Sabtu, 06 Juli 2019

Dari Menyerang Lalu Menyeberang

Dari Menyerang Lalu Menyeberang

Oleh : Lely Arrianie ; Dosen Komunikasi Politik Universitas Bengkulu, Ketua Program Magister Komunikasi Universitas Jayabaya Jakarta
MEDIA INDONESIAPada: Jumat, 05 Jul 2019, 03:40 WIB



MINGGU (30/6) akhirnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia menetapkan Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019–2024. Penetapan itu mengakhiri silang sengketa perolehan hasil perhitungan suara (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK) yang diputuskan pada Kamis (27/6). 

Pascakeputusan MK dan bahkan penetapan KPU, tidak ada ucapan selamat dari Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno kepada pasangan terpilih. Paling tidak hal itu sebagai representasi usainya permainan politik di panggung pertunjukan pilpres, sejatinya disikapi dengan fairness. Barulah kemudian setelah heboh di medsos seusai menyatakan bahwa ucapan selamat itu sebagai tradisi kebarat-baratan, akhirnya Sandiaga mengucapkan selamat bekerja pada pasangan Jokowi-Amin.
Jerat kekuasaan
'Ketika kekuasaan ada di mana mana, kondisi resistensi terhadapnya ada di mana-mana', demikian apa yang pernah dinyatakan Foucoult( 1978) sering kali kekuasaan merupakan masalah dan tidak seorang pun berharap mengoperasikannya dalam cara tersebut. Akan tetapi, seusai penetapan KPU, politik pertunjukan dihebohkan kembali dengan berbagai kemungkinan yang diramalkan dan dibayangkan, terutama tentang bagi bagi kursi kekuasaan di pemerintahan bahkan jabatan politik lainnya.  
Riuh rendah permainan politik pilpres yang berubah menjadi pertarungan saking sengitnya arena pertunjukan itu, seolah dilupakan begitu saja. Kegerahan kader dan pendukung yang belum selesai di medsos, seolah-olah dibayangkan para elite politik akan selesai dengan mengakomodasi para penantang yang semula begitu sengit menghantam dan menyerang lalu menerima mereka untuk 'menyeberang'. Padahal menurut Faoucoult, tidak ada kehancuran yang radikal, yang ada ialah ledakan skala kecil yang terjadi dan mungkin menjadi besar karena kekuasaan yang diperebutkan.
Komedi dan tragedi politik dipertontonkan sepanjang pertarungan pilpres yang berbeda dari pileg, padahal pileg dilakukan serentak dengan pilpres, tetapi gaung pileg tidaklah sekencang dan seheboh gaung pilpres. Komedi dan tragedi yang terjadi sejak proses pencalonan, kampanye, dan penghitungan suara sampai pada penolakan kalah oleh Prabowo dan Sandiaga lalu bersidang di MK ialah sifat-sifat politik persis sama seperti yang pernah dikemukakan Baudrillard (1986) bahwa politik ialah hyperealitas. Tokoh yang bertarung ialah dunia bercitra yang diciptakan di layar pikiran pendukung. Karenanya, kekuasaan ialah simulakrum yang sempurna, dan semua rangkaian pilpres sungguh merupakan pembelajaran politik dan cara berdemokrasi yang autentik bagi seluruh rakyat.
Perilaku politik elite akan menjadi modelling bagi para pengikutnya, menjadi frame of referency bagi pertunjukan politik selanjutnya. Dengan demikian, kerja politik koalisi tidak boleh selesai ketika koalisi itu harus kalah atau menang dalam sebuah pertarungan politik. Politik sangat membutuhkan koalisi yang ditandai dengan loyalitas dan ideologis. Karena itu, komitmen koalisi seharusnya dibangun di atas narasi ideologis agar menjamin kukuhnya loyalitas.
Gonjang-ganjing tentang 'penyerang' yang akan 'menyeberang', mencerminkan lemahnya ideologi dalam koalisi. Karena itu, ia meruntuhkan loyalitas dan kesetiaan dalam berkoalisi, meski dalam politik tidak ada kesetiaan abadi karena kepentingan politiklah yang abadi. Namun, loyalitas itu akan menjaga roh koalisi yang ada agar tidak ditumpangi oleh anasir politik yang akan menggunting dalam lipatan, bahkan akan menjadi duri dalam daging. Hal itu akan menciptakan tragedi baru bagi koalisi.
Sudah cukup
Dilihat dari kuantitas dan kualitas koalisi, sebenarnya pembagian koalisi itu sudah mencukupi. Apalagi, kita juga membutuhkan adanya  check and balancing system untuk mengatur hubungan kewenangan antara eksekutif dan legislatif agar pemerintahan ini tidak salah arah dan bisa dikontrol dan tidak muncul kecenderungan untuk menjadi pemerintahan yang diktator. Yang jauh lebih penting dari semua itu ialah untuk menjaga konsistensi parpol yang berkoalisi, serta meredam konflik di akar rumput dari para pendukung. Sudah seharusnya tidak ada jembatan bagi penyerang untuk menyeberang.
Tidakkah menjadi bagian dari koalisi pemerintah itu terhormat, tetapi tidak menjadi bagian dari koalisi pemerintah juga akan lebih terhormat karena mampu mempertahankan konsistensi dan mempertaruhkan ideologi serta loyalitas dalam berkoalisi. Itu sehingga baik pemerintah maupun koalisi diluar pemerintah, dapat bekerja baik untuk sama-sama membuktikan kepada rakyat, mereka punya peran yang sepenuhnya dipersembahkan untuk kepentingan rakyat yang telah mempercayakan pilihannya kepada mereka.
Meski sering kali perilaku politik elite ialah konsisten untuk tidak konsisten, tetapi wacana politik yang dipertontonkan di panggung politik pertunjukan pilpres. Terutama tentang tamu terakhir yang tak pernah hadir dalam perjuangan koalisi yang sebelumnya bercucuran keringat nyaris berdarah darah, tiba-tiba disusupi penerjun bebas. Mereka yang semula demikian kukuh menyerang, tapi akhirnya ingin menyeberang, minta diterima sebagai tamu kehormatan. Tentu saja akan menyisakan kecewa di benak publik, baik pendukung si penyeberang maupun tuan rumah.
Sejatinya, panggung politik depan harus dipenuhi tataran ideologi dalam berkompetisi maupun berkoalisi. Itu jika asumsinya ialah tentang rekonsiliasi pascakerasnya kompetisi. Tidak juga yang semula beda koalisi harus berkoalisi, apalagi jika keseimbangan koalisi telah memadai. Biarkanlah rakyat dipertontonkan pertunjukkan politik eksekutif dan legislatif yang seimbang. Rakyat pun bisa menitipkan pesan politiknya kepada koalisi yang mengawasi kerja pemerintah untuk mewujudkan semua janji kampanyenya.
Bila terjadi, check and balancing system akan menjadi realitas politik yang bisa membuat seluruh rakyat memberikan apresisi positif, baik kepada koalisi pemerintah maupun koalisi di luar pemerintah. Elite politik harus mencatat dari diary ketatanegaraan yang dilakoninya bahwa mereka seharusnya sukses menjadi bagian dari tiap peran yang dipilihnya.
Kerja sama politik yang penuh keadaban tetap bisa dipertontonkan dengan menjadi bagian dari koalisi yang mengkritisi pemerintah secara konstruktif, sekaligus tetap bisa bekerja sama jika pemerintah melakukan kerja besar untuk kepentingan rakyat. Pemerintah juga tetap menempatkan koalisi di luar pemerintah sebagai pengontrol yang mengingatkan pemerintah agar kerja keras untuk memenuhi amanat konstitusi tidak melenceng. Tentu saja tanpa harus menyeberangkan si penyerang atau menerima penyerang untuk menyeberang. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar