|
KOMPAS, 08 Mei 2013
Dalam tulisan berjudul ”Ujian Nasional”
(Kompas, 2/5), Jusuf Kalla menyampaikan beberapa argumentasi yang
melatarbelakangi dan tujuan Ujian Nasional.
Sebagai penggagas UN, Pak JK tentu saja
sangat menguasai filosofi dan konsepsi UN sehingga sampai pada kesimpulan bahwa
karut-marut UN 2013 hanya masalah teknis belaka dan dapat dengan mudah
diperbaiki. Saya ingin menanggapi tulisan tersebut dalam tiga hal.
Pertama, tentang tujuan UN yang diadakan
untuk mengukur standar mutu pendidikan di Indonesia. Meskipun secara konsepsi
dan logika sederhana UN dapat dijadikan sebagai alat untuk mengukur mutu
pendidikan, baik dengan cara membandingkannya dengan masa lalu maupun negara
lain, UN bukanlah satu-satunya ukuran.
Secara berkala, Organisasi untuk Kerja Sama
Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mengukur mutu pendidikan di suatu negara melalui
Programme for International Students Assessment (PISA) yang mengukur tiga
kemampuan pokok, yaitu membaca, matematika, dan sains. Bagaimana posisi
Indonesia?
Hasil PISA dalam empat tes terakhir (2000,
2003, 2004, dan 2009) secara konsisten menunjukkan, mutu pendidikan di
Indonesia jauh di bawah rata-rata OECD. Bahkan, hasil tes tahun 2009
menunjukkan, Indonesia berada di bawah Kamboja.
Pengukuran lain adalah Trends in International Mathematics and
Science Study (TIMSS) dan Progress in
International Reading and Literacy Study (PIRLS) yang dilakukan oleh International Study Center-Boston College
USA. Sama dengan PISA, TIMSS dan PIRLS juga menguji kemampuan membaca,
matematika, dan sains. Hasil uji tahun 2011 menunjukkan, Indonesia jauh di
bawah rata-rata dunia.
Rata-rata nilai untuk siswa Indonesia (dan
rata-rata dunia) untuk membaca, matematika, dan sains berturut-turut adalah: 33
(55), 24 (41), dan 28 (42). Lagi-lagi Indonesia berada di bawah Kamboja dan
Palestina. Apakah hasil ini tidak cukup sebagai tolok ukur pemerintah?
Penyimpangan tujuan
Kedua, disampaikan bahwa sejak dimulainya UN
tahun 2002 hingga saat ini sudah terjadi peningkatan mutu, dilihat dari
peningkatan batas kelulusan (passing
grade) dari tahun ke tahun. Pertanyaan yang perlu kita ajukan adalah apakah
hasil UN tersebut sudah cukup tepercaya?
Di samping santernya informasi tentang
kebocoran dan perjokian, sudah menjadi rahasia umum tingkat kelulusan UN
dijadikan salah satu indikator kinerja pimpinan daerah. Gubernur, bupati/wali
kota, kepala dinas, kepala sekolah, hingga guru akan berusaha sekuat tenaga agar
hasil UN di wilayahnya terlihat tinggi. Hal ini memicu terjadinya penyimpangan
tujuan, yang berimplikasi pada praktik penyelenggaraan UN yang manipulatif.
Alih-alih meningkatkan mutu pendidikan,
segenap pihak yang terkait dengan ”kesuksesan” UN menghalalkan semua cara untuk
mendongkrak nilai UN. Dengan demikian, UN bukan lagi ujian bagi siswa,
melainkan berubah menjadi tujuan politik, terutama bagi para pejabat daerah,
kepala sekolah, dan perwakilan birokrasi pendidikan di daerah.
Ketiga, jika hasil UN dijadikan sebagai
instrumen kebijakan untuk pembangunan sektor pendidikan, apakah sudah ada bukti
bahwa sekolah yang memiliki rata-rata nilai lebih rendah dari sekolah lain akan
mendapat tambahan sumber daya dari pemerintah?
Intervensi dan bantuan pemerintah seperti apa
yang diagendakan untuk mendorong peningkatan mutu sekolah yang dipandang
tertinggal?
Sudah 10 tahun UN berjalan, tetapi tetap saja
profil mutu sekolah tidak mengalami perubahan. Sekolah yang terbelakang tetap
terbelakang dan sekolah yang bagus tetap bertahan sebagai sekolah bagus.
Data hasil Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru
(SPMB) tahun 2000 sampai 2008 menunjukkan bahwa tidak ada perubahan profil
sebaran asal sekolah calon-calon mahasiswa yang lolos di ujian SPMB tersebut.
Bagaimana sekolah merespons UN? Materi
kurikulum yang seharusnya diajarkan dalam waktu tiga tahun ternyata dipadatkan
menjadi dua tahun tiga bulan. Praktis, sembilan bulan terakhir semua kegiatan
di sekolah hanya dialokasikan untuk mempersiapkan UN. Bahkan, ada sekolah yang
hanya mempersiapkan siswanya untuk menghadapi UN.
Sekolah disulap menjadi tempat bimbingan
belajar (cram school), yang tidak
lagi mengedukasi/mendidik siswa dan mengajarkan pengetahuan, melainkan hanya
mengindoktrinasi siswa dengan berbagai tricks dan tips tentang bagaimana
menyiasati soal ujian. Apakah ini yang kita sebut pendidikan?
Persoalan yang sangat gamblang di depan mata
kita adalah disparitas sumber daya pembelajaran, baik menyangkut mutu dan
ketersediaan guru maupun sarana dan prasarana pendidikan yang terasa sangat
kentara antara perkotaan dan pedesaan, antara barat dan timur, dan
seterusnya.
Harapan kita semua adalah pemerintah lebih
serius dan sistematis dalam membangun sektor pendidikan. Semoga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar