|
SUARA
KARYA, 02 Mei 2013
Nasib Rancangan Undang-Undang
Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) hingga kini belum jelas, setelah hampir 13
tahun terkatung-katung. Konon, ada lembaga penegak hukum yang belum ikhlas jika
RUU KUHAP itu diberlakukan. Padahal, KUHAP ini merupakan karya agung anak
bangsa Indonesia. Pengganti HIR ciptaan Kolonial Belanda yang sudah berusia 27
tahun ini dinilai berbagai kalangan sudah tidak relevan lagi.
Pasalnya, kini kemajuan teknologi
terutama di bidang komunikasi, transportasi dan lainnya sangat pesat. Hal ini
tentu saja membawa dampak sosial, ekonomi dan hukum yang besar. Termasuk, juga
berpengaruh pada hukum pidana. Satu hal yang tak bisa dihindari adalah
globalisasi, termasuk di bidang hukum.
Penyusunan RUU KUHAP tentu tidak
bisa dilepaskan dari desakan pengaruh globalisasi tersebut. Apalagi, dengan
telah ditandatanganinya beberapa konvensi internasional yang berkaitan langsung
dengan hukum acara pidana. Dalam RUU KUHAP, yang paling kentara adalah
penghormatan terhadap hak-hak warga secara menyeluruh. Hal ini sesuai dengan
sistem penahanan yang mengadopsi pada Pasal 9 International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR). Dalam
beleid itu ditegaskan bahwa jika seseorang ditangkap, maka dengan segera atau
seketika (promptly), jaksa penuntut
umum membawa surat perintah penahanan dan penyidik membawa orang yang ditangkap
secara fisik (physically) untuk
dihadapkan kepada hakim dengan didampingi advokat karena yang mempunyai
kewenangan untuk menyatakan seseorang ditahan adalah hakim.
Hal ini juga seiring dengan makin
menggema secara internasional tentang perlindungan terhadap hak asasi manusia
(HAM). Bangsa yang kurang memperhatikan HAM akan menjadi bulan-bulanan kritikan
sampai pada ancaman boikot internasional. Dengan landasan itulah, RUU KUHAP
sangat terang-benderang dalam rangka penghormatan lebih terhadap HAM.
Menariknya, beberapa negara maju
juga menyusun KUHAP baru yang lebih progresif. Misalnya negara Belanda dan
Rusia. Bahkan Rusia menekankan, jika ketentuan perjanjian internasional yang
Rusia menjadi pihak bertentangan dengan ketentuan KUHAP-nya, maka ketentuan
internasional itu yang harus diterapkan. Hal itu tentu bisa menjadi tolok ukur
bagi bangsa ini untuk ikut merevisi KUHAP.
Oleh karena itu, sejumlah instansi
perlu diingatkan agar tidak terbawa oleh egoisme atau arogansi sektoral dalam
menolak RUU KUHAP. Yang harus dikedepankan adalah apa yang terbaik buat nusa
dan bangsa. Sebab, landasan filosofis RUU KUHAP adalah Pancasila, yang menjadi
sumber segala sumber hukum. Sila kedua Pancasila, "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab", menunjukkan manusia
sebagai ciptaan Tuhan harus hidup bersama untuk rukun dan damai. Sila ketiga, "Persatuan Indonesia", menjadi
dasar asas legalitas hukum acara pidana yang bersifat nasional, bukan
kedaerahan. Sila kelima, "Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", menunjukkan bahwa keadilan
ekonomi dan sosial menjadi dasar menuju keadilan hukum.
Selama ini proses implementasi
dari nilai-nilai Pancasila itu agaknya menjauh. Kita dapat merasakan kondisi
masyarakat sekarang yang menunjukkan hilangnya kepercayaan (loss of faith) terhadap penegakan hukum
yang berwibawa. RUU KUHAP yang cukup progresif ini harus didukung dengan sikap
optimisme sehingga merupakan jawaban terhadap adanya skeptisme sosial,
prasangka sosial dan resistensi terhadap keberhasilan fungsi dan peranan hukum
sebagai sarana pembaruan masyarakat.
Salah satu yang diperkenalkan
dalam RUU KUHAP ini adalah advesary system, yang disebut sebagai "sistem
berimbang". Dengan model ini, berita acara pemeriksaan (BAP), menjadi
lebih kecil dalam advesary system ini. Karena sistem ini lebih mengutamakan
keterangan di muka sidang pengadilan, di mana jaksa penuntut umum dan penasihat
hukum bisa menanyakan langsung kepada saksi-saksi yang dihadirkan. Di saat itu
pula bisa dilakukan konfrontasi terhadap keterangan-keterangan saksi yang
dibeberkan dalam persidangan. Dengan sistem ini, maka kebenaran materil akan
lebih terwujud. Beda dengan sistem yang selama ini berlaku, kebanyakan hakim
dan jaksa dipersidangan hanya berpatokan pada BAP yang disusun oleh pihak
kepolisian.
Selain itu, jaksa penuntut umum
dan penasihat hukum juga boleh memanggil saksi yang tak terdapat dalam berkas
perkara, terkait dengan pembuktian. Namun, hal itu tetap dibatasi oleh hakim
yang mempunyai kewenangan menyetujui permintaan dari masing-masing pihak untuk
menambah saksi.
RUU KUHAP juga memperkenalkan
sistem penyelesaian perkara di luar pengadilan. Namun, hal ini sebatas pada
tindak pidana ringan dan ancaman hukumannya di bawah lima sampai empat tahun.
Tapi, tidak berlaku untuk residivis dan tidak dalam penahanan. Sebab, jika
sudah ditahan dan tetap dilakukan penyelesaian di luar pengadilan, akan
mengurangi nilai penahanan itu sendiri. Penyelesaian di luar pengadilan
merupakan suatu upaya agar mengurangi penumpukan perkara di pengadilan, yang
selama ini menjadi momok bagi hakim.
Selain itu, hakim komisaris
merupakan "makhluk" baru yang dikenalkan dalam RUU KUHAP. Soal hakim
komisaris, sejatinya tak perlu mengangkat hakim baru, cukup mengangkat hakim
yang ada di pengadilan negeri. Yang perlu diperhatikan hanyalah pada titik agar
memilih hakim yang memiliki profesionalisme tinggi dan bersih, sehingga tidak
dapat diintervensi.
Bagi kalangan advokat, tidak ada
pilihan lain selain mendukung RUU KUHAP ini. Sudah saatnya advokat bersatu dan
berada di garis depan memperjuangkan RUU KUHAP. Jika selama ini advokat menjadi
penegak hukum "kelas dua", maka dengan RUU KUHAP perannya lebih
dioptimalkan dalam penegakan hukum. Mari kita dukung KUHAP baru menuju
Indonesia baru ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar