Political Stress Syndrome Pascapolitik Demokrasi
MAHKAMAH Konstitusi (MK) yang dikenal sebagai the guardian of constituion sudah selesai melaksanakan tugas konstitusionalnya.
Tugas itu menggelar sidang sengketa pilpres atas gugatan hasil pilpres yang didaftarkan pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, dengan tuntutan mendiskualifikasi kompetitor, Jokowi-Amin, yang kini sudah ditetapkan sebagai pemenang pemilu oleh KPU, Jumat (21/6), dan mendesak MK menetapkan mereka sebagai pemenang pilpres. Alasannya, karena menurut mereka pemilu penuh dengan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Putusan dari sidang yang digelar secara terbuka itu pun sudah diumumkan MK, yakni menolak semua dalil dan petitum yang diajukan pihak pemohon, Prabowo-Sandiaga. Dengan demikian, secara konstitusional Joko Widodo-Ma’ruf Amin ialah pemenang Pilpres 2019. Selanjutnya, KPU menetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih pada Minggu (30/6).
Kini tinggal pergelaran sidang MK selanjutnya terhadap calon anggota legislatif yang kita dengar cukup banyak yang mendaftarkan ke MK, atas dugaan kecurangan yang terjadi pada kenduri demokrasi yang digelar bersamaan dengan pilpres lalu. Apa hasilnya, akan ditunggu beberapa hari ke depan.
Realitas politik
Meskipun sejumlah anggota legislatif kini masih bertarung di MK, secara gamblang dapat dikatakan bahwa kenduri politik demokrasi 2019 sudah usai. Sebagaimana dalam 'pertandingan hidup' lainnya, ada yang menang dan ada yang kalah. Demikian juga halnya dengan pertandingan politik Indonesia mutakhir, banyak yang menang, tetapi jauh lebih banyak yang kalah.
Meskipun sejumlah anggota legislatif kini masih bertarung di MK, secara gamblang dapat dikatakan bahwa kenduri politik demokrasi 2019 sudah usai. Sebagaimana dalam 'pertandingan hidup' lainnya, ada yang menang dan ada yang kalah. Demikian juga halnya dengan pertandingan politik Indonesia mutakhir, banyak yang menang, tetapi jauh lebih banyak yang kalah.
Lalu, muncullah berbagai ungkapan kata-kata penuh harapan dan anjuran penguat di balik kemenangan dan kekalahan tersebut, seperti yang diucapkan Menko Polhukam Wiranto menjelang pengumuman pemenangan pemilu oleh KPU beberapa waktu lalu, "Memang kekalahan itu menyakitkan, tetapi menerima kekalahan itu kehormatan, bangkit dari kekalahan itu kekuatan."
Semudah itukah realisasinya bagi para pihak yang kalah dalam pertandingan politik demokratik Indonesia? Tentu saja tidak, mengingat ongkos politik demokratik Indonesia saat ini yang begitu tinggi, mulai social cost, financial cost, dan tentunya psychological cost ekstra yang sangat besar. Hal itu sangat berpengaruh pada para pihak yang kalah.
Bagi para calon yang menang suka cita akan dirasakan. Sebaliknya, untuk calon yang kalah tentunya akan berbeda. Rasa kecewa sudah pasti tak terelakkan. Lebih jauh dari itu ialah kekalahan dalam pertandingan politik dapat menimbulkan gangguan kesehatan mental, gangguan psikologis, sakit jiwa, atau depresi; dari depresi ringan sampai depresi berat.
Dalam hal ini, depresi atau gangguan mental ialah ancaman yang serius bagi pihak-pihak yang kalah dalam pertarungan politik demokratik Indonesia ini. Depresi atau gangguan jiwa ialah keadaan mental yang biasa dialami mereka yang tidak bisa mengatasi dan mengelola kegagalannya dengan baik.
Kondisi gangguan kejiwaan (psychiatric disorder) itulah yang biasa disebut sebagai political stress syndrome (PSS) atau post-election stress syndrom (PoESS). Adalah suatu istilah yang memang belum terlalu dikenal dalam disiplin ilmu psikologi populer, tetapi cukup dikenal di kalangan jurnalis, penulis media/blog dan pengamat, serta aktivis sosial negeri ini.
Dalam skala yang akut, sindrom dapat berupa dorongan tindakan melukai, bahkan bunuh diri, melakukan amuk publik (public tantrums), atau menghasut orang lain untuk berbuat kerusuhan, dan lain-lain. Orang atau individu yang terkena sindrom ini kemungkinan dapat terlibat dalam kegiatan irasional impulsif. Suatu kondisi sosial publik yang meski tidak terlihat di permukaan etalase bangsa, sebenarnya sudah menggerogoti alam bawah sadar bangsa ini seperti gunung es.
Kondisi tersebut terjadi, mengingat orang-orang yang terlibat dalam pertarungan politik demokratik negeri ini bukan hanya paslon dan para calon, melainkan juga banyak sekali, mulai anggota keluarga hingga para donatur dan simpatisan serta kerabat dan sanak familinya.
Lagi pula kenduri demokrasi di negeri ini sudah begitu sering diselenggarakan sehingga sudah banyak sekali lahir orang-orang kalah.
Maka, kelompok-kelompok yang terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam pertandingan politik ini pun terjebak dalam situasi psikologis yang disebut histeria massa, panik dan hiruk pikuk kegilaan yang tindakannya tidak dapat dijelaskan secara telanjang-rasional, tetapi sungguh-sungguh ada. Apabila kondisi ini tidak dikelola dengan baik dan proporsional, ujung-ujungnya juga dapat menimbulkan kerusakan yang luas karena ia bergerak pelan, tetapi mematikan?
Fakta di lapangan banyak politikus yang mengalami stres, depresi, hingga bunuh diri (yang terakhir ini pernah terjadi) karena gagal dalam pertarungan politik. Pengalaman mengisahkan, beberapa di antara politikus hanya menjalani rawat jalan, tetapi ada juga yang harus dirawat dan menjalani rehabilitasi .
Kenapa itu terjadi? Jawabannya karena mereka tidak memiliki kematangan intelektual, spiritual, dan emosional sehingga sulit untuk keluar dari perangkap sakit jiwa politik. Padahal, salah satu syarat tak tertulis untuk menjadi seorang politikus sejati ialah kepemilikan kematangan intelektual, spiritual, dan emosional yang memungkinkan dirinya bisa menstabilkan dan meng-counter depresi atau gangguan kejiwaan di tengah ketatnya pertarungan politik yang tidak kenal kata ampun.
Proses kehidupan
Sangat tidak mudah untuk menerima kekalahan sebagai sebuah kehormatan dan bangkit dari kekalahan sebagai kekuatan, sebagaimana Wiranto. Akan tetapi, apakah masih ada cara lain yang lebih mulia? Jawabannya, tidak banyak alternatif lain untuk itu, selain harus ikhlas menerima kekalahan untuk bisa secara elegan menyingkirkan monster amarah dan kebencian yang membuat dirinya kalah oleh dirinya sendiri. Tidak ikhlas ialah jalan berikut untuk menuju kekalahan lainnya.
Sangat tidak mudah untuk menerima kekalahan sebagai sebuah kehormatan dan bangkit dari kekalahan sebagai kekuatan, sebagaimana Wiranto. Akan tetapi, apakah masih ada cara lain yang lebih mulia? Jawabannya, tidak banyak alternatif lain untuk itu, selain harus ikhlas menerima kekalahan untuk bisa secara elegan menyingkirkan monster amarah dan kebencian yang membuat dirinya kalah oleh dirinya sendiri. Tidak ikhlas ialah jalan berikut untuk menuju kekalahan lainnya.
Ingat bahwa kalah dan menang ialah dua sisi dalam roda kehidupan yang terus berjalan dalam guliran waktu yang tak pernah berhenti di jagat ini. Kalah dan menang ialah dua kehormatan yang sama nilainya. Kalah dan menang ialah proses kehidupan yang mengantarkan kita kepada kedewasaan menuju kesempurnaan lahir batin. Maka, menarik menyitir ungkapan yang penuh kearifan Al Gore saat kalah melawan George Bush Jr pada Pilpres AS, "Kekalahan dan kemenangan ialah jalan untuk memuliakan jiwa kita."
Jika demikian halnya, kemenangan dan kekalahan sama-sama mesti dirayakan sebagai etika kehidupan di dalam jiwa sehingga di antaranya tidak terakumulasi berbagai efek psikologis yang menghancurkan mental-psikisnya.
Bagi yang kalah pun bisa merasakan dirinya sebagai pemenang yang tertunda karena dirinya sadar bahwa perlu persiapan yang lebih berkualitas agar kemenangan sejati akan diraihnya suatu saat nanti.
Itulah kekalahan dari seorang pemenang sejati pascapolitik demokrasi, yang mana ia mampu bangkit dari kekalahan untuk merajut kembali kehormatan dirinya. Karakter seorang politikus negarawan, terletak di sini. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar