di saat desain fungsi dikedepankan, maka saat itulah pansel sedang mempersiapkan KPK dalam proses menjadi institusi yang korup.
Pansel seharusnya berperan sebagai institusi yang mengingatkan kembali bahwa kepolisian dan kejaksaan adalah lembaga yang harus digerakkan agar bersih dari korupsi, bukan menggerakkan KPK. ***
Menggunakan desain formal pada umumnya tidak cukup bagi pansel untuk dapat merekrut Komisioner KPK yang independen dan dipercaya publik. Pansel yang fokus pada kegiatan merekrut komisioner cenderung lupa bahwa fungsi tersebut harus sejalan dengan tujuan KPK itu dibentuk. Jika diibaratkan klub bola, pansel seakan sedang merekrut atlet taekwondo yang mampu menendang bola dengan kencang, namun tidak paham bagaimana bermain sepak bola.
Jika hanya menjalankan tugas menyelenggarakan proses seleksi dan memilih calon, artinya pansel terpaku pada desain fungsi dan melupakan desain substansi pemberantasan korupsi di Indonesia. Pemberantasan korupsi bukan sekedar dan tidak pernah hanya berbicara tentang siapa yang mampu menjalankan fungsi KPK. Di saat desain fungsi dikedepankan, maka saat itulah pansel sedang mempersiapkan KPK dalam proses menjadi institusi yang korup.
Pansel seharusnya berperan sebagai institusi yang mengingatkan kembali bahwa kepolisian dan kejaksaan adalah lembaga yang harus digerakkan agar bersih dari korupsi, bukan menggerakkan KPK. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar