|
REPUBLIKA,
11 Mei 2013
Hawa
dingin sore itu menusuk tulang. Peralihan musim gugur menuju musim dingin
ternyata tak seindah tayangan film-film Hollywood. Namun, layaknya seorang mahasiswa
baru yang selalu antusias melihat suasana di sekitar, tantangan cuaca tetap dilalui
dengan semangat. Perjalanan tapak demi tapak pada hari-hari pertama di pusat
Kota Oxford adalah momen yang tak boleh dilewatkan.
Sebagai
mahasiswa baru pada semester Michaelmas, Universitas Oxford, keinginan penulis
mengenal diaspora Indonesia pun menggebu-gebu. Oleh karena itu, tatkala penulis
bertemu dengan rekan mahasiswa sebangsa, banyak pertanyaan dilontarkan. Salah
satunya mengenai pertemuan-pertemuan yang mereka adakan.
Tanpa
menunggu lama, informasi rencana silaturahim sahabat-sahabat perantauan di kota
pendidikan ternama dunia ini langsung beroleh jawaban.
Suasana berbeda sangat terasa ketika penulis ingin bertemu dengan sahabat-sahabat
dari Papua. Dalam sebuah kesempatan pertemuan masyarakat, seorang rekan
menyebutkan bahwa sahabat-sahabat dari Papua memiliki perkumpulan ala diaspora
Indonesia lainnya.
Namun,
ketika penulis bertanya apakah memungkinkan bergabung dengan pel- bagai kegiatan
mereka, rekan tersebut tidak dapat menjanjikan. Ternyata, sampai pada penghujung
studi satu tahun kemudian, niat ini tak pernah terealisasikan.
Sahabat dari Papua
Lambat
laun, penulis menyadari bahwa perkumpulan sahabat-sahabat Papua di Kota Oxford
cenderung bersifat politis. Harapan utama mereka adalah pemisahan Papua dari
Republik Indonesia. Dan, jika ditelaah lebih mendalam, mereka merupakan bagian
dari sebuah desain besar pemerdekaan Papua yang kini lazim dikenal dengan
sebutan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Sebagai
mahasiswa di Oxford, penulis tidak melihat ada hal luar biasa dari upaya
kampanye para sahabat dari Papua. Oxford, dengan ikon utamanya Universitas
Oxford yang berdiri sejak 1096, adalah kota akademis yang menjunjung kebebasan
berekspresi. Sejumlah tokoh dunia yang dianggap terzalimi di negara asal mereka
kerap diundang untuk berbagi kepada komunitas intelektual yang haus informasi
dari `sumber pertama'.
Namun
demikian, dalam konteks upaya separatisme, upaya sahabat-sahabat Papua di
Oxford tampaknya tidak terlalu mengundang simpati. Pengalaman penulis
menunjukkan bahwa mereka relatif menutup diri dari diaspora Indonesia lainnya. Tidak
terlihat adanya upaya membuka pintu dialog atau bahkan sekadar untuk menyapa.
Pintu bertemu dengan rekan sebangsa seolah tertutup rapat. Tujuan mereka
menjadi terang benderang: katakan `tidak' pada Indonesia, dan `merdeka' bagi
Papua.
Fenomena
para sahabat Papua terasa berbeda tatkala penulis melanjutkan studi di Canberra,
salah satu kota pendidikan ternama di Australia. Di kota ini, sahabat-sahabat
dari Papua relatif membuka diri. Pandangan-pandangan mereka sejatinya tak kalah
tajam dengan para sahabat Papua di Kota Oxford.
Adapun yang terlihat membedakan adalah adanya kesediaan untuk berdialog khususnya mengenai dimensi hak asasi manusia (HAM) dan kesejahteraan bagi warga Papua. Dan, harus diakui hal ini memang salah satu pekerjaan rumah Indonesia.
Adapun yang terlihat membedakan adalah adanya kesediaan untuk berdialog khususnya mengenai dimensi hak asasi manusia (HAM) dan kesejahteraan bagi warga Papua. Dan, harus diakui hal ini memang salah satu pekerjaan rumah Indonesia.
Kantor OPM di Oxford Pembukaan Kantor OPM di Kota Oxford belum lama ini memang
terasa mengejutkan. Lebih mengejutkan lagi karena acara pembukaan kantor tersebut
turut dihadiri Wali Kota M Niaz Abbasi dan beberapa tokoh publik
lainnya. Ini seakan menunjukkan adanya dukungan resmi dari Pemerintah
Inggris sekalipun bersifat lokal.
Pemerintah
Persemakmuran Inggris memang sigap merespons dengan menyatakan bahwa tindakan
Wali Kota Oxford merestui Kantor OPM bukanlah sikap resmi Pemerintah Inggris.
Namun, status kehormatan `Lord Mayor' yang dipegang sang wali kota, yang
notabene diperoleh (granted) dari
Ratu Inggris, layak membuat kita bertanya-tanya. Jika Wali Kota Oxford
adalah pemimpin lokal yang dihormati Ratu selaku Kepala Negara, apakah semudah
itu menyatakan bahwa tindakan sang wali kota terlepas sama sekali dari Pemerintah
Persemakmuran? Kenyataan ini perlu dilihat secara lebih mendalam.
Pemerintah
dan bangsa Indonesia layak prihatin dan sudah seharusnya menyatakan
ketidaksenangan atas kejadian ini. Menunjukkan dukungan, sekalipun hanya dengan
sekadar hadir, pada gerakan separatisme yang berpotensi memecah-belah suatu
bangsa sudah dapat menjadi pemicu ketidakharmonisan hubungan antarbangsa.
Inggris seyogianya sudah memahami sensitivitas Indonesia dalam konteks
tersebut.
Pertanyaannya
adalah sikap apakah yang layak dituntut Indonesia kepada Inggris? Secara
sederhana, hal paling diharapkan adalah permohonan maaf Wali Kota Oxford atas
sikapnya yang gegabah. Karena bagaimanapun, sikapnya yang mungkin dianggap
biasa ternyata sangat berpotensi merusak tatanan hubungan antarnegara. Sekiranya
Wali Kota Oxford bersedia memohon maaf, Pemerintah Inggris tentu tak perlu
bersusah payah untuk meyakinkan Indonesia. Adapun eksistensi Kantor OPM di
Oxford, sejauh tidak mendapatkan pengakuan resmi dari otoritas setempat, cepat
atau lambat mereka akan merasakan bahwa upaya separatisme ini sia-sia belaka.
Sebaliknya,
jika Wali Kota Oxford tak kunjung meminta maaf dan Pemerintah Inggris memilih
mendiamkan sikap sang wali kota, hal itu justru dapat mendegradasikan derajat
hubungan bilateral yang telah susah payah dibangun. Dalam hal ini, mengingat
tingginya sensitivitas atas isu Papua, besar kemungkinan Indonesia lebih
mementingkan sentimen dalam negeri dibanding jalinan persahabatan yang
menggunting dalam lipatan. Dengan kata lain, pilihan sepenuhnya berada di
tangan Inggris. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar