Jumat, 03 Mei 2013

Kurikulum 2013 di Tengah Kisruh Ujian Nasional


Kurikulum 2013 di Tengah Kisruh Ujian Nasional
Maryanto ;  Pemerhati Politik Bahasa
KORAN TEMPO, 02 Mei 2013


Di tengah kisruh ujian nasional (UN), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih melanjutkan agenda Kurikulum 2013. Agenda terbaru Kementerian ini tidak boleh terhenti, sekalipun publik sedang kalut melihat pelaksanaan UN 2013 yang kacau itu. Pembaruan kurikulum tetap perlu berlangsung.
Tanpa pembaruan yang sangat radikal, kisruh UN bakal terulang. Dampak buruknya terdapat pada bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran yang kehilangan makna bagi anak bangsa. Padahal, menurut agenda Kurikulum 2013, usaha mencerdaskan kehidupan bangsa sekarang dilandasi paradigma bahasa Indonesia menghela dan membawa ilmu pengetahuan.
Dengan paradigma baru ini, situasi bahasa Indonesia diharapkan berubah. Wajah bahasa nasional ini tak lagi muram seperti yang terlihat dalam malpraktek pendidikan di sekolah berstandar (bahasa) internasional. Selain untuk pembenahan sistem pendidikan nasional, termasuk sistem UN nantinya, Kurikulum 2013 akan bermaslahat untuk tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012, tertanggal 8 Januari 2013, yang melarang penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pendidikan sekolah.
Bahasa Sebagai Teks
Kebijakan Kurikulum 2013 merupakan bentuk nyata kesungguhan Kementerian Pendidikan untuk melaksanakan perintah konstitusi agar pendidikan Indonesia berbasis bahasa sendiri. Untuk itu, sebagai bahasa penghela dan pembawa ilmu pengetahuan, bahasa Indonesia sudah dirancang kehadirannya pada ruang pembelajaran teks yang membuat bahasa nasional lebih ramah terhadap bahasa daerah.
Pembelajaran teks mampu menerobos sekat-sekat kebahasaan, termasuk batasan kebudayaan. Bahasa Indonesia diproses dalam pembelajaran di kelas untuk menghasilkan penguasaan bahasa rujukan nasional. Di kelas I sekolah dasar (SD), misalnya, anak diharapkan mampu bertutur kata "Alhamdulillah, tubuhku lengkap. Ada kepala, badan, dan kaki. Di kepalaku ada rambut. Ada pula mata dan hidung". Begitu seterusnya hingga teks deskripsi ini dibuat dan digunakan anak untuk memperoleh pengalaman belajar mengenai anggota tubuh dan pancaindra.
Untuk mencari dan menemukan pengalaman belajar, melalui pendekatan teks, konteks pelajaran dibangun lebih dulu dengan memanfaatkan pengetahuan awal. Sebelum masuk sekolah, anak umumnya sudah tahu dalam bahasa daerah benda-benda anggota tubuh yang secara nasional disebut "mata" dan "hidung". Sebutan nasional seperti itu hadir bukan sebagai pengganti nama benda dalam bahasa daerah.
Pembangunan konteks pelajaran itu berlangsung penuh dengan pelestarian dan penghargaan atas kearifan budaya lokal. Di daerah Jawa, sekadar untuk ilustrasi, sebutan netra masih terasa bernilai lebih santun daripada kata "mata". Selain unsur kosakata yang beragam, ada unsur bunyi bahasa yang amat khas bagi penutur daerah, seperti variasi bunyi /a/. Keanekaragaman budaya berbahasa daerah dapat tertampung dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang seutuhnya berbasis teks.
Pembelajaran teks tidak lain bertujuan menghimpun modal budaya (cultural capital). Dalam teori, teks sering dinyatakan sebagai wujud genre yang merefleksikan nilai-nilai atau norma-norma budaya di masyarakat. Wujud genre itu salah satunya berupa teks deskripsi dengan fungsi sosial untuk menggambarkan benda atau yang dibendakan tanpa generalisasi dengan benda sejenis lainnya.
Untuk mendeskripsikan alat pengindra "hidung", tentu lebih mudah bagi anak daerah Jawa ketika kosakata irung dimanfaatkan dalam teks. Kosakata daerah merupakan aset budaya yang tidak boleh hilang. Karena itu, di SD kelas rendah (kelas I, II, dan III), harapan agar anak mampu berbahasa nasional tidak wajib terpenuhi dan boleh ditunda hingga anak masuk ke kelas tinggi.
Kurikulum 2013 sangat revolusioner untuk menjawab dua tantangan besar pada bahasa kebangsaan Indonesia. Tantangan pertama berkaitan langsung dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Tantangan ini sudah dijawab melalui integrasi mata pelajaran bahasa Indonesia dengan IPA dan IPS di SD. Pada tataran teks yang utuh, bahasa Indonesia tidak diragukan fungsinya sebagai wahana komunikasi ilmu pengetahuan di luar bahasa.
Tantangan kedua berkenaan erat dengan kegunaan bahasa Indonesia untuk menjaga integrasi (suku) bangsa. Refleksi kesukuan di Indonesia terdapat dalam penggunaan bahasa daerah. Masuknya unsur bahasa daerah dalam rancangan mata pelajaran bahasa Indonesia, terutama di SD kelas rendah, perlu direalisasi ke dalam buku teks pelajaran yang sedang digarap oleh pihak Kementerian Pendidikan.
Tidak hanya penghargaan atas aneka budaya bangsa, materi pelajaran bahasa Indonesia yang mengintegrasikan bahasa daerah itu juga merupakan langkah awal perbaikan terhadap literasi anak Indonesia yang selama ini terbukti jeblok menurut ukuran PISA dan PIRLS. Sekarang, untuk menerapkan Kurikulum 2013, buku pelajaran SD sudah dinanti-nantikan: model buku ajar yang menghadirkan bahasa Indonesia sebagai teks.
Rancangan Evaluasi
Perubahan kurikulum perlu diikuti dengan pembaruan sistem evaluasi. Untuk Kurikulum 2013, pembelajaran teks itu memerlukan alat evaluasi berupa portofolio. Evaluasi portofolio perlu dirancang berdasarkan fungsi pedagogis untuk memotivasi anak bertanggung jawab atas pembelajaran (otonomi belajar) dan fungsi laporan untuk menunjukkan bukti rekaman pengalaman belajar.
Pihak sekolahlah yang menjadi penyelenggara evaluasi belajar tahap akhir, terutama untuk program SD. Anak SD tidak perlu dievaluasi kinerja belajarnya secara nasional. Mereka baru saja melewati masa penguatan bahasa lokal (daerah) dan pengenalan bahasa nasional; kemampuan berbahasa Indonesia mereka belum selayaknya diuji untuk menentukan kelulusannya. Bagi Kementerian Pendidikan, sasaran evaluasi ini justru kinerja lembaga sekolah (alih-alih kinerja anak didik).
Untuk program sekolah menengah atau yang sederajat dengan SMP dan SMA, sistem evaluasi nasional yang sekarang berlabel UN sudah semestinya diubah. Perubahan dimulai dengan paradigma evaluasi dalam proses belajar. UN bukanlah alat evaluasi akhir program sekolah. Sebaiknya, pada setiap jenjang pendidikan itu, UN diadakan di kelas II. Kekacauan UN juga bakal berulang dan bertambah parah apabila evaluasi nasional itu masih dipertahankan pelaksanaannya serentak di seluruh Indonesia.
Kekacauan UN sekarang menghantui pikiran publik. Tidak perlu kisruh UN dibelokkan untuk menghalangi perjalanan agenda Kurikulum 2013 yang sedang gencar memoles citra bahasa Indonesia. Dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei 2013, semangat pembaruan harus lebih menyala. Ayo, jalan terus! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar