Ekonomi digital, salah satu dari 15 paket aksi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), merupakan topik pembahasan yang hangat dibicarakan dalam pertemuan The Inclusive Framework on BEPS (IF BEPS) yang beranggotakan 129 yurisdiksi. Hal ini disebabkan adanya muatan kepentingan yang sangat luas, khususnya dalam membagi hak pemajakan atas penghasilan secara adil antara yurisdiksi sumber, yaitu tempat di mana penghasilan timbul, dan yurisdiksi domisili, yaitu tempat di mana penerima penghasilan terdaftar.

Hal lain adalah akan segera berakhirnya batas waktu penyampaian laporan akhir bagi Task Force on Digital Economy (TFDE) kepada IF BEPS, yaitu akhir 2020, dan selanjutnya akan diambil keputusan bersama (global concensus).
Ibarat berpacu dengan waktu, dalam rapat ketujuh pada 28-29 Mei 2019, IF BEPS mengajukan dua pilar sebagai alternatif solusi pemajakan global atas transaksi ekonomi digital, dan selanjutnya sudah disusun dan disetujui sejumlah program kegiatan ke depan hingga rapat berikut dengan tujuan untuk mendalami tiap-tiap pilar itu. Pada hakikatnya kedua alternatif pilar ini merupakan penggabungan dari empat proposal yang diterima dan dibahas dalam pertemuan keenam IF BEPS.
Pada intinya, pilar pertama berisi tiga proposal yang diusulkan oleh tiga pihak yang berbeda, yakni Inggris mengusulkan pendekatan user participation, Amerika Serikat (AS) mengusulkan pendekatan marketing intangible, dan kelompok G-24 memilih pendekatan significant economic presence.
Ketiga proposal ini menekankan pada penyempurnaan batasan suatu bentuk usaha tetap (BUT) untuk melindungi hak pemajakan dari yurisdiksi sumber. Sebab, berdasarkan aturan yang ada saat ini, jika tak ada BUT (permanent establishment), maka tak ada hak pemajakan atas laba usaha (business profits), atau sering disebut No PE No Tax.
Ketiga proposal sepakat bahwa syarat diperlukannya kehadiran fisik bagi sebuah BUT tak relevan lagi karena sudah dapat digantikan dengan kehadiran digital. Dalam pembahasan batasan suatu BUT itu, ada dua isu utama yang ditinjau ulang, yaitu penentuan nexus dan cara alokasi laba usaha secara adil.
Pembahasan pilar pertama diperkirakan akan menarik karena ada tiga konsep mengenai BUT dari sudut pandang yang berbeda. User participation menekankan pentingnya peran pengguna aktif dalam menciptakan nilai bagi perusahaan. Pendekatan user participation percaya bahwa pengguna yang terlibat secara aktif dalam platform ekonomi digital akan meningkatkan nilai dari platform terkait.
Dengan demikian, negara di mana para pengguna tersebut berada berhak mendapatkan bagian pajak dari penghasilan yang dihasilkan oleh platform.
Pendekatan marketing intangible sebenarnya mirip dengan pendekatan user participation. Bedanya adalah marketing intangible menggunakan proxy penciptaan nilai (value creation) yang berbeda. Sesuai namanya, pendekatan marketing intangible meyakini bahwa penciptaan nilai telah terjadi apabila suatu upaya memasarkan intangibles, seperti merek dagang, dilakukan, terlepas dari ada atau tak adanya kehadiran fisik di yurisdiksi tersebut.
Pendekatan terakhir adalah significant economic presence. Pendekatan ini menganggap kehadiran ekonomis yang signifikan cukup untuk memberikan hak pemajakan bagi yurisdiksi yang bersangkutan, tanpa perlu menguji adanya kehadiran fisik. Kehadiran ekonomis yang signifikan dapat ditentukan dengan menggunakan berbagai alternatif proxy, seperti basis pengguna, jumlah konten digital, jumlah tagihan, perawatan situs web, pengiriman akhir barang atau jasa, dan aktivitas pemasaran/promosi penjualan. Dengan demikian, pendekatan significant economic presence dinilai memiliki cakupan lebih luas dari dua pendekatan lain.
Selain perlu pemahaman mendalam, perlu disepakati kriteria apa yang dibutuhkan dalam menentukan nexus sehingga pelaksanaannya adil, sederhana, jelas, tidak menimbulkan multitafsir, dan memberikan kepastian hukum. Selain itu, penting dirumuskan suatu metode alokasi laba usaha secara fair dan proporsional, tetapi sederhana dan tidak rumit untuk menghindari timbulnya sengketa pajak di kemudian hari.
Selanjutnya, pilar kedua yang berasal dari proposal Jerman dan Perancis lebih fokus pada meminimalkan dampak BEPS atau sering disebut Global Anti-BEPS.
Sangat kompleks
Persoalan BEPS sangat kompleks karena karakter transaksi ekonomi digital yang tak mengenal batas waktu dan ruang serta tak kasatmata telah menimbulkan beban administrasi bagi otoritas pajak dalam melindungi basis pemajakannya.
Global Anti-BEPS mengusulkan dua solusi atas permasalahan ini. Pertama, menerapkan tarif pajak minimum (income inclusion rule), yakni pengenaan pajak penghasilan kepada entitas luar negeri jika atas penghasilan itu hanya dikenai tarif pajak efektif yang rendah. Solusi kedua, pengenaan pajak atas pembayaran yang menggerus basis pemajakan (tax on base eroding payments), yakni otoritas pajak diberi hak untuk mengoreksi biaya atas pembayaran tertentu kecuali terhadap pembayaran itu telah dikenai tarif pajak efektif minimum atau lebih tinggi.
Kedua alternatif pilar tersebut dibahas secara terpisah dan mendalam pada setiap kelompok kerja terkait yang ada di Centre of Tax Policy OECD. Dalam pembahasan juga mengikutsertakan perwakilan anggota IF BEPS, organisasi internasional, dunia usaha, dan akademisi. Dalam pembahasan kedua alternatif pilar ini tak tertutup kemungkinan kedua pilar tersebut digabungkan menjadi alternatif solusi yang baru.
Hasil pembahasan tiap-tiap pilar akan dilaporkan pada pertemuan kedelapan IF BEPS yang dijadwalkan pada Januari 2020 di Kantor Pusat OECD di Paris. Diharapkan pada pertemuan ini konsep norma dan standar pemajakan global atas penghasilan dari kegiatan ekonomi digital akan semakin jelas sehingga batas waktu penyusunan dan penyampaian laporan akhir di tahun 2020 dapat dipenuhi.
John Hutagaol ; Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan; Ketua Kompartemen Perpajakan Ikatan Akuntan Indonesia