Jumat, 03 Mei 2013

Menunggu KUHP Baru


Menunggu KUHP Baru
Humphrey Djemat ;  Ketua Umum DPP Asosiasi Advokat Indonesia (AAI)
SUARA KARYA, 02 Mei 2013


Nasib Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) hingga kini belum jelas, setelah hampir 13 tahun terkatung-katung. Konon, ada lembaga penegak hukum yang belum ikhlas jika RUU KUHAP itu diberlakukan. Padahal, KUHAP ini merupakan karya agung anak bangsa Indonesia. Pengganti HIR ciptaan Kolonial Belanda yang sudah berusia 27 tahun ini dinilai berbagai kalangan sudah tidak relevan lagi.

Pasalnya, kini kemajuan teknologi terutama di bidang komunikasi, transportasi dan lainnya sangat pesat. Hal ini tentu saja membawa dampak sosial, ekonomi dan hukum yang besar. Termasuk, juga berpengaruh pada hukum pidana. Satu hal yang tak bisa dihindari adalah globalisasi, termasuk di bidang hukum.

Penyusunan RUU KUHAP tentu tidak bisa dilepaskan dari desakan pengaruh globalisasi tersebut. Apalagi, dengan telah ditandatanganinya beberapa konvensi internasional yang berkaitan langsung dengan hukum acara pidana. Dalam RUU KUHAP, yang paling kentara adalah penghormatan terhadap hak-hak warga secara menyeluruh. Hal ini sesuai dengan sistem penahanan yang mengadopsi pada Pasal 9 International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR). Dalam beleid itu ditegaskan bahwa jika seseorang ditangkap, maka dengan segera atau seketika (promptly), jaksa penuntut umum membawa surat perintah penahanan dan penyidik membawa orang yang ditangkap secara fisik (physically) untuk dihadapkan kepada hakim dengan didampingi advokat karena yang mempunyai kewenangan untuk menyatakan seseorang ditahan adalah hakim.

Hal ini juga seiring dengan makin menggema secara internasional tentang perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Bangsa yang kurang memperhatikan HAM akan menjadi bulan-bulanan kritikan sampai pada ancaman boikot internasional. Dengan landasan itulah, RUU KUHAP sangat terang-benderang dalam rangka penghormatan lebih terhadap HAM.

Menariknya, beberapa negara maju juga menyusun KUHAP baru yang lebih progresif. Misalnya negara Belanda dan Rusia. Bahkan Rusia menekankan, jika ketentuan perjanjian internasional yang Rusia menjadi pihak bertentangan dengan ketentuan KUHAP-nya, maka ketentuan internasional itu yang harus diterapkan. Hal itu tentu bisa menjadi tolok ukur bagi bangsa ini untuk ikut merevisi KUHAP.

Oleh karena itu, sejumlah instansi perlu diingatkan agar tidak terbawa oleh egoisme atau arogansi sektoral dalam menolak RUU KUHAP. Yang harus dikedepankan adalah apa yang terbaik buat nusa dan bangsa. Sebab, landasan filosofis RUU KUHAP adalah Pancasila, yang menjadi sumber segala sumber hukum. Sila kedua Pancasila, "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab", menunjukkan manusia sebagai ciptaan Tuhan harus hidup bersama untuk rukun dan damai. Sila ketiga, "Persatuan Indonesia", menjadi dasar asas legalitas hukum acara pidana yang bersifat nasional, bukan kedaerahan. Sila kelima, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", menunjukkan bahwa keadilan ekonomi dan sosial menjadi dasar menuju keadilan hukum.

Selama ini proses implementasi dari nilai-nilai Pancasila itu agaknya menjauh. Kita dapat merasakan kondisi masyarakat sekarang yang menunjukkan hilangnya kepercayaan (loss of faith) terhadap penegakan hukum yang berwibawa. RUU KUHAP yang cukup progresif ini harus didukung dengan sikap optimisme sehingga merupakan jawaban terhadap adanya skeptisme sosial, prasangka sosial dan resistensi terhadap keberhasilan fungsi dan peranan hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat.

Salah satu yang diperkenalkan dalam RUU KUHAP ini adalah advesary system, yang disebut sebagai "sistem berimbang". Dengan model ini, berita acara pemeriksaan (BAP), menjadi lebih kecil dalam advesary system ini. Karena sistem ini lebih mengutamakan keterangan di muka sidang pengadilan, di mana jaksa penuntut umum dan penasihat hukum bisa menanyakan langsung kepada saksi-saksi yang dihadirkan. Di saat itu pula bisa dilakukan konfrontasi terhadap keterangan-keterangan saksi yang dibeberkan dalam persidangan. Dengan sistem ini, maka kebenaran materil akan lebih terwujud. Beda dengan sistem yang selama ini berlaku, kebanyakan hakim dan jaksa dipersidangan hanya berpatokan pada BAP yang disusun oleh pihak kepolisian.

Selain itu, jaksa penuntut umum dan penasihat hukum juga boleh memanggil saksi yang tak terdapat dalam berkas perkara, terkait dengan pembuktian. Namun, hal itu tetap dibatasi oleh hakim yang mempunyai kewenangan menyetujui permintaan dari masing-masing pihak untuk menambah saksi.
RUU KUHAP juga memperkenalkan sistem penyelesaian perkara di luar pengadilan. Namun, hal ini sebatas pada tindak pidana ringan dan ancaman hukumannya di bawah lima sampai empat tahun. Tapi, tidak berlaku untuk residivis dan tidak dalam penahanan. Sebab, jika sudah ditahan dan tetap dilakukan penyelesaian di luar pengadilan, akan mengurangi nilai penahanan itu sendiri. Penyelesaian di luar pengadilan merupakan suatu upaya agar mengurangi penumpukan perkara di pengadilan, yang selama ini menjadi momok bagi hakim.

Selain itu, hakim komisaris merupakan "makhluk" baru yang dikenalkan dalam RUU KUHAP. Soal hakim komisaris, sejatinya tak perlu mengangkat hakim baru, cukup mengangkat hakim yang ada di pengadilan negeri. Yang perlu diperhatikan hanyalah pada titik agar memilih hakim yang memiliki profesionalisme tinggi dan bersih, sehingga tidak dapat diintervensi.

Bagi kalangan advokat, tidak ada pilihan lain selain mendukung RUU KUHAP ini. Sudah saatnya advokat bersatu dan berada di garis depan memperjuangkan RUU KUHAP. Jika selama ini advokat menjadi penegak hukum "kelas dua", maka dengan RUU KUHAP perannya lebih dioptimalkan dalam penegakan hukum. Mari kita dukung KUHAP baru menuju Indonesia baru ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar