Senin, 13 Mei 2013

Nonlinear


Nonlinear
Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 12 Mei 2013


Dulu, almarhum Mbah Ranu, pakdenya almarhum ayah saya, pernah mengatakan kepada saya (semasa saya masih sekolah) bahwa kalau mau maju, kita harus sekolah, kuliah, jadi dokter, insinyur, doktorandus (waktu itu maksudnya: SE, seperti Bung Hatta), atau mister in de rechten (sekarang: SH). 

Memang pada masa beliau muda, orang yang bisa mengikuti jalur pendidikan formal (dan itu jarang sekali untuk orang pribumi) sudah pasti mencapai kemuliaan di masa depannya (gaji besar, fasilitas, pensiun dsb). Itulah yang dinamakan berpikir linier (garis lurus). Di dunia pendidikan, berpikir linier masih berlaku sampai sekarang. Maka anak-anak dipaksa ranking 1, lulus UN, masuk perguruan tinggi negeri favorit dan jadi PNS (pegawai negeri sipil) atau sekarang ditambah alternatif lain, jadi PSS (pegawai swasta sipil), dengan pangkat tinggi, gaji besar, mobil mewah, rumah tingkat, istri cantik (boleh lebih dari satu kalau mau). 

Untuk pola pikir seperti ini, anak harus melepas hobinya, di kelas 6, 9 dan 12 tidak lagi ekskul-ekskulan. Semua belajar, les bimbel dan belajar lagi, sampai stres, malah ada yang bunuh diri segala. Padahal almarhum Uje (alm Ustad Jefri Al Buchori) wafat di puncak kemuliaan (termasuk secara finansial juga sukses), tanpa sekolah tinggi-tinggi, malah pernah jadi berandalan. Ilmu ekonomi sami mawon. 

Di zaman saya kuliah di FEUI, ada jurusan ekonomi pembangunan yang kerjanya menganalisis perkembangan perekonomian negara (ekonomi makro) dan jurusan Ekonomi perusahaan, yang mempelajari perusahaan (ekonomi mikro) untuk membuat prediksi-prediksi masa depan, yang ternyata banyak salahnya. Di tahun 1970-an, belum ada prediksi bahwa Cina akan menjadi raksasa ekonomi dan di krisis moneter tahun 1998 banyak perusahaan raksasa ambruk, sedangkan usaha-usaha kecil bertahan, bahkan maju sampai sekarang. 

Karena itu, ilmu ekonomi sekarang berbalik ke ilmu manajemen agar lebih bisa menangani perekonomian masa kini dan masa depan yang nonlinier. Bahkan, alam pun sudah tidak linear lagi. Semasa saya kecil, musim hujan adalah bulan-bulan berakhiran “ber” (September-Desember), sekarang Mei masih hujan. Sejak zaman kuno, Mekkah tidak pernah hujan, sekarang (2013) malah hujan es. Tetapi tidak hanya dalam ilmu. 

Dalam kehidupan sehari-hari pun, kita tidak bisa lagi mendasarkan pada prediksi linier. Mereka yang ingin punya mobil, misalnya, tetapi belum punya duit, tidak bisa lagi menabung seperti yang dilagukan oleh Titiek Puspa, “Bing beng bang; Yok kita ke bank; Bang bing bung; Yok kita nabung; Tang ting tung hey; Tau tau kita nanti dapat untung”. Dengan menabung, bukannya dapat untung, malah buntung, karena sesudah duit ngumpul, ternyata si mobil sudah naik harganya. Jadi mendingan kita kredit saja. Orang sekarang bilang, kredit sama juga dengan menabung mundur (barangnya dapat duluan, baru nabung). 

Sayang sekali, bangsa Indonesia tidak disiapkan untuk mengantisipasi perkembangan peradaban yang nonlinier ini. Sistem UN yang tersentralisasi dan seragam untuk seluruh Indonesia membuktikan masih sangat kuatnya cara berpikir linier di kalangan pembuat kebijakan pendidikan di Indonesia. Hasilnya banyak orang pintar yang dihasilkan, tetapi orang-orang pintar itu (termasuk mendikbud) malah kebingungan kalau harus menjelaskan mengapa banyak sekali orang nekat melakukan kecurangan dalam melaksanakan UN. 

Bukan hanya murid dan orang tua murid, kepala sekolah dan guru pun tidak sedikit yang terlibat. Di zaman sekarang, di jaman nonlinier ini, orang harus disiapkan untuk berpikir alternatif dan kreatif. Sejak zaman Kartini, perempuan Indonesia sudah mendapat pendidikan setara dengan laki-laki. Tetapi anak-anak laki-laki kita, sejak kecil, terus saja dididik dengan doktrin linier, yaitu bahwa lelaki lebih dari perempuan. Akibatnya ketika mereka menikah, banyak terjadi perceraian, karena para suami tidak bisa menerima bahwa istrinya lebih pandai atau lebih sukses dari suami.

Agama pun harus kreatif. Agama harus bisa menjawab masalah-masalah sosial-budaya dan teknologi, dengan jawaban-jawaban yang bisa diterima oleh logika nonlinier. Tentang pergaulan bebas, misalnya, pemuka-pemuka agama harus menemukan jawaban yang bukan hanya sekadar “hindari zina”, melainkan harus jelas mengapa zina itu harus dihindari, apa bahayanya kalau pergaulan bebas berlanjut kepada hubungan seks yang tidak aman, apa bahayanya aborsi, apa risikonya kehamilan muda dan ATD (anak tidak dikehendaki) dan seterusnya. Jadi pendidikan agama yang nonlinier, harus melebar ke pendidikan seks. Tanpa pendidikan seks, orang terus saja berhubungan seks tanpa nikah, walaupun ibadahnya tidak berkurang.

Rabu 8 Mei terjadi penyergapan teroris oleh Densus 88 di Kabupaten Bandung. Terjadi tembak-menembak selama lebih dari tujuh jam, sebelum akhirnya para teroris tertangkap atau tewas. Bahkan saat tulisan ini dibuat, masih berlangsung tembak-menembak polisi kontra teroris di Kebumen. Mereka yang berpikir linear mengira bahwa sejak Osama bin Laden terbunuh, maka tamat sudah riwayat Al- Qaeda, sehingga terorisme di Indonesia yang terorganisasi (JI, JAT, KOMPAK dll) tamatlah sudah. 

Ancaman berikutnya datang dari teroris individual sebagai hasil self radicalization (terjadi juga di bom Boston), sehingga Densus 88 sudah bisa dibubarkan dan fungsinya cukup digantikan oleh polmas (polisi masyarakat) saja. Kenyataannya, teroris Bandung diduga berasal dari suatu jaringan teroris di bawah komando Abu Omar. Kalau ini benar, alangkah berbahayanya kalau kita terus berpikir linier. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar