Jumat, 03 Mei 2013

Sekolah Merampas Dunia Anak?


Sekolah Merampas Dunia Anak?
Zulfikri Anas ;  Praktisi Pendidikan, Kandidat Doktor PPs Unnes Semarang, Penggagas Teacher Learning Camp (TLC), Banten
SUARA KARYA, 02 Mei 2013


Membaca tulisan Alfie Kohn (2009) dalam bukunya, "Memilih Sekolah Terbaik untuk Anak", akan mengagetkan banyak orang. Pasalnya, sekolah unggulan yang selama ini diburu banyak orang karena dianggap sekolah terbaik, ternyata pilihan terburuk bagi keberlangsungan pendidikan jangka panjang anak. 
Penyakit ini melanda sistem pendidikan di hampir semua negara di dunia. Kesalahan fatal adalah ketika kita merasa peduli dengan pendidikan anak dengan membimbing mereka mencapai titik atau posisi tertentu. 

Seharusnya, kita mendampingi mereka agar mampu terus belajar (dalam artian yang sesungguhnya) dengan cara yang kondusif bagi masing-masing anak untuk menemukan titik tak terhingga dan mungkin sama sekali tidak ada dalam bayangan kita saat ini. Demi menjaga nama baik sekolah di suatu daerah, anak dipaksa mencapai nilai yang tinggi, bagi yang gagal mencapainya, mereka diberikan remedial. Di kelas remedial, mereka tidak dibantu belajar, mereka hanya dibantu untuk mendapatkan nilai bagus. Cara ini tidak memberikan manfaat apa pun, bahkan sesungguhnya sangat berbahaya bagi mereka.

"Sebagus-bagusnya, nilai tes yang tinggi di suatu sekolah atau distrik, bisa jadi tidak ada artinya. Seburuk-buruknya nilai tinggi sebenarnya berita buruk karena cara pengajaran yang digunakan untuk menghasilkan nilai tersebut." (Alfie Kohn, 2009: 157)

Bagi yang gagal remedial, bisa jadi akan dikeluarkan dari sekolah karena dianggap tidak mampu mengikuti pelajaran. Agar tidak demikian, anak dipaksa belajar oleh orangtuanya. Bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional ini, menarik percakapan berikut sebagai cerminan bagaimana sekolah telah merampas hak-hak anak.

Suatu ketika, atas nama teman-temannya, seorang anak curhat kepada bapaknya. "Pa, sebelum aku masuk sekolah, aku membayangkan ketemu guru yang ceria, ramah, santun, menyenangkan, dan mampu menciptakan berbagai permainan tentang berbagai peristiwa alam. Suasana kelas kami akan meriah. Kami akan saling adu pendapat untuk melatih bagaimana cara menarik kesimpulan yang baik, mengungkapkan alasan yang logis dan ilmiah. Di antara kami juga akan mengeluarkan ide-ide kreatif, dan belajar berdebat secara santun."

Tapi, yang ditemui suasana monoton sepanjang hari. Kenapa setiap saat belajar harus di kelas dan selama di kelas siswa lebih banyak mendengarkan, menunggu perintah, harus membuka buku yang sama dari pengarang yang sama, penerbit yang sama dan halaman buku yang sama? Ketika guru menjelaskan, dalam kegiatan kerja kelompok, kerja mandiri, tiada hari tanpa membuka buku yang sama. Kalaupun ada variasinya, karena tersedia lembaran kegiatan siswa (LKS), namun LKS itu pun bukan hasil buatan guru. Semua mata pelajaran begitu strateginya.

"Kami pun sempat berfikir, andaikan kami semua mogok dan tidak mau membawa buku dan LKS karena begitu berat jika dibawa, betapa paniknya guru kami. Jangan-jangan guru kami tidak punya apa-apa sehingga mereka tidak bisa berbuat apa-apa tanpa buku-buku dan LKS itu? Padahal, alam dan berbagai peristiwa yang terjadi setiap hari merupakan salah satu sumber belajar yang aktual, faktual, dan dialami? Belajar dari pengalaman sangat menggairahkan kami karena pengalaman adalah guru terbaik!"

"Setahu kami, untuk menarik kesimpulan yang bagus, kita harus menggunakan referensi yang beragam dan membaca-baca buku di perpustakaan atau di rumah saat kerja kelompok atau kerja mandiri sambil berlatih note taking, membuat ringkasan, memberikan pendapat dan sebagainya. "Kami membayangkan di kelas kami akan berdiskusi dengan dukungan motivasi dan wawasan yang luas dari guru. Betapa nyamannya ketika guru piawai sekali memancing dan mengendalikan kelas!" "Mohon maaf kepada bapak/ibu guru kami, kami terpaksa bertanya. Ada apa dengan bapak/ibu sehingga setiap hari kami harus membawa banyak buku ke sekolah, apakah tidak ada cara lain dalam belajar? Apakah tidak ada buku di perpustakaan, ataukah sesungguhnya bapak/ibu guru yang kami cintai tidak paham dengan fungsi dan tugas bapak/ibu yang sesungguhnya sehingga "kehadiran buku" justru lebih penting daripada kehadiran bapak/ibu? Mungkin masih banyak alasan lain yang kami tidak mengerti?"

"Kami khawatir andaikan IPA dan IPSB SD tidak lagi menjadi mata pelajaran, adik-adik kami akan tetap berat barang bawaannya ketika ke sekolah karena buku Bahasa Indonesia, PPKn, dan Matematika akan jauh lebih tebal karena kemasukan materi IPA dan IPS, dan tentunya LKS-nya pun akan semakin banyak. Hal yang kami rasakan saat ini, kami membawa banyak buku bukan karena jumlah mata pelajarannya yang banyak, tapi karena guru kami yang kurang paham dengan dunia kami, bagaimana gaya dan cara kami belajar kami."

Begitu banyak hal yang tidak bisa kami pahami tentang orang dewasa di sekitar kami. Apakah memang kami yang harus memahami itu semua? "Pa, maafkan aku yang telah berani bicara lantang begini karena kami telah kehabisan tempat dan waktu untuk bicara. Apalagi, tempat serta waktu bermain kami telah tersita karena kami harus mengerjakan banyak PR? Kami juga harus mengikuti drilling sebelum UN, karena semua orang takut akan UN.

Kami khawatir, justru setelah dewasa nanti, saat kami memegang tampuk kekuasaan, justru akan bermain-main dengan kewenangan yang kami punya sebagai upaya untuk menjemput kembali waktu bermain kami yang hilang sewaktu anak-anak dan remaja. Satu hal yang selalu ada dalam diri kami, kami ingin marah, tapi pada siapa? Akhirnya kami "marah" kepada sesama kami dengan melakukan 'tawuran'." "Pa, aku telah kehilangan banyak hal, bahkan kami telah kehilangan diri kami sendiri. Sekolah telah merampas semua itu dari kehidupan kami!" 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar