Selasa, 14 Mei 2013

Lupa Bahaya Laten Nepotisme


Lupa Bahaya Laten Nepotisme
Asmadji AS Muchtar ;  Dosen Pascasarjana UII Yogyakarta
JAWA POS, 14 Mei 2013


DAFTAR caleg sementara (DCS) untuk Pemilu 2014 ternyata banyak diwarnai munculnya nepotisme. Hal itu mengingatkan pada Pemilu 1994 yang juga banyak diwarnai caleg nepotisme. Karena itu, DPR hasil Pemilu 1994 dipenuhi wajah yang masih punya hubungan keluarga. Terpiculah gerakan reformasi besar-besaran pada Mei 1998 yang berhasil mengakhiri rezim Orde Baru yang identik dengan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). 

Layak diingat, gerakan reformasi, antara lain, bertujuan untuk melenyapkan nepotisme politik yang menjadi biang keladi merajalelanya kolusi serta korupsi yang bermuara pada ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketika korupsi dan kolusi belum berhasil diberantas, kini banyak elite politik yang sudah ''melupakan'' nepotisme, sehingga muncul dalam pencalegan.

Cepat atau lambat, jika nepotisme caleg tidak segera dihapus dari DCS, ditambah politik dinasti, bisa muncul aksi penolakan yang luas sebagaimana menjelang berakhirnya rezim Orde Baru. Hal itulah yang layak dianggap bahaya laten karena risikonya bisa sangat mahal bagi bangsa dan negara kita.

Kita layak khawatir, penolakan yang meluas terhadap nepotisme politik bisa diwarnai kekerasan dan keberingasan, sehingga fenomena kerusuhan dan kemelut politik nasional bisa kembali meruntuhkan citra bangsa serta negara kita di mata dunia. Pada titik ini, modal sosial politik dan ekonomi bisa merosot tajam, bahkan ke titik nadir.

Pengalaman reformasi 1998 harus menjadi guru yang baik. Artinya, jangan sampai kemelut politik karena penolakan nepotisme (sebagai biang merajalelanya kolusi dan korupsi) menimbulkan kerusuhan yang diwarnai pelanggaran hak asasi manusia.

Masih segar dalam ingatan kita, setelah terjadi penembakan mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998, kerusuhan meluas pada 13-15 Mei. Betapa gedung-gedung di Jakarta yang hangus juga diwarnai dukacita meluas karena ikut terbakarnya warga yang notabene rakyat kecil yang tidak tahu-menahu urusan politik. Artinya, kemelut politik karena nepotisme (plus korupsi dan kolusi) bisa menelan korban anak-anak bangsa sendiri. 

Sampai kini, sejumlah korban tragedi politik yang menyertai reformasi 1998 masih belum sembuh dari trauma. Bahkan, beberapa di antara mereka masih berada di luar negeri dan belum juga berani kembali pulang ke tanah air lantaran menderita trauma yang sangat berat. 

Jika nepotisme politik yang kini bermunculan tidak segera dianulir, gerakan reformasi kedua mungkin segera digulirkan. Dalam hal ini, elemen-elemen mahasiswa yang kecewa dan kesal terhadap jajaran elite politik bisa bersinergi dengan elemen-elemen aktivis yang selama ini kritis dan bisa didukung massa yang sudah semakin melek politik. 

Gerakan Reformasi Kedua 

Layak diwaspadai, jika gerakan reformasi kedua sampai berkembang dan memuncak pada 2014, proses pemilu berpotensi terancam dalam arti luas. Dalam hal ini, kemelut politik bisa berlangsung sedahsyat-dahsyatnya, sehingga bukan tidak mungkin membuka kesempatan bagi militer untuk turun tangan mengatasi keadaan. 

Kini militer harus dianggap sebagai satu-satunya institusi yang paling solid di negeri ini. Selain itu, kini makin banyak mantan petinggi militer yang berada di partai-partai besar yang mendominasi peta politik. Dalam kondisi demikian, militer yang masih aktif dan yang sudah purnawirawan bisa bersinergi untuk memberlakukan keadaan darurat manakala kemelut politik karena gerakan reformasi kedua betul-betul berlangsung berlarut-larut. 

Dengan kata lain, gerakan reformasi kedua harus dicegah dengan cara menganulir nepotisme politik. Artinya, nepotisme caleg untuk Pemilu 2014 harus dihapus partai masing-masing tanpa menunggu munculnya aksi-aksi penolakan yang meluas dari banyak elemen bangsa. 

Dalam logika politik, nepotisme caleg merupakan kesalahan dini yang dilakukan partai-partai. Dengan demikian, jika muncul aksi penolakan dari elemen bangsa, ujung-ujungnya partai-partai yang membiarkan diri beraroma nepotisme akan merugi. 

Karena itu, dalam bahasa lugas, partai-partai yang sengaja mencitrakan diri sebagai partai nepotis sama dengan mengajak bangsa ini untuk bunuh diri bersama. Itulah bahaya laten yang paling mengerikan. Sebab, ujung-ujungnya bisa mengundang pihak yang paling kuat seperti militer untuk mengambil alih kekuasaan yang berarti sama dengan matinya demokrasi di negeri ini. 

Bagi kalangan sipil, tentu menakutkan jika sampai militer mengambil alih kekuasaan karena kemelut politik berlarut-larut. 

Kini banyak elemen sipil yang masih trauma terhadap kekejaman tangan-tangan militer yang pernah dimanfaatkan rezim Orde Baru. Kasus-kasus orang hilang atau pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan tangan-tangan militer pernah menjadi teror sekaligus horor yang sangat menakutkan bagi elemen sipil pada era Orde Baru. Dalam era reformasi, meski dalam skala lokal, elemen sipil masih sering juga diteror karena adanya kasus-kasus pelanggaran hak asasi yang melibatkan tangan-tangan militer. 

Kini kita pantas sangat khawatir terhadap bakal munculnya aroma militerisme terkait dengan nepotisme politik. Sebab, nepotisme politik juga merebak di tubuh partai yang dipimpin mantan petinggi militer, sehingga tidak menutup kemungkinan dikawal secara diam-diam oleh pihak militer. 

Dengan kata lain, munculnya nepotisme caleg saat ini bukan tidak mungkin merupakan embrio dominasi politik yang hendak melibatkan militer untuk lebih banyak berperan dalam ranah politik, meski secara samar-samar. Apalagi, mulai muncul keinginan militer dilibatkan lagi dalam mengurusi tertib sipil.

Pendek kata, bahaya laten nepotisme caleg tidak boleh dianggap remeh karena berpotensi memicu gerakan reformasi kedua yang bisa menimbulkan kemelut politik yang ujung-ujungnya sama dengan mengundang militer masuk ke ranah politik yang bisa membuat demokrasi mati muda di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar