Senin 08 Juli 2019, 11:16 WIB
Pelajaran Agama di Sekolah
Pemerintah sekarang, yang dipimpin Presiden Joko Widodo cukup sering dituduh hendak menghilangkan pelajaran agama di sekolah. Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sampai beberapa kali harus menjelaskan, memberi klarifikasi, bahwa tidak ada rencana pemerintah untuk menghapus pelajaran agama di sekolah. Bagi saya, beredarnya informasi palsu soal itu justru sebuah tanda bahwa pelajaran agama di sekolah kita memang bermasalah.
Soal pelajaran agama di sekolah ini adalah salah satu tema fitnah terhadap Jokowi yang terkait dengan agama Islam. Fitnah lain seperti tuduhan bahwa Jokowi akan melarang azan, ia seorang komunis yang anti-agama, dan sebagainya. Apa hubungannya dengan pelajaran agama di sekolah? Penyebar fitnah itu adalah para guru agama, dan disebar lewat pelajaran agama.
Seberapa seriuskah masalahnya? Saya tidak punya data kuantitatif soal berapa jumlah guru agama yang aktif menyebar fitnah, tapi saya cukup sering mendengar cerita kejadiannya. Secara umum dapatlah kita asumsikan bahwa intensitasnya setara dengan intensitas tersebarnya fitnah politik dalam forum-forum pengajian.Meski intensitasnya masih rendah sekali pun, masalah ini tidak bisa dianggap remeh. Menunggangi agama untuk keperluan politik sudah jadi masalah besar di negeri ini. Menggunakan kegiatan mengajar di kelas untuk kegiatan politik pun masalah besar pula. Menggunakan kegiatan mengajar agama di kelas untuk kegiatan politik, dengan muatan fitnah sebagai bahan baku, adalah masalah yang tingkat keseriusannya berlipat-lipat.
Agama seharusnya menjadi penuntun, mengarahkan orang untuk kebaikan. Tapi ada orang-orang yang mengaburkan definisi kebaikan. Dengan dalih bahwa politik pun harus diwarnai dengan nilai-nilai agama, ia membawa agama ke ruang politik. Salahkah mewarnai politik dengan nilai-nilai agama? Tidak, bila yang dibawa adalah nilai moral. Masalahnya, yang dibawa bukan itu. Yang dibawa sebenarnya kepentingan politik berbalut agama.
Kalau orang mau mewarnai politik dengan nilai agama, ia tentu meletakkan kejujuran di tempat paling tinggi. Memfitnah adalah perbuatan keji, termasuk memfitnah lawan politik. Memfitnah lawan politik dengan isu agama jelas bukan tindakan mewarnai politik dengan nilai agama.
Tapi para guru agama bukan politikus. Betul. Mereka bahkan dilarang berpolitik. Inilah masalah berikutnya. Dengan alasan agama, orang bisa menganggap bahwa apapun sah dilakukan, termasuk mengabaikan berbagai aturan negara, dengan dalih bahwa aturan negara itu tidak perlu dipatuhi, karena itu aturan buatan manusia.
Jadi, sekali lagi, pelajaran agama di sekolah memang sedang bermasalah. Masalahnya secara umum sejajar dengan masalah kita dalam beragama secara keseluruhan. Agama lebih sering dihadirkan dalam bentuk simbol-simbol untuk menandai kelompok. Hubungan antarumat beragama sering dilihat dalam format persaingan, ada umat yang menang dan kalah. Bahkan lebih parah lagi, hubungan itu dilihat dalam format permusuhan.
Kenapa bisa begitu? Dari mana sumbernya? Saya harus mengatakan dengan tegas bahwa sumbernya adalah ajaran agama itu sendiri. Agama-agama yang dianut orang zaman sekarang lahir ribuan tahun yang lalu, ketika orang-orang masih sibuk berperang untuk menaklukkan. Perang penaklukkan dianggap perang suci. Melalui penaklukan agama ikut tersebar. Akibatnya, kepentingan penaklukan menjadi kabur batasnya dengan kepentingan penyebaran agama.
Agama yang lahir dalam situasi itu merekam celaan-celaan kepada umat lain dalam teks-teks suci, baik secara eksplisit menyebut nama agamanya, maupun yang lebih tersamar, hanya menyebut cirinya saja. Selama ratusan tahun celaan-celaan itu telah menjadi dasar untuk mengobarkan perang. Sejarah mencatat, Perang Salib yang merupakan perang antara umat Islam dan Kristen adalah salah satu perang terpanjang dalam sejarah umat manusia.
Celaan-celaan itu masih terekam hingga sekarang, dan dianggap ajaran suci. Itulah yang menjadi sumber ajaran persaingan maupun permusuhan tadi.
Bukankah agama berisi ajaran kebaikan? Bagi saya, agama itu seperti pasar. Di pasar tersedia berbagai jenis barang, yang tentu saja dijual untuk hal-hal yang baik-baik belaka. Tapi apa produk yang dihasilkan dari barang-barang yang dibeli dari pasar, sangat tergantung pada siapa yang meramunya. Dari pasar kita bisa membeli bahan-bahan untuk membuat soto yang lezat. Peramu yang lain mungkin akan membuat gado-gado yang lezat juga. Tapi peramu yang lain mungkin akan membuat makanan yang tak sehat. Bahkan bisa pula orang membuat makanan beracun.
Karena itulah kita menyaksikan keberagaman praktik agama pada orang-orang yang menganut agama yang sama. Orang bisa jadi sangat penyayang kepada sesama manusia karena menjalankan ajaran agamanya, tapi orang juga bisa jadi pembunuh dengan alasan yang sama, yaitu menjalankan ajaran agama.
Orang mungkin berdalih bahwa yang salah bukan ajaran agamanya, tapi orangnya. Betul, di atas saya tuliskan bahwa produk tadi sangat tergantung pada peramunya. Justru itulah masalahnya, ketika ramuan yang buruk pun dimungkinkan adanya.
Celaan bahkan permusuhan kepada umat lain adalah salah satu muatan yang diajarkan dalam pelajaran agama di sekolah. Tidak heran bila di sekolah banyak terjadi kasus-kasus intoleransi.
Sedihnya, pelajaran agama justru tidak tampil sebagai pendorong untuk hal-hal positif, seperti perilaku tertib. Anak-anak bangsa tidak berperilaku tertib, sebagaimana tidak tertibnya pada orangtua mereka. Sekolah-sekolah berlabel agama sekali pun tidak membuat perbedaan.
Jadi, apakah dengan berbagai masalah itu pelajaran agama perlu dihapuskan? Tidak. Kita hanya perlu mengubah banyak hal dalam praktik keagamaan. Jadikan kebaikan sebagai inti praktik agama. Kebaikan dalam definisi sederhana, yaitu mendatangkan manfaat untuk orang lain, tidak peduli dia seagama dengan kita atau tidak. Juga menjauhkan kita dari tindakan-tindakan tidak adil, yaitu tindakan yang kita tidak sukai kalau dilakukan oleh orang lain kepada kita.
Label-label untuk menandai dan membedakan orang, kemudian yang membuat setiap orang bertindak berbasis pada label itu harus dibuang. Agama-agama seharusnya menyatukan umat manusia dalam kebaikan, bukan malah memisahkan.
Pelajaran agama di sekolah harus digeser ke arah itu. Jadi bukan dihapuskan, tadi digeser orientasinya. Maukah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama melakukannya?
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
Soal pelajaran agama di sekolah ini adalah salah satu tema fitnah terhadap Jokowi yang terkait dengan agama Islam. Fitnah lain seperti tuduhan bahwa Jokowi akan melarang azan, ia seorang komunis yang anti-agama, dan sebagainya. Apa hubungannya dengan pelajaran agama di sekolah? Penyebar fitnah itu adalah para guru agama, dan disebar lewat pelajaran agama.
Seberapa seriuskah masalahnya? Saya tidak punya data kuantitatif soal berapa jumlah guru agama yang aktif menyebar fitnah, tapi saya cukup sering mendengar cerita kejadiannya. Secara umum dapatlah kita asumsikan bahwa intensitasnya setara dengan intensitas tersebarnya fitnah politik dalam forum-forum pengajian.Meski intensitasnya masih rendah sekali pun, masalah ini tidak bisa dianggap remeh. Menunggangi agama untuk keperluan politik sudah jadi masalah besar di negeri ini. Menggunakan kegiatan mengajar di kelas untuk kegiatan politik pun masalah besar pula. Menggunakan kegiatan mengajar agama di kelas untuk kegiatan politik, dengan muatan fitnah sebagai bahan baku, adalah masalah yang tingkat keseriusannya berlipat-lipat.
Agama seharusnya menjadi penuntun, mengarahkan orang untuk kebaikan. Tapi ada orang-orang yang mengaburkan definisi kebaikan. Dengan dalih bahwa politik pun harus diwarnai dengan nilai-nilai agama, ia membawa agama ke ruang politik. Salahkah mewarnai politik dengan nilai-nilai agama? Tidak, bila yang dibawa adalah nilai moral. Masalahnya, yang dibawa bukan itu. Yang dibawa sebenarnya kepentingan politik berbalut agama.
Kalau orang mau mewarnai politik dengan nilai agama, ia tentu meletakkan kejujuran di tempat paling tinggi. Memfitnah adalah perbuatan keji, termasuk memfitnah lawan politik. Memfitnah lawan politik dengan isu agama jelas bukan tindakan mewarnai politik dengan nilai agama.
Tapi para guru agama bukan politikus. Betul. Mereka bahkan dilarang berpolitik. Inilah masalah berikutnya. Dengan alasan agama, orang bisa menganggap bahwa apapun sah dilakukan, termasuk mengabaikan berbagai aturan negara, dengan dalih bahwa aturan negara itu tidak perlu dipatuhi, karena itu aturan buatan manusia.
Jadi, sekali lagi, pelajaran agama di sekolah memang sedang bermasalah. Masalahnya secara umum sejajar dengan masalah kita dalam beragama secara keseluruhan. Agama lebih sering dihadirkan dalam bentuk simbol-simbol untuk menandai kelompok. Hubungan antarumat beragama sering dilihat dalam format persaingan, ada umat yang menang dan kalah. Bahkan lebih parah lagi, hubungan itu dilihat dalam format permusuhan.
Kenapa bisa begitu? Dari mana sumbernya? Saya harus mengatakan dengan tegas bahwa sumbernya adalah ajaran agama itu sendiri. Agama-agama yang dianut orang zaman sekarang lahir ribuan tahun yang lalu, ketika orang-orang masih sibuk berperang untuk menaklukkan. Perang penaklukkan dianggap perang suci. Melalui penaklukan agama ikut tersebar. Akibatnya, kepentingan penaklukan menjadi kabur batasnya dengan kepentingan penyebaran agama.
Agama yang lahir dalam situasi itu merekam celaan-celaan kepada umat lain dalam teks-teks suci, baik secara eksplisit menyebut nama agamanya, maupun yang lebih tersamar, hanya menyebut cirinya saja. Selama ratusan tahun celaan-celaan itu telah menjadi dasar untuk mengobarkan perang. Sejarah mencatat, Perang Salib yang merupakan perang antara umat Islam dan Kristen adalah salah satu perang terpanjang dalam sejarah umat manusia.
Celaan-celaan itu masih terekam hingga sekarang, dan dianggap ajaran suci. Itulah yang menjadi sumber ajaran persaingan maupun permusuhan tadi.
Bukankah agama berisi ajaran kebaikan? Bagi saya, agama itu seperti pasar. Di pasar tersedia berbagai jenis barang, yang tentu saja dijual untuk hal-hal yang baik-baik belaka. Tapi apa produk yang dihasilkan dari barang-barang yang dibeli dari pasar, sangat tergantung pada siapa yang meramunya. Dari pasar kita bisa membeli bahan-bahan untuk membuat soto yang lezat. Peramu yang lain mungkin akan membuat gado-gado yang lezat juga. Tapi peramu yang lain mungkin akan membuat makanan yang tak sehat. Bahkan bisa pula orang membuat makanan beracun.
Karena itulah kita menyaksikan keberagaman praktik agama pada orang-orang yang menganut agama yang sama. Orang bisa jadi sangat penyayang kepada sesama manusia karena menjalankan ajaran agamanya, tapi orang juga bisa jadi pembunuh dengan alasan yang sama, yaitu menjalankan ajaran agama.
Orang mungkin berdalih bahwa yang salah bukan ajaran agamanya, tapi orangnya. Betul, di atas saya tuliskan bahwa produk tadi sangat tergantung pada peramunya. Justru itulah masalahnya, ketika ramuan yang buruk pun dimungkinkan adanya.
Celaan bahkan permusuhan kepada umat lain adalah salah satu muatan yang diajarkan dalam pelajaran agama di sekolah. Tidak heran bila di sekolah banyak terjadi kasus-kasus intoleransi.
Sedihnya, pelajaran agama justru tidak tampil sebagai pendorong untuk hal-hal positif, seperti perilaku tertib. Anak-anak bangsa tidak berperilaku tertib, sebagaimana tidak tertibnya pada orangtua mereka. Sekolah-sekolah berlabel agama sekali pun tidak membuat perbedaan.
Jadi, apakah dengan berbagai masalah itu pelajaran agama perlu dihapuskan? Tidak. Kita hanya perlu mengubah banyak hal dalam praktik keagamaan. Jadikan kebaikan sebagai inti praktik agama. Kebaikan dalam definisi sederhana, yaitu mendatangkan manfaat untuk orang lain, tidak peduli dia seagama dengan kita atau tidak. Juga menjauhkan kita dari tindakan-tindakan tidak adil, yaitu tindakan yang kita tidak sukai kalau dilakukan oleh orang lain kepada kita.
Label-label untuk menandai dan membedakan orang, kemudian yang membuat setiap orang bertindak berbasis pada label itu harus dibuang. Agama-agama seharusnya menyatukan umat manusia dalam kebaikan, bukan malah memisahkan.
Pelajaran agama di sekolah harus digeser ke arah itu. Jadi bukan dihapuskan, tadi digeser orientasinya. Maukah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama melakukannya?
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar