Rabu, 03 Juli 2019

Selasa 02 Juli 2019, 12:00 WIB


Duopoli Pasar Penerbangan dan "Potongan Kue" yang Hilang

Dena Drajat - detikNews

Jakarta -
Sejak akhir 2018, tingginya harga tiket pesawat di Indonesia selalu menjadi bahan pembicaraan. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kenaikan tarif angkutan udara pada 2019 ini tidak hanya terkait dengan peristiwa musiman Idulfitri, tetapi terjadi secara konsisten sejak awal tahun. Secara makro, BPS menyampaikan telah terjadi kenaikan tarif angkutan udara dalam rilis tentang data inflasi Januari hingga Mei 2019.

Pemerintah sepertinya masih memilih untuk menyerahkan mekanisme pembentukan harga kepada pasar. Namun, perlu dicermati apakah pasar transportasi udara di Indonesia memang cukup ideal untuk membentuk harga yang fair bagi konsumen dan produsen?

Pasar Duopoli
Dalam ilmu ekonomi, duopoli adalah jenis monopoli pasar yang dilakukan oleh dua perusahaan. Kondisi ini sangat tepat untuk menggambarkan pasar transportasi udara di Indonesia yang dikuasai oleh dua perusahaan. Selain kedua perusahaan tersebut, ada beberapa perusahaan lain yang masih bertahan tetapi pangsa pasarnya relatif kecil. Mengutip dari katadata.co.id,50% pangsa pasar pada 2017 didapatkan oleh Lion Group, 46% didapat oleh Garuda Group (termasuk Sriwijaya Group yang telah diakuisisi), sedangkan perusahaan lain hanya mendapatkan 4% sisanya.

Dalam pasar yang bersifat duopoli, tidak mudah bagi perusahaan baru untuk masuk dan bersaing. Hal ini menyebabkan kedua perusahaan sebagai penentu harga dan memiliki keleluasaan untuk dapat memaksimalkan keuntungan. Konsumen tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi harga. Hal ini tercermin dari harga tiket pesawat yang tetap saja tinggi pada saat permintaannya turun.

Sisi lain dari pasar duopoli ini adalah perusahaan menjadi tidak efisien dan kurang melakukan inovasi. Pada bisnis jasa penerbangan, dampak yang dirasakan penumpang selain harga yang mahal, juga dalam bentuk pelayanan yang tidak memuaskan. Antrian check-in yang panjang, bagasi yang tertinggal, ketidaknyamanan selama penerbangan berlangsung, sifat tidak profesional dari awak penerbangan, keterlambatan penerbangan, hingga ancaman keselamatan penerbangan adalah dampak yang mungkin dirasakan oleh penumpang.

Deadweight Loss
Satu masalah dalam perekonomian akibat dari pasar yang tidak bersaing secara sempurna adalah deadweight loss di masyarakat. Deadweight lossdapat diartikan sebagai kehilangan yang disebabkan adanya inefisiensi penggunaan sumber daya dalam sistem perekonomian. Atau, secara sederhana biasa dijelaskan sebagai adanya "potongan kue" yang hilang dan tidak dinikmati oleh siapapun (konsumen, produsen, dan pemerintah) dalam masyarakat.

Dalam kasus pasar penerbangan di Indonesia, ada keuntungan yang seharusnya dirasakan masyarakat tetapi hilang karena pasar tidak berlaku secara ideal. Kehilangan ini lebih besar dari keuntungan yang didapat oleh para pelaku duopoli. Ada golongan masyarakat yang membatalkan rencana perjalanannya karena tidak mampu membayar harga yang ditetapkan oleh maskapai penerbangan, hal ini merugikan bagi perekonomian karena total konsumsi barang dan jasa menjadi berkurang.

Selanjutnya, pemacu kekesalan terhadap mahalnya tiket pesawat adalah karena hal ini mengurangi pendapatan riil masyarakat. Untuk dapat membayar kenaikan harga yang ditetapkan maskapai penerbangan, masyarakat harus mengurangi kuantitas dan kualitas konsumsi mereka terhadap barang dan jasa lainnya.

Efeknya bagi perekonomian Indonesia tercermin dari angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan I-2019 yang mengalami perlambatan dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan yang melambat pada konsumsi konsumsi rumah tangga menjadi salah satu penyebabnya.

Pertumbuhan ekonomi yang melambat ini memberikan sentimen negatif bagi reputasi perekonomian Indonesia. Pemberitaan menunjukkan bahwa terjadi pelemahan nilai tukar rupiah dan IHSG setelah data pertumbuhan ekonomi Triwulan I-2019 dirilis oleh BPS.

Peran Pemerintah
Kondisi ideal dalam perekonomian adalah dengan sistem pasar persaingan yang akan menyeimbangkan besaran harga dan produksi barang/jasa pada posisi yang paling menguntungkan bagi konsumen dan produsen. Pemerintah harus bisa menunjukkan perannya sebagai wasit jika terindikasi ada praktik pasar monopoli atau duopoli yang tidak bersaing secara benar. Dalam hal ini intervensi pemerintah juga akan menunjukkan adanya keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat.

Intervensi pemerintah bisa dimulai dengan memberikan melakukan audit terhadap penetapan kenaikan harga yang diterapkan hampir bersamaan oleh kedua pelaku usaha penerbangan. Apakah kenaikan itu diakibatkan adanya kenaikan biaya produksi, atau ada kolusi untuk menetapkan harga?

Selanjutnya, untuk menjaga keseimbangan pasar, pemerintah harus mendorong dan memberi kemudahan untuk pelaku usaha baru untuk masuk ke pasar transportasi udara. Juga untuk perusahaan-perusahaan kecil yang sudah ada perlu diberikan kemudahan untuk berusaha memperbesar pangsa pasarnya.

Perusahaan besar yang ada saat ini perlu didorong untuk meningkatkan efisiensi dan inovasi. Hal ini juga seharusnya bisa dilakukan mengingat bahwa salah satu perusahaan besar tersebut adalah perusahaan milik pemerintah. Beberapa model usaha dari perusahaan penerbangan internasional yang dapat memperbaiki layanannya kepada penumpang dengan tingkat harga yang lebih murah bisa dijadikan bahan pembelajaran. Diharapkan perusahaan pemerintah bisa berbuat lebih dari sekedar membuat diferensiasi kelas dan harga penerbangan yang sebenarnya masih bagian dari strategi perusahaan untuk memaksimalkan keuntungan.

Masyarakat berharap banyak kepada pasar transportasi udara untuk memberikan layanan yang dapat menghubungkan antarwilayah di Indonesia dengan tarif dan layanan yang baik. Oleh karenanya, pemerintah perlu jeli dan bijak mengamati jika terjadi praktik yang merugikan masyarakat. Karena dalam skala besar, kerugian tersebut akan memberikan preseden buruk bagi upaya pemerintah mengejar pertumbuhan dan pemerataan ekonomi dalam rangka menyejahterakan rakyat.

Dena Drajat ;  Alumni Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor, bekerja sebagai ASN di Badan Pusat Statistik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar