|
KOMPAS, 08 Mei 2013
Pemilihan umum hampir selalu menjadi momentum
bagi partai politik dan politisi untuk ”bersolek” dalam rangka merebut simpati
pemilih. Namun, ada fenomena baru menjelang Pemilu 2014, yakni semakin maraknya
politisi yang pindah parpol. Mengapa dan bagaimana kita menyikapinya?
Tidak terhitung sudah berapa banyak politisi
parlemen dan juga politisi nonparlemen yang akhirnya berlabuh ke lain hati.
Beberapa yang bisa disebut antara lain Enggartiasto Lukita yang mundur dari
Partai Golkar dan masuk ke Partai Nasdem, Akbar Faisal dari Partai Hanura juga
ke Partai Nasdem, dan Misbakhun (PKS) berlabuh ke Partai Golkar.
Belum ada data akurat tentang jumlah politisi
yang pindah ke parpol lain menjelang pemilu mendatang. Yang jelas, jumlahnya
cukup banyak. Belum lagi mereka yang bergabung ke parpol lain lantaran
partainya gagal lolos verifikasi sebagai parpol peserta Pemilu 2014.
Di tingkat lokal, perpindahan parpol juga
terjadi menjelang dan pascapemilihan kepala daerah secara langsung. Sejumlah
kepala dan wakil kepala daerah dari beragam parpol berbondong-bondong masuk ke
Partai Demokrat begitu parpol yang didirikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
ini memenangi Pemilu 2009.
Tidak layak dipilih
Sebagian calon kepala daerah pindah ke parpol
lain lantaran tidak diusung parpol asal. Fenomena yang sama tampak di DPRD
provinsi dan kabupaten serta kota. Mereka mundur sebelum menyelesaikan masa
jabatannya sebagai legislator agar bisa menjadi calon anggota legislatif dari
parpol lain.
Kemunculan tokoh populer baru, atau parpol
baru yang dianggap lebih menjanjikan, dan kekecewaan terhadap parpol lama, pada
umumnya melatarbelakangi perpindahan tersebut. Ironisnya, perilaku pindah
parpol dianggap sebagai hal yang wajar oleh yang bersangkutan, padahal hal itu
jelas merupakan fenomena yang tidak sehat bagi perkembangan demokrasi kita.
Dampaknya, sikap pragmatis dan oportunistis
di kalangan politisi pun semakin marak. Politik sebagai perjuangan luhur
mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan kolektif akhirnya berhenti
sebagai retorika belaka.
Pilihan atas sebuah parpol pada dasarnya
adalah sikap dan jalan hidup, yakni pengabdian tanpa pamrih bagi kebajikan dan
kemaslahatan kolektif. Sikap dan jalan hidup seperti itu semestinya menjadi
pilihan tanpa kompromi para politisi jika mereka bertolak dari filosofi
berpartai dan konsisten dengan haluan perjuangan parpol yang bersangkutan.
Jika seorang politisi menghargai keyakinannya
untuk berjalan lurus di atas haluan perjuangan parpol, seharusnya pindah parpol
disikapi sebagai perilaku ”tabu” dan bahkan ”haram”. Sangat mengherankan
apabila para politisi kita begitu ringan hati berpindah parpol seolah-olah
perilaku demikian sebagai hak politik dan tindakan yang lumrah.
Mereka lupa, para pemilih pemberi mandat
dalam pemilu dan atau pilkada juga memiliki hak untuk dihargai dan bahkan
diperjuangkan aspirasi dan kepentingannya. Para politisi yang pernah terpilih,
entah sebagai anggota parlemen (di pusat dan daerah) ataupun kepala dan wakil
kepala daerah, pada dasarnya bukanlah siapa-siapa tanpa konstituennya.
Karena itu, dari sudut pandang para
konstituen, perilaku pindah parpol harus dibaca sebagai penghinaan sekaligus
pengkhianatan yang tidak bisa ditoleransi sehingga tidak layak untuk dipilih
lagi dalam pemilu dan atau pilkada berikutnya.
Pragmatis dan oportunistis
Dalam batas-batas tertentu, terutama ketika
perjuangan politisi mewujudkan visi dan haluan parpol selalu ”mentok” alias
gagal di parlemen dan atau pemerintahan, fenomena politisi pindah parpol
barangkali bisa dipahami. Atau, sekurang-kurangnya jika para petinggi parpol
mengkhianati haluan perjuangan parpol mereka sendiri, wajar ada politisi yang
kecewa dan akhirnya pindah ke parpol lain yang dianggap lebih konsisten dengan
haluan perjuangannya.
Namun, dalam realitasnya di negeri kita sejak
era Reformasi, hampir belum pernah ada politisi yang pindah parpol karena
alasan kekecewaan secara ideologis. Sebagian politisi pindah parpol lantaran
tidak memperoleh tempat dan posisi layak dalam parpol lama, atau tidak
mendapatkan kesempatan meraih kekuasaan yang lebih besar dalam parpol
sebelumnya.
Sebagian lagi pindah parpol karena tidak
diprioritaskan sebagai caleg di parpol asal, atau mungkin berselisih pendapat
dengan pemimpin parpol.
Fenomena pindah parpol karena sikap pragmatis
dan oportunistis politisi seperti ini jelas tidak sehat bagi upaya
institusionalisasi parpol dan demokrasi kita.
Konsekuensi logis dari maraknya fenomena
pindah parpol adalah semakin lemahnya akuntabilitas politisi terhadap
konstituen dan rakyat kita. Karena itu, wajar tingkat kepercayaan publik
terhadap parpol dan para politisi parpol cenderung terus merosot dari pemilu ke
pemilu berikutnya.
Kontrak politik
Mengapa fenomena pindah parpol hampir selalu
berulang menjelang pemilu dan pilkada? Salah satu faktor penyebabnya adalah
tidak ada ikatan secara institusional antara para kandidat legislator, juga
pasangan calon dalam pilkada, dan konstituen mereka. Rakyat selaku pemberi
mandat politik hanya memperoleh janji-janji surga pepesan kosong yang tidak
bisa ditagih dari para kandidat yang kemudian terpilih sebagai pejabat publik.
Barangkali, di sinilah letak kelemahan format
pemilu dan pilkada kita, yakni tidak adanya mekanisme bagi publik untuk
menggugat para wakil dan pejabat publik terpilih yang kinerja dan
akuntabilitasnya buruk.
Akibatnya, para wakil rakyat di DPR, DPD, dan
DPRD serta kepala dan wakil kepala daerah dengan ringan langkah mundur di
tengah masa jabatan mereka ataupun pindah parpol tanpa merasa berdosa.
Karena itu, sebelum para calon anggota
legislatif ditetapkan secara final oleh Komisi Pemilihan Umum, ada baiknya
berbagai elemen publik menginisiasi suatu kontrak politik dengan para politisi
agar konsisten dan tidak lari dari tanggung jawab. Sudah tiba waktunya kita
mendidik para politisi parpol agar lebih bertanggung jawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar