Jumat, 05 Juli 2019

Menyemangati Oposisi Pasca Pemilu 2019

Rabu 03 Juli 2019, 16:05 WIB

Menyemangati Oposisi Pasca Pemilu 2019

Jacko Ryan - detikNews

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat final dan mengikat telah menjadi akhir dari perjalanan panjang proses pemilu sebelum akhirnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan capres dan cawapres terpilih. Berdasarkan konferensi pers yang diadakan kedua belah pihak, masing-masing telah menerima dan menghormati putusan MK atas sengketa hasil Pilpres 2019. Begitu pula dengan Koalisi Adil dan Makmur dan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi yang secara resmi sudah dibubarkan. 

Banyak hipotesis terus mencuat ke permukaan sejak terjadinya berbagai peristiwa di atas. Salah satunya yakni Partai Gerindra, yang selama ini dikenal berada di luar pemerintahan, diduga akan bergabung dengan koalisi pemerintah. Hipotesis tersebut muncul sesudah berbagai pihak yang sebelumnya tergabung dalam oposisi seperti Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat yang sudah terlebih dahulu memberikan sinyal akan bergabung pada koalisi pemerintah.
Demokrasi Minimalis dan Maksimalis
Jika hipotesis tersebut benar-benar terjadi, maka hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tetap setia berdiri di barisan oposisi. Fenomena ini dinilai masyarakat awam sebagai hal yang baik karena dipandang akan menurunkan tensi konflik politis yang sejak tahun lalu terus meninggi. Pola pikir seperti itu tidak mengindahkan pikiran yang visioner. Hal baik yang ditawarkan dari realitas pincangnya koalisi dan oposisi merupakan keuntungan semu. Setelahnya, akan muncul berbagai permasalahan kompleks yang dikhawatirkan dapat mencederai dan bahkan mengancam konsep dari demokrasi itu sendiri.
Tentu kita mengingat betul bagaimana Partai Nazi memenangi pemilu di Jerman dengan perolehan suara terbanyak. Namun, identitas fasis melekat betul pada pemerintahan yang berjalan saat itu karena, meminjam istilah Hobbes, muncul Leviathan dengan kekuasaan yang mutlak sehingga melemahnya berbagai instrumen kontrol menjadi hal yang tidak terelakkan.
Ketika berbicara demokrasi, setidaknya ada dua pandangan yang dapat kita gunakan. Pandangan minimalis merupakan pandangan yang memfokuskan diri pada persoalan pemilihan umum sebagai inti dari demokrasi. Bagi pandangan ini, kehidupan demokrasi tidak lain adalah persoalan bagaimana pelaksanaan pemilu dapat berlangsung dengan baik dan bagaimana pemilu menentukan pejabat dan kehidupan bernegara yang akan berlangsung pada periode tertentu. Hal yang lebih luas ditawarkan dalam pandangan demokrasi maksimalis di mana banyak unsur yang menjadi tolak ukur bagi demokrasi. Unsur-unsur tersebut yakni persamaan, partisipasi, kebebasan, toleransi, keadilan, hak-hak universal, dan kesepakatan banyak orang.
Pandangan maksimalis muncul dari kritik atas pandangan minimalis, sebagaimana diungkapkan Dahl dalam Poliarchy: Participation and Opposition(1971), bahwa keberadaan partisipasi dan koreksi terhadap pemerintahan jauh lebih utama ketimbang pemilu. Karenanya muncul konsep poliarki yang memiliki asumsi bahwa demokrasi pada hakikatnya adalah persoalan yang terkait dengan partisipasi dan oposisi dalam pemerintahan, dan bukan semata persoalan pemilu. Karena gagasan tersebut, Dahl menjadi salah satu ilmuan yang sangat menyuarakan pentingnya oposisi dalam pemerintahan. Baginya oposisi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari demokrasi.
Peran Oposisi
Oposisi secara singkat dapat dimaknai sebagai sekelompok orang (dan juga partai) yang terhimpun guna memberikan kritik hingga menjalankan fungsi check and balances kepada pemerintah. Itu semua dijalani pada posisinya yang berada di luar pemerintah. Tentu bisa dibayangkan jika tidak terjadi keseimbangan antara oposisi dan koalisi di suatu negara. Sangat dimungkinkan terjadi kartelisasi antara partai-partai di mana acapkali kedaulatan rakyat, yang menjadi prioritas utama dalam demokrasi, tidak terpenuhi secara maksimal karena kepentingan kelompok tertentulah yang menjadi prioritas. Ini yang kemudian menjadi pintu gerbang terjadinya oligarki politik. Suatu keadaan di mana kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elite kecil.
Di sinilah oposisi memainkan perannya. Ia harus memastikan betul bahwa pemerintah tetap berjalan pada jalur yang benar. Itu tersalurkan melalui berbagai kritik, masukan, hingga kontrol yang dilakukan oposisi kepada pemerintah. Oposisi juga harus dapat menyajikan tawaran alternatif kebijakan bagi pemerintah sebagai bagian dari partisipasi dalam membangun negeri. Peran-peran itulah yang kemudian mendorong pemerintah untuk tidak pasif dalam memunculkan berbagai kebijakan. Hadirnya oposisi justru sebagai stimulus persaingan yang sehat di antara para elite politik dan pemerintahan sehingga dihasilkan suatu program atau kebijakan yang sungguh-sungguh beriorientasi pada rakyat.
Dalam konteks Indonesia, oposisi tidak menjadi minat yang utama bagi banyak partai politik. Bahkan kata "oposisi" mengalami peyorasi. Oposisi kerap dipandang sebagai tindakan melawan pemerintah (makar). Kalaupun ada partai yang terhimpun sebagai oposisi, itu terjadi karena berbagai alasan pragmatis dan bukan pada esensi dari oposisi itu sendiri yakni memberikan kritik, masukan, hingga kontrol kepada pemerintah demi terwujudnya kedaulatan rakyat.
Padahal di balik sulitnya menjadi oposisi dan ketidakminatan banyak partai politik terhadap posisi oposisi, terdapat reward yang tersedia. Posisi oposisi tentu dapat menjadi "panggung" yang strategis bagi partai politik untuk mendapatkan simpati dan citra baik dari masyarakat. Itu terwujud ketika peran oposisi dijalankan dengan benar, yakni membela rakyat yang merasa tertindas oleh berbagai kebijakan pemerintah. Contoh nyata terlihat ketika PDIP berada di barisan oposisi pada 2004. Label "partainya wong cilik" dengan mudah melekat pada PDIP karena ia dinilai sebagai penyambung lidah rakyat bagi pemerintah. Hasilnya, reward telah PDIP dapatkan pada Pemilu 2014 dan 2019. Ia telah menjadi partai dengan suara terbanyak.
Sikap yang diutarakan Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi menanggapi perihal masuknya Partai Gerindra dalam barisan koalisi sudahlah tepat. Sebagaimana dilansir media, anggota TKN Daniel Johan berpendapat bahwa dinamika yang terjadi dalam proses demokrasi untuk tahun-tahun selanjutnya akan sangat minim jika Partai Gerindra bergabung ke dalam koalisi. Namun hal itu kembali lagi kepada sikap Partai Gerindra jika ingin bergabung ke pemerintahan mendatang ataupun terus beroposisi.
Bola panas ini kembali dilemparkan dan tertuju kepada Partai Gerindra dan berbagai partai lainnya yang terhimpun dalam oposisi. Kita pun sebagai rakyat dapat menilai partai-partai tersebut: apakah mereka tetap pada menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dengan berbagai kritik, masukan, hingga kontrol kepada pemerintah. Atau justru sebaliknya, terhanyut dalam kepentingan kelompok seperti demi jabatan dan kursi di pemerintahan, ataupun alasan pragmatis lainnya? Semoga kepentingan dan kedaulatan rakyatlah yang tetap diutamakan.

Jacko Ryan ;  Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Airlangga, delegasi dalam program Johannes Leimena School of Public Leadership (2018) dan Kader Bangsa Fellowship Program (2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar