Rabu, 08 Mei 2013

PM IX Malaysia dan Presiden VII RI


PM IX Malaysia dan Presiden VII RI
Christianto Wibisono   Pendiri Institute Kepresidenan Indonesia
KOMPAS, 08 Mei 2013

  
Hasil pemilu Malaysia 5 Mei 2013 meredupkan karier politik Anwar Ibrahim yang gagal menjadi perdana menteri ketujuh Malaysia.
Versi klenik Notonegoro (yang dipaksakan di Indonesia sebagai Soekarno, Soeharto, dan seterusnya) punya ekuivalen Rahman (dari PM pertama Malaysia Tunku Abdul Rahman, lalu Tun Abdul Razak, Husein Onn [ipar Tun Razak], Mahathir Mohamad, Abdullah Ahmad Badawi, dan Najib Razak [putra Tun Razak]). Anwar Ibrahim selalu berusaha menempatkan dirinya pada abjad ”A” atau ”N” dari akhiran Rahman. Gagalnya Anwar menjatuhkan petahana Najib Razak mengisyaratkan pertarungan dinasti politik Malaysia akan dilanjutkan oleh Mukhriz Mahathir, yang dibantu ayahnya merebut Kedah dari oposisi Pakatan Rakyat.
Putri Anwar Ibrahim, Nurul Izzah, bertahan dan akan mengulangi peran Megawati pada politik Malaysia. Namun, Khairy Jamaluddin, menantu Abdullah Ahmad Badawi, juga mengintai kursi PM. Sementara itu, ayah beranak Lim Kit Siang dan Lim Guan Eng memimpin Partai Aksi Rakyat (DAP) merebut 38 kursi, lebih besar daripada Partai Keadilan Rakyat (30) dan Partai Islam se-Malaysia (21). Koalisi Pakatan Rakyat hanya memperoleh 89 kursi dan Barisan Nasional menguasai 133 dari 222 kursi DPR, membuyarkan impian Anwar Ibrahim menjadi PM ketujuh Malaysia.
Selalu menjiplak
Dalam banyak hal, Malaysia selalu meniru dan menjiplak Indonesia, tetapi dengan sentuhan terakhir yang lebih baik sehingga murid mengalahkan guru. Bahkan, dalam hal yang kurang terpuji, seperti diskriminasi rasial dan etnis, Kuala Lumpur dan Jakarta selalu merujuk atau menjiplak dan mengulangi kesalahan yang sama sebelum bertobat mengobati kekeliruan yang memacetkan kehidupan masyarakat keseluruhan.
Lima puluh tahun yang lalu, mahasiswa ”asli” merusak sepeda motor mahasiswa keturunan Tionghoa di Bandung yang dikenal sebagai insiden rasialis 10 Mei 1963. Di antara korban yang frustrasi dan mengungsi ke luar negeri adalah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Yap Tjwan Bing.
Empat tahun kemudian, Kuala Lumpur dilanda kerusuhan rasial akibat kekalahan UMNO dalam pemilu 13 Mei 1969 oleh DAP. Wakil Perdana Menteri Tun Abdul Razak mengudeta PM Tunku Abdul Rahman, mirip Soeharto menggulingkan Bung Karno, dan memperkenalkan New Economic Policy, aksi afirmatif untuk bumi putera Melayu, mengacu pada politik Benteng, proteksi pengusaha asli pribumi di Indonesia dasawarsa 1950-an. Hubungan etnis di Malaysia mirip dengan Lebanon, api dalam sekam, dan insiden 13 Mei selalu dipakai sebagai momok untuk tidak menerapkan demokrasi secara benar.
Indonesia di bawah Soeharto menyapu masalah di bawah karpet yang kemudian meledak dalam pemerkosaan di Jakarta, 13 Mei 1998, yang hingga detik ini belum terungkap dalang politiknya, kecuali peradilan terhadap polisi penembak mahasiswa Trisakti dan penculik aktivis mahasiswa. Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo adalah Kapolres Jakarta Barat waktu itu. Calon presiden dari Partai Gerindra, Prabowo, Pangkostrad waktu itu, sudah diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Militer di bawah KSAD Subagyo. Adapun Panglima TNI juga menjadi calon presiden dari Partai Hanura.
Menarik bahwa Wakil Menteri Hukum dan HAM mengungkapkan kembali isu peradilan HAM dalam rangka ratifikasi Statuta Roma oleh Pemerintah RI. Bersama media yang meliput luas, Wakil Menteri bertemu dengan Ketua Mahkamah Peradilan HAM Internasional di Den Haag. Di DPR trio Partai Demokrat, PDI-P, Golkar, menyiasati pembentukan peradilan HAM tentu saja untuk mendulang suara pemilih 2014 agar tak memilih capres bermasalah yang bisa tersandung Statuta Roma.
Politik tak pernah sepi dari pengkhianatan. Perubahan sikap bunglon membingungkan masyarakat yang polos dan lugu serta perselingkuhan Ken Arok yang juga universal.
Di Malaysia, Barisan Nasional selalu mengingatkan bahaya 13 Mei 1969 terulang jika golongan Tionghoa menuntut emansipasi hak dan menggugat privilese ketuanan Melayu. Namun, proteksi terhadap Bumiputera Melayu sejak Tun Razak sudah berlangsung 30 tahun dan harus diakhiri pada tahun 2000, ternyata dilestarikan oleh elite Mahathir dan konco-konconya sehingga rakyat menyebut dominasi UMNOputera, sedangkan bumiputera jelata tetap saja melarat.
Mahathir belajar dari Soeharto
Mahathir belajar jadi diktator seperti Soeharto dengan korban pesaing yang jatuh dari sampingnya, mulai dari Musa Hitam, Razaleigh Hamzah, Ghafar Baba, dan kemudian Anwar Ibrahim yang dituduh sodomi. Mahathir tidak memakai tuduhan korupsi karena akan ditertawakan orang bahwa Mahathir sendiri adalah biang koruptor. Karena itu, ia memakai jurus sodomi Anwar terhadap sopirnya sendiri. Mahathir melakukan jurus sodomi karena Anwar Ibrahim menggunakan jurus Reformasi Habibie untuk mendongkel Mahathir.
Di AS, Obama melakukan terobosan pada 2008 dengan menjadi presiden kulit hitam pertama. Di Indonesia, Basuki Tjahaja Purnama menjadi wakil gubernur terpilih DKI Jakarta, suatu preseden baru dalam sejarah politik RI. Sejak zaman revolusi sudah ada menteri dari keturunan Tionghoa. Namun, wakil gubernur terpilih adalah terobosan yang mungkin belum sekelas Obama: jelas Indonesia menjadi contoh sukses demokrasi yang kompatibel dengan Islam dan Islam Indonesia kompatibel dengan toleransi, multikultur, dan pluralisme.
Dengan kemenangan yang diprotes Anwar Ibrahim, Barisan Nasional Najib Razak mirip Soeharto yang ngotot pada Pemilu 1997 dan Harmoko yang mengangkat lagi Soeharto pada 12 Maret, kemudian berbalik memunggungi Soeharto 18 Mei 1998.
Pemilihan presiden ketujuh RI juga diwarnai terobosan kebekuan oligarki kartel politik. Duet Jokowi-Basuki menghancurkan mitos koalisi parpol yang, meskipun bergelimang uang, tidak bisa membendung tsunami arus bawah rakyat yang sadar akan hak dan kualitas pemimpin. Konglomerat dikerahkan ke JIEP untuk mendukung petahana, tetapi suara karyawan dan masyarakat jauh lebih besar dari suara elite. Karena itu, tergusurlah simbol status quo oleh figur jelata Jokowi-Basuki.
Salah satu kritik kepada Jokowi, selain yang ditulis Sunny Tanuwidjaja di rubrik ini pada 6 Mei lalu, adalah bahwa dia kurang ”intelektual” untuk jadi calon presiden. Ronald Reagan adalah aktor kelas dua yang mungkin secara kualitas kalah dari Richard Burton sebagai aktor. Namun, Reagan adalah komunikator politik yang paham arus bawah dan mengantarkan program. Karena itu, dia terpilih dua kali masa jabatan dan dinilai sebagai salah satu presiden Amerika Serikat dengan kinerja terbaik. Lagi pula, di eranya komunisme bangkrut dan Perang Dingin selesai setelah Tembok Berlin dihancurkan oleh grass root antidiktator.
Elite politik Indonesia harus belajar dari sejarah kepresidenan Republik Indonesia yang, harus diakui, selalu penuh intrik dan membingungkan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar