Selasa, 14 Mei 2013

Membantah Isu


Membantah Isu
Rhenald Kasali ;  Ketua Program MM UI
JAWA POS, 14 Mei 2013


ISU, bisa benar, bisa juga isapan jempol. Pokoknya, selama jadi pembicaraan dan sifatnya tidak "resmi" dia adalah isu. Sulitnya memang menafsirkan arti kata "resmi" itu apa. Kalau sistem pengadilan kita bisa dipercaya, ya tentu saja "resmi" itu adalah putusan pengadilan. Kalau dulu, resmi itu miliknya pemerintah. Jadi, selama pemerintah belum bicara, belum diputuskan (misalnya isu devaluasi atau kenaikan BBM), suatu berita tetaplah isu.

Sekarang isu itu bergantung pada siapa yang bisa dipercaya masyarakat. Apakah Anda lebih percaya pada KPK atau PKS? Apakah Anda lebih menganggap korupsi musuh rakyat, atau Anda pikir itu boleh-boleh saja? Demikian juga soal Eyang Subur. Terserah siapa yang Anda percaya: Polisi, MUI, Adi Bing Slamet, atau Eyang Subur sendiri. Semakin banyak pilihan publik, dia adalah sebuah isu.

Diikat atau Dilepas 

Dulu pernah ada isu "lemak babi". Mulanya seorang dosen di Malang yang meneliti soal kandungan yang "diduga" mengandung zat-zat yang diharamkan umat Islam. Dia memeriksa label, bukan membawanya ke lab. Setelah dicek, bila ada kata alkohol, gelatin, dan atau lard, dia mengklarifikasikan produk-produk itu sebagai "diragukan".

Karena publik tak paham arti kata-kata itu, isu cepat beredar. Publik takut mengonsumsi produk-produk tersebut. Tetapi, karena daya ingat manusia terbatas, orang-orang yang mau membantu "mengingatkan" kita membuatnya tertulis. Sayangnya, mereka tak punya sumber aslinya. Jadi, mereka membuat list menurut versi mereka. Bisa dibayangkan distorsinya besar sekali.

Satu orang membuat list, yang lain menambahkan, akhirnya produser-produser mi instan, kecap, margarin, es krim, biskuit, sampai sabun mandi - yang tak ada kaitannya sama sekali dengan isu itu ikut disebut. Mereka dihujat habis, diboikot konsumen, penjualannya merosot dan nyaris gulung tikar, bahkan melakukan PHK.

Lalu apa yang dilakukan masing-masing pemilik perusahaan itu?

Ya, seperti halnya PKS yang menurunkan Fahri Hamzah, mereka semua muncul di depan TV dan koran; membantah. Bedanya, Fahri Hamzah terlihat penuh amarah, seperti mau berkelahi.

Tepatkah langkah itu? 

Topik ini pernah saya kaji dalam disertasi saya di Amerika Serikat, dan temuannya sungguh menarik. Pertama, setiap orang yang sedang menjadi sasaran berita "negative" (terlepas ia benar atau salah) adalah "tidak kredibel" (dalam menjawab). Kedua, semakin dibantah, ikatan antara objek isu dengan orang/pihak yang membantah akan semakin kuat. Ketiga, untuk melepaskan ikatan itu, sumber berita yang tengah mendapat "serangan", sebaiknya lebih bijak dalam bercakap. Bahkan, diam itu mungkin lebih baik.

Namun, ada temuan lain. Yaitu, kalaupun mau dijawab, jagalah nama baik Anda. Jawablah dengan manis, dengan wisdom. Ingat lho, kita hidup dalam peradaban kamera. Televisi yang Anda lihat bukan sekadar televisi, melainkan social TV. Dalam peradaban kamera-social TV, khalayak bukan cuma menilai apakah Anda pintar atau bodoh, ganteng atau jelek, melainkan juga gesture Anda. Dari situ kelihatan aura seseorang. Dengan demikian, bila Anda menurunkan "si mulut besar" yang meledak-ledak sebagai juru bicara, dia justru bisa "back fired" dan organisasi kehilangan kepercayaan besar yang sudah dimiliki.

Ayo, berhati-hatilah dalam berbicara. Genit di depan kamera sih bagus. Kalau terlalu "genit", ya susah juga. Ini namanya camera branding, bukan sekadar branding. Dan, strategi auragenic jauh lebih bagus daripada sekadar cameragenic.

Jadi, semakin dibantah, semakin tidak dipercaya, bahkan tidak tertutup kemungkinan semakin dibenci. Kita sering berpikir menurunkan orang pintar itu penting, orang yang logis juga penting. Tetapi, riset menemukan, empati jauh lebih penting. Interaksi melahirkan aura, membentuk kepercayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar