Memunculkan Soekarno Muda di Setiap Sekolah
Seto Mulyadi ; Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI),
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
MENGENANG berapa puluh tahun silam,semasa pembentukan dirinya sebagai insan intelektual, berkat kerja keras ayahnya, Soekarno cilik bisa menempuh pendidikan di sekolah elite bernama Hoogere Burgerschool (HBS). Disebut elite karena sesungguhnya sekolahnya itu hanya dikhususkan bagi anak-anak Belanda.Lambert Giebels (2001) menulis, "HBS dikenal dengan sebutan sekolah raja dan para pelajarnya merasa lebih tinggi daripada orang lain." Anak-anak didik di HBS, lanjut Giebels, mengenakan peci berbintang emas dan berpita.
Pada diri Soekarno muda, bukti keelitan sebagai siswa HBS itu terlihat pada sebuah foto, yakni sesosok bocah yang mengenakan seragam yang terdiri atas blangkon dan--ini dia--kemeja putih, jas bermotif, dan dasi kupu-kupu. Materi pelajaran yang diterima Soekarno pun kelas berat. Secara mandiri, dia juga melahap buku-buku kelas berat yang dipinjamnya dari gurunya yang berkewarganegaraan Belanda.
Kesungguhannya mempelajari ilmu arsitektur yang beraroma eksakta berpadu dengan minatnya yang mendalam pada bidang ilmu sosial politik. Menjelmalah kemudian Soekarno cilik sebagai Bung Karno --manusia yang ulung mendesain bangunan, sekaligus mampu merekayasa pikiran jutaan masyarakat Hindia Belanda.
Sesaat kita terpukau oleh cemerlangnya kecerdasan Soekarno. Namun, samar-samar kita rasakan sesuatu yang janggal datang menyergap. Sesuatu yang tidak wajar, tidak patut, karena pada riwayat hidup Soekarno cilik itu pula terpantul gambaran tentang bagaimana anak-anak Hindia Belanda memperoleh kesempatan pendidikan secara pilih kasih. Anak-anak berkulit putih menuntut ilmu di sekolah terpandang, sementara anak-anak pribumi melakukan hal yang sama di sekolah ala kadarnya. Itu pun bila keberuntungan berpihak kepada mereka. Keberuntungan minimal, tentu saja.
Pendidikan, pada saat itu, adalah privilese. Bersekolah merupakan bentuk perlakuan istimewa yang dikenakan pada anak-anak dari golongan tertentu saja. Dampaknya, kualitas si anak pun bisa diabaikan. Hanya dengan bisa bersekolah pun sudah serta-merta melontarkan anak itu, berikut keluarganya, ke kasta yang lebih tinggi daripada sesama sebaya.
Seratusan tahun kemudian, bulan ini tepatnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) meluncurkan kebijakan zonasi. Kebijakan itu laksanaantitesis terhadap sebuah sisi dalam hikayat masa kanak-kanak Soekarno dulu. Sistem zonasi mengguncang kesadaran kita bahwa selama bertahun-tahun masyarakat, bahkan pemerintah sendiri, telah kelirumindsetsetiap kali dihadapkan pada pertanyaan, "Anak-anak kita akan dikirim ke sekolah mana?" Kekalutan yang terkandung dalam pertanyaan itulah yang kemudian menyebabkan antrean panjang para orang tuayang ingin mendaftarkan buah hati tersayang di sebuah--sebutlah--sekolah favorit.
Lewat kebijakan zonasi, pendidikan di Indonesia bukan lagi “privilese”. Pendidikan, oleh Kemdikbud, diletakkan pada kodrat sejatinya, yakni sebagai hak dasar setiap anak.
Dengan mendudukkan pendidikan pada singgasana yang semestinya, yakni sebagai hak anak, dunia pendidikan di Tanah Air menjadi seirama dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Secara khusus, persepsi tunggal perlu lebih ditegaskan. Yakni, terjaminnya hak anak untuk menikmati pendidikan yang berkualitas dengan keleluasaan penuh,merupakanunsur utama bagi berkesinambungannya derap pembangunan setiapnegara-bangsa.
Dengan sistem zonasi, favoritisme dalam pilihan sekolah dipinggirkan. Sistem ini menciptakan sebuah kondisi sekaligus keharusan bahwa seluruh sekolah negeri adalah favorit karena didesain dan diselenggarakan dengan standar kelayakan yang sama. Kesetaraan secara institusional nantinya juga akan menyentuh dimensi individual para siswa. Pengastaan atas diri siswa di mata masyarakat, sebagai sisi lain dari keping stigmatisasi, dapat dikikis.
Di samping aspek muatan pendidikan, sistem zonasi juga mendatangkan sejumlah manfaat pragmatis. Dari sisi ekonomi misalnya, keluarga dapat lebih berhemat karena anak bersekolah di lokasi yang relatif lebih dekat dengan tempat tinggal mereka. Apalagi jika pada saat yang sama transportasi sepeda kayuh digalakkan kembali, akan kembali kita pada pemandangan indah saat para pelajar asyik bercengkerama di sepanjang jalan menuju sekolah di atas sepeda kumbang mereka. Santai, segar, dan sellow.
Demikian pula dari sisi keamanan, persilangan rute tempuh yang rawan menciptakan kondisi “ingroup-outgroup”dapat ditekan. Dampaknya dapat diharapkan bahwa frekuensi tawuran antaroknum pelajar juga akan berkurang drastis.
Tentu, di setiap perubahan akan berhadapan dengan kendala. Tak terkecuali dengan sistem zonasi ini. Namun, itu bukan persoalan paling mendasar. Kebijakan Kemdikbud justru, sekali lagi, melakukan revisi pada tataran paling fundamental, yaitu membuang jauh pendidikan sebagai “privilese” dan memurnikannya sebagai hak dasar setiap anak.
Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah kesempatan bagi kebijakan Kemdikbud tersebut untuk berproses. Transisi gradual, namun segera perlu dilakukan melalui pentahapan. Masyarakat, terutama yang skeptis akan kebijakan zonasi, perlu dikondisikan dengan pendekatan perilaku (behavioristic). Dengan pendekatan ini, sosialisasi dapat diturunkan prioritasnya. Sebagai gantinya, implementasi patut segera dilakukan. Bila pembenahan sistematis bisa dilakukan dan masyarakat dapat merasakan manfaatnya, maka masyarakatlah yang nantinya akan mengubah persepsi dan penilaian mereka sendiri.
Alinea di atas sengaja saya tulis sebagai bentuk penguatan terhadap gagasan Kemdikbud. Ini tidak sepatutnya ditafsirkan sekadar sebagai dukungan buta bagi penguasadi dunia edukasi. Justru, alinea penguatan tersebut saya maksudkan sebagai pengingat pemerintah akan isi Incheon Declaration and Framework for Action, bahwa tanggung jawab fundamental untuk merealisasikan "pendidikan bagi semua (education for all)" selambatnya pada 2030 sepenuhnya berada di tangan pemerintah masing-masing negara.
Akhirnya, sistem zonasi menyediakan alasan bagi anak-anak untuk tidak lagi sekadar "menggantungkan cita-cita setinggi langit". Mengapa? Karena setiap impian anak ternyata dapat dikonstruksi di sekolah terdekat dari rumah mereka masing-masing. Ya, semua sekolah harus siap dan mempunyai kesanggupan untuk menjadi kawah candradimuka bagi tumbuh dan berseminya kembali Soekarno-Soekarno belia pada masa depan. Semoga.***
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
MENGENANG berapa puluh tahun silam,semasa pembentukan dirinya sebagai insan intelektual, berkat kerja keras ayahnya, Soekarno cilik bisa menempuh pendidikan di sekolah elite bernama Hoogere Burgerschool (HBS). Disebut elite karena sesungguhnya sekolahnya itu hanya dikhususkan bagi anak-anak Belanda.Lambert Giebels (2001) menulis, "HBS dikenal dengan sebutan sekolah raja dan para pelajarnya merasa lebih tinggi daripada orang lain." Anak-anak didik di HBS, lanjut Giebels, mengenakan peci berbintang emas dan berpita.
Pada diri Soekarno muda, bukti keelitan sebagai siswa HBS itu terlihat pada sebuah foto, yakni sesosok bocah yang mengenakan seragam yang terdiri atas blangkon dan--ini dia--kemeja putih, jas bermotif, dan dasi kupu-kupu. Materi pelajaran yang diterima Soekarno pun kelas berat. Secara mandiri, dia juga melahap buku-buku kelas berat yang dipinjamnya dari gurunya yang berkewarganegaraan Belanda.
Kesungguhannya mempelajari ilmu arsitektur yang beraroma eksakta berpadu dengan minatnya yang mendalam pada bidang ilmu sosial politik. Menjelmalah kemudian Soekarno cilik sebagai Bung Karno --manusia yang ulung mendesain bangunan, sekaligus mampu merekayasa pikiran jutaan masyarakat Hindia Belanda.
Sesaat kita terpukau oleh cemerlangnya kecerdasan Soekarno. Namun, samar-samar kita rasakan sesuatu yang janggal datang menyergap. Sesuatu yang tidak wajar, tidak patut, karena pada riwayat hidup Soekarno cilik itu pula terpantul gambaran tentang bagaimana anak-anak Hindia Belanda memperoleh kesempatan pendidikan secara pilih kasih. Anak-anak berkulit putih menuntut ilmu di sekolah terpandang, sementara anak-anak pribumi melakukan hal yang sama di sekolah ala kadarnya. Itu pun bila keberuntungan berpihak kepada mereka. Keberuntungan minimal, tentu saja.
Pendidikan, pada saat itu, adalah privilese. Bersekolah merupakan bentuk perlakuan istimewa yang dikenakan pada anak-anak dari golongan tertentu saja. Dampaknya, kualitas si anak pun bisa diabaikan. Hanya dengan bisa bersekolah pun sudah serta-merta melontarkan anak itu, berikut keluarganya, ke kasta yang lebih tinggi daripada sesama sebaya.
Seratusan tahun kemudian, bulan ini tepatnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) meluncurkan kebijakan zonasi. Kebijakan itu laksanaantitesis terhadap sebuah sisi dalam hikayat masa kanak-kanak Soekarno dulu. Sistem zonasi mengguncang kesadaran kita bahwa selama bertahun-tahun masyarakat, bahkan pemerintah sendiri, telah kelirumindsetsetiap kali dihadapkan pada pertanyaan, "Anak-anak kita akan dikirim ke sekolah mana?" Kekalutan yang terkandung dalam pertanyaan itulah yang kemudian menyebabkan antrean panjang para orang tuayang ingin mendaftarkan buah hati tersayang di sebuah--sebutlah--sekolah favorit.
Lewat kebijakan zonasi, pendidikan di Indonesia bukan lagi “privilese”. Pendidikan, oleh Kemdikbud, diletakkan pada kodrat sejatinya, yakni sebagai hak dasar setiap anak.
Dengan mendudukkan pendidikan pada singgasana yang semestinya, yakni sebagai hak anak, dunia pendidikan di Tanah Air menjadi seirama dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Secara khusus, persepsi tunggal perlu lebih ditegaskan. Yakni, terjaminnya hak anak untuk menikmati pendidikan yang berkualitas dengan keleluasaan penuh,merupakanunsur utama bagi berkesinambungannya derap pembangunan setiapnegara-bangsa.
Dengan sistem zonasi, favoritisme dalam pilihan sekolah dipinggirkan. Sistem ini menciptakan sebuah kondisi sekaligus keharusan bahwa seluruh sekolah negeri adalah favorit karena didesain dan diselenggarakan dengan standar kelayakan yang sama. Kesetaraan secara institusional nantinya juga akan menyentuh dimensi individual para siswa. Pengastaan atas diri siswa di mata masyarakat, sebagai sisi lain dari keping stigmatisasi, dapat dikikis.
Di samping aspek muatan pendidikan, sistem zonasi juga mendatangkan sejumlah manfaat pragmatis. Dari sisi ekonomi misalnya, keluarga dapat lebih berhemat karena anak bersekolah di lokasi yang relatif lebih dekat dengan tempat tinggal mereka. Apalagi jika pada saat yang sama transportasi sepeda kayuh digalakkan kembali, akan kembali kita pada pemandangan indah saat para pelajar asyik bercengkerama di sepanjang jalan menuju sekolah di atas sepeda kumbang mereka. Santai, segar, dan sellow.
Demikian pula dari sisi keamanan, persilangan rute tempuh yang rawan menciptakan kondisi “ingroup-outgroup”dapat ditekan. Dampaknya dapat diharapkan bahwa frekuensi tawuran antaroknum pelajar juga akan berkurang drastis.
Tentu, di setiap perubahan akan berhadapan dengan kendala. Tak terkecuali dengan sistem zonasi ini. Namun, itu bukan persoalan paling mendasar. Kebijakan Kemdikbud justru, sekali lagi, melakukan revisi pada tataran paling fundamental, yaitu membuang jauh pendidikan sebagai “privilese” dan memurnikannya sebagai hak dasar setiap anak.
Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah kesempatan bagi kebijakan Kemdikbud tersebut untuk berproses. Transisi gradual, namun segera perlu dilakukan melalui pentahapan. Masyarakat, terutama yang skeptis akan kebijakan zonasi, perlu dikondisikan dengan pendekatan perilaku (behavioristic). Dengan pendekatan ini, sosialisasi dapat diturunkan prioritasnya. Sebagai gantinya, implementasi patut segera dilakukan. Bila pembenahan sistematis bisa dilakukan dan masyarakat dapat merasakan manfaatnya, maka masyarakatlah yang nantinya akan mengubah persepsi dan penilaian mereka sendiri.
Alinea di atas sengaja saya tulis sebagai bentuk penguatan terhadap gagasan Kemdikbud. Ini tidak sepatutnya ditafsirkan sekadar sebagai dukungan buta bagi penguasadi dunia edukasi. Justru, alinea penguatan tersebut saya maksudkan sebagai pengingat pemerintah akan isi Incheon Declaration and Framework for Action, bahwa tanggung jawab fundamental untuk merealisasikan "pendidikan bagi semua (education for all)" selambatnya pada 2030 sepenuhnya berada di tangan pemerintah masing-masing negara.
Akhirnya, sistem zonasi menyediakan alasan bagi anak-anak untuk tidak lagi sekadar "menggantungkan cita-cita setinggi langit". Mengapa? Karena setiap impian anak ternyata dapat dikonstruksi di sekolah terdekat dari rumah mereka masing-masing. Ya, semua sekolah harus siap dan mempunyai kesanggupan untuk menjadi kawah candradimuka bagi tumbuh dan berseminya kembali Soekarno-Soekarno belia pada masa depan. Semoga.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar