Mewujudkan Kota Bandara Kertajati
Oleh: Nurmadi H Sumarta
Dosen FEB UNS, Kandidat Doktor Pascasarjana UNS
Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati akhirnya beroperasi. Mulai 1 Juli, pemerintah secara resmi mengalihkan 56 penerbangan domestik di Bandara Internasional Husein Sastranegara di Bandung ke (BIJB) Kertajati di Majalengka.
Di hari pertama pengalihan operasional penerbangan, BIJB Kertajati melayani 36 penerbangan yang terdiri atas 18 penerbangan keberangkatan dan 18 penerbangan pendaratan. Jumlah penumpang yang dilayani di hari pertama mencapai 3.782 orang. Rata-rata tingkat keterisian penumpang yang dilayani maskapai atau load factor mencapai 70%.
Kalau melihat data tersebut, pengalihan penerbangan domestik luar Pulau Jawa dari Bandara Husein Sastranegara ke BIJB Kertajati tampaknya berjalan lancar. Memang, ada keluh kesah dari penumpang terkait pengalihan tersebut, terutama jarak tempuh yang jauh untuk mencapai BIJB Kertajati. Jarak BIJB Kertajati di Majalengka dengan Kota Bandung sebetulnya hanya sekitar 68 km. Namun, penumpang dari Kota Bandung harus menempuh jarak sekitar 122 km dengan waktu tempuh sekitar tiga jam.
Para penumpang juga mengeluhkan akses transportasi yang masih minim. Selain menggunakan bus Damri yang selama satu bulan ini digratiskan oleh pemerintah, pilihan moda transportasi lainnya hanyalah taksi maupun travel.
Akses yang sulit inilah yang membikin BIJB Kertajati sepi sejak secara resmi dioperasikan pada Juni tahun lalu. Sepanjang Juni-Oktober 2018, hanya ada satu rute penerbangan di BJIB Kertajati. Pada Desember 2018 jumlah penerbangan bertambah menjadi tujuh rute dan menjadi 11 rute pada Januari 2019.
Namun, meski ada 11 rute penerbangan, hanya satu rute penerbangan yang aktif beroperasi. Penyebabnya, banyak maskapai selalu membatalkan penerbangan gara-gara load factor sangat rendah, yakni di bawah 30%.
Situasi semacam ini ibarat dilema telur atau ayam. Maskapai enggan beroperasi karena tidak ada penumpang. Sementara penumpang tidak bisa memanfaatkan BIJB Kertajati karena tidak ada pesawat.
Menghadapi dilema tersebut, pemerintah memilih mengambil jalan tengah, yakni dengan mengalihkan penerbangan pesawat komersial jenis jet dengan rute luar Jawa dari Bandara Husein Sastranegara ke BIJB Kertajati. Kebijakan ini memaksa penumpang dan maskapai untuk berpindah ke BIJB Kertajati.
Paksaan itu tentu bukan tanpa alasan. Sejak lama pertumbuhan lalu lintas udara di Jawa Barat sudah tidak terakomodasi oleh Bandara Husein Sastranegara.
Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, jumlah penumpang di Bandara Husein Sastranegara sepanjang 2016-2018 tumbuh 6% menjadi 3,86 juta. Jumlah kargo naik 40% menjadi 19,21 juta kilogram, sementara lalu lintas pesawat naik 11% jadi 31.865 pergerakan pesawat.
Sejak awal pembangunan BIJB Kertajati memang dimaksudkan untuk mengantisipasi overcapacity Bandara Husen Sastranegara lantaran daya tampungnya tidak sebanding dengan pertumbuhan penumpang.
Sebagai pengganti Bandara Husein Sastranegara, BIJB Kertajati memiliki kapasitas yang jauh lebih besar. Dibangun di atas lahan seluas 1.800 ha, BIJB Kertajati bisa melayani 5,6 juta-12 juta penumpang per tahun. Itu baru pembangunan tahap pertama. Kapasitasnya akan naik secara bertahap hingga menjadi 29,3 juta lalu lintas penumpang seiring perluasan terminal.
Kota Bandara
Di BIJB Kertajati juga akan dikembangkan kawasan aerocity yang terintegrasi dengan bandara. Luasnya mencapai 3.840 hektare. Jika ini terwujud, BIJB Kertajati akan menjadi bandara pertama di Indonesia yang mengusung konsep aerotropolis.
Istilah aerotropolis pertama kali dikemukakan oleh seorang seniman asal New York bernama Nicholas De Santis pada 1939. Saat itu De Santis membuat sebuah gambar atap gedung pencakar langit dengan sebuah bandara di tengah kota.
Konsep tersebut kemudian dikembangkan oleh Director of the Center for Air Commerce at the University of North Carolina John D Kasarda. Menurut dia, aerotropolis merupakan sebuah subkawasan dengan tata letak, infrastruktur, dan ekonomi yang berpusat pada bandara.
Seperti konsep kota metropolis, konsep kota aerotropolis pun memiliki kawasan suburban atau pinggir kota. Kawasan ini pun terhubung oleh infrastruktur dan transportasi massal.
Dengan mengusung konsep sebagai kota bandara, BIJB Kertajati semestinya tidak bisa dilihat hanya sebagai infrastruktur dan fasilitas yang melayani kebutuhan penerbangan.
Ada perbedaan antara bandara dengan kota bandara. Bandara hanya berfungsi dalam kaitannya dengan perjalanan. Penumpang, kargo, dan pesawat hanya lewat. Karena itu, bandara harus menyediakan proses dan transit yang efisien, cepat, dan nyaman bagi kargo dan penumpang.
Sementara kota bandara berfungsi sebagai destinasi. Ini adalah tempat di mana orang menghabiskan waktu. Mereka datang ke tempat itu untuk melakukan sesuatu, tidak sekadar singgah. Sebagai sebuah destinasi, kota bandara harus menyediakan lingkungan yang menarik dan bernilai tambah untuk melibatkan dan mempertahankan pelanggan dan tenant.
Kota bandara mengintegrasikan infrastruktur transportasi dengan dan bisnis. Karena itu, kota bandara biasanya dikembangkan sebagai pusat bisnis yang meliputi industri manufaktur maupun ruang perkantoran, pusat logistik, pusat hiburan dan perbelanjaan, serta hotel dan perumahan.
Konsep kota bandara sesungguhnya bukanlah konsep baru. Banyak negara telah menerapkan konsep tersebut. Kota bandara yang sukses antara lain Stockholm Arlanda Airport di Swedia, Schipol International Airport di Amsterdam, Singapore Changi Airport di Singapura, dan Incheon Internasional Airport di Korea Selatan. Untuk mewujudkan BIJB Kertajati sebagai kota bandara, tentu masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan.
Pertama, kemudahan dan keberagaman akses dari dan ke BIJB Kertajati. Transportasi yang terintegrasi dari dan ke bandara merupakan kebutuhan dasar. Akses yang mudah dan pilihan moda transportasi yang beragam akan memberikan kenyamanan bagi konsumen.
Karena itu, dalam jangka pendek pengerjaan jalan tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu) yang menghubungkan Bandung Raya dengan Kertajati harus dipercepat.
Pilihan moda transportasi massal juga harus diperbanyak. Kereta menjadi salah satu solusi transportasi yang cepat dan nyaman. Karena itu, rencana pemerintah untuk membangun jalur kereta yang menghubungkan Bandung-Majalengka-Cirebon harus segara direalisasikan. ***
Dosen FEB UNS, Kandidat Doktor Pascasarjana UNS
Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati akhirnya beroperasi. Mulai 1 Juli, pemerintah secara resmi mengalihkan 56 penerbangan domestik di Bandara Internasional Husein Sastranegara di Bandung ke (BIJB) Kertajati di Majalengka.
Di hari pertama pengalihan operasional penerbangan, BIJB Kertajati melayani 36 penerbangan yang terdiri atas 18 penerbangan keberangkatan dan 18 penerbangan pendaratan. Jumlah penumpang yang dilayani di hari pertama mencapai 3.782 orang. Rata-rata tingkat keterisian penumpang yang dilayani maskapai atau load factor mencapai 70%.
Kalau melihat data tersebut, pengalihan penerbangan domestik luar Pulau Jawa dari Bandara Husein Sastranegara ke BIJB Kertajati tampaknya berjalan lancar. Memang, ada keluh kesah dari penumpang terkait pengalihan tersebut, terutama jarak tempuh yang jauh untuk mencapai BIJB Kertajati. Jarak BIJB Kertajati di Majalengka dengan Kota Bandung sebetulnya hanya sekitar 68 km. Namun, penumpang dari Kota Bandung harus menempuh jarak sekitar 122 km dengan waktu tempuh sekitar tiga jam.
Para penumpang juga mengeluhkan akses transportasi yang masih minim. Selain menggunakan bus Damri yang selama satu bulan ini digratiskan oleh pemerintah, pilihan moda transportasi lainnya hanyalah taksi maupun travel.
Akses yang sulit inilah yang membikin BIJB Kertajati sepi sejak secara resmi dioperasikan pada Juni tahun lalu. Sepanjang Juni-Oktober 2018, hanya ada satu rute penerbangan di BJIB Kertajati. Pada Desember 2018 jumlah penerbangan bertambah menjadi tujuh rute dan menjadi 11 rute pada Januari 2019.
Namun, meski ada 11 rute penerbangan, hanya satu rute penerbangan yang aktif beroperasi. Penyebabnya, banyak maskapai selalu membatalkan penerbangan gara-gara load factor sangat rendah, yakni di bawah 30%.
Situasi semacam ini ibarat dilema telur atau ayam. Maskapai enggan beroperasi karena tidak ada penumpang. Sementara penumpang tidak bisa memanfaatkan BIJB Kertajati karena tidak ada pesawat.
Menghadapi dilema tersebut, pemerintah memilih mengambil jalan tengah, yakni dengan mengalihkan penerbangan pesawat komersial jenis jet dengan rute luar Jawa dari Bandara Husein Sastranegara ke BIJB Kertajati. Kebijakan ini memaksa penumpang dan maskapai untuk berpindah ke BIJB Kertajati.
Paksaan itu tentu bukan tanpa alasan. Sejak lama pertumbuhan lalu lintas udara di Jawa Barat sudah tidak terakomodasi oleh Bandara Husein Sastranegara.
Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, jumlah penumpang di Bandara Husein Sastranegara sepanjang 2016-2018 tumbuh 6% menjadi 3,86 juta. Jumlah kargo naik 40% menjadi 19,21 juta kilogram, sementara lalu lintas pesawat naik 11% jadi 31.865 pergerakan pesawat.
Sejak awal pembangunan BIJB Kertajati memang dimaksudkan untuk mengantisipasi overcapacity Bandara Husen Sastranegara lantaran daya tampungnya tidak sebanding dengan pertumbuhan penumpang.
Sebagai pengganti Bandara Husein Sastranegara, BIJB Kertajati memiliki kapasitas yang jauh lebih besar. Dibangun di atas lahan seluas 1.800 ha, BIJB Kertajati bisa melayani 5,6 juta-12 juta penumpang per tahun. Itu baru pembangunan tahap pertama. Kapasitasnya akan naik secara bertahap hingga menjadi 29,3 juta lalu lintas penumpang seiring perluasan terminal.
Kota Bandara
Di BIJB Kertajati juga akan dikembangkan kawasan aerocity yang terintegrasi dengan bandara. Luasnya mencapai 3.840 hektare. Jika ini terwujud, BIJB Kertajati akan menjadi bandara pertama di Indonesia yang mengusung konsep aerotropolis.
Istilah aerotropolis pertama kali dikemukakan oleh seorang seniman asal New York bernama Nicholas De Santis pada 1939. Saat itu De Santis membuat sebuah gambar atap gedung pencakar langit dengan sebuah bandara di tengah kota.
Konsep tersebut kemudian dikembangkan oleh Director of the Center for Air Commerce at the University of North Carolina John D Kasarda. Menurut dia, aerotropolis merupakan sebuah subkawasan dengan tata letak, infrastruktur, dan ekonomi yang berpusat pada bandara.
Seperti konsep kota metropolis, konsep kota aerotropolis pun memiliki kawasan suburban atau pinggir kota. Kawasan ini pun terhubung oleh infrastruktur dan transportasi massal.
Dengan mengusung konsep sebagai kota bandara, BIJB Kertajati semestinya tidak bisa dilihat hanya sebagai infrastruktur dan fasilitas yang melayani kebutuhan penerbangan.
Ada perbedaan antara bandara dengan kota bandara. Bandara hanya berfungsi dalam kaitannya dengan perjalanan. Penumpang, kargo, dan pesawat hanya lewat. Karena itu, bandara harus menyediakan proses dan transit yang efisien, cepat, dan nyaman bagi kargo dan penumpang.
Sementara kota bandara berfungsi sebagai destinasi. Ini adalah tempat di mana orang menghabiskan waktu. Mereka datang ke tempat itu untuk melakukan sesuatu, tidak sekadar singgah. Sebagai sebuah destinasi, kota bandara harus menyediakan lingkungan yang menarik dan bernilai tambah untuk melibatkan dan mempertahankan pelanggan dan tenant.
Kota bandara mengintegrasikan infrastruktur transportasi dengan dan bisnis. Karena itu, kota bandara biasanya dikembangkan sebagai pusat bisnis yang meliputi industri manufaktur maupun ruang perkantoran, pusat logistik, pusat hiburan dan perbelanjaan, serta hotel dan perumahan.
Konsep kota bandara sesungguhnya bukanlah konsep baru. Banyak negara telah menerapkan konsep tersebut. Kota bandara yang sukses antara lain Stockholm Arlanda Airport di Swedia, Schipol International Airport di Amsterdam, Singapore Changi Airport di Singapura, dan Incheon Internasional Airport di Korea Selatan. Untuk mewujudkan BIJB Kertajati sebagai kota bandara, tentu masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan.
Pertama, kemudahan dan keberagaman akses dari dan ke BIJB Kertajati. Transportasi yang terintegrasi dari dan ke bandara merupakan kebutuhan dasar. Akses yang mudah dan pilihan moda transportasi yang beragam akan memberikan kenyamanan bagi konsumen.
Karena itu, dalam jangka pendek pengerjaan jalan tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu) yang menghubungkan Bandung Raya dengan Kertajati harus dipercepat.
Pilihan moda transportasi massal juga harus diperbanyak. Kereta menjadi salah satu solusi transportasi yang cepat dan nyaman. Karena itu, rencana pemerintah untuk membangun jalur kereta yang menghubungkan Bandung-Majalengka-Cirebon harus segara direalisasikan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar