|
KORAN
TEMPO, 14 Mei 2013
“Tapi persoalan
tersebut semestinya diselesaikan antara K/L, dengan cara misalnya, tidak semua
anggaran Kemdikbud diblokir oleh Kementerian Keuangan, melainkan hanya anggaran
yang diberi tanda bintang yang diblokir. Dengan demikian, aktivitas lain di
Kemdikbud tidak terganggu.”
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemdikbud), terkesan maju-mundur dalam mengimplementasikan
Kurikulum 2013. Sampai awal 2013, mereka masih penuh optimistis bahwa kurikulum
baru akan diimplementasikan di 30 persen dari seluruh jenjang pendidikan dasar
dan 100 persen kelas X SMA/SMK. Namun kemudian, setelah muncul kasus
keterlambatan UN (ujian nasional) tingkat SMTA di 11 provinsi, target
diturunkan menjadi 10 persen saja. Dan sekarang, atas persetujuan Wakil
Presiden Republik Indonesia Boediono, target diturunkan lagi hanya pada 6.410
sekolah.
Semula, target untuk SD yang akan mengimplementasikan
Kurikulum 2013 mencapai 7.458 sekolah, tapi kemudian dirampingkan menjadi 2.598
SD; untuk tingkat SMP dari semula 2.580 sekolah turun menjadi 1.521 sekolah.
Sedangkan untuk SMA semula ditargetkan 100 persen, yaitu 11.572 SMA dan 10.685
SMK, kemudian diturunkan hanya tinggal 1.270 SMA dan 1.021 SMK. Total
keseluruhan siswa yang semula ditargetkan sekitar 4 juta anak belajar dengan
kurikulum baru, kini hanya tersisa 1.535.065 siswa. Adapun sekolah yang
ditargetkan mengimplementasikan Kurikulum 2013 ini adalah sekolah-sekolah eks
RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) dan sekolah dengan akreditasi A
saja.
Semakin sedikitnya target sekolah yang akan dicapai oleh
pemerintah tersebut memperlihatkan keraguan pemerintah atas kesiapannya
mengimplementasikan kurikulum baru. Mereka tampaknya tidak percaya diri bahwa
pada tahun ajaran 2013/2014 ini, 30 persen dari populasi sekolah mampu
melaksanakan kurikulum baru seperti direncanakan semula. Salah satu pemicu
ketidakpercayaan diri tersebut adalah kasus kekacauan pelaksanaan UN 2013 di 11
provinsi. Kekacauan UN tersebut, selain telah menyita energi pemerintah untuk
fokus mengurusi UN, menjadi sasaran tembak masyarakat, termasuk mereka yang
menolak pemberlakuan kurikulum baru, sehingga mengurangi rasa percaya diri
pemerintah.
Awal ketertundaan
Perlu diakui dan diketahui oleh publik bahwa awal mula
ketertundaan penyiapan kurikulum baru adalah adanya anggaran Kemdikbud yang
dibintangi oleh Kementerian Keuangan, sehingga berdampak pada penundaan
pencairan anggaran. Penundaan pencairan anggaran tersebut secara otomatis
berdampak pada tertundanya seluruh proses penyiapan kurikulum. Para pejabat
Kemdikbud dihadapkan pada suatu pilihan yang sulit: bila terus melakukan
kegiatan sebelum anggaran cair, maka jelas dapat dipersalahkan oleh pihak BPK,
dan salah-salah mereka masuk bui. Tapi, bila tidak melakukan aktivitas dan baru
melakukan aktivitas penyiapan kurikulum setelah anggaran turun, jelas itu
berarti ketertundaan proses penyelesaian kurikulum yang tak terhindarkan,
sehingga kurikulum baru tidak siap diimplementasikan sesuai dengan target
semula. Akhirnya, yang dapat dilakukan oleh Kemdikbud selama anggaran belum
cair hanyalah aktivitas-aktivitas kecil yang dapat dibiayai dengan sisa
anggaran atau dukungan dana dari pihak ketiga yang sifatnya tidak mengikat,
misalnya dari USAID. Tapi dana mereka terlalu kecil dan hanya mampu untuk
membiayai beberapa workshop. Aktivitas lain yang memerlukan dana besar, seperti
pengadaan buku pelajaran, tertunda.
Menurut jadwal yang dibuat Kemdikbud sendiri, misalnya,
proses pengadaan buku (tender) itu sudah terjadi pada Februari 2013. Tapi,
lantaran dana belum cair, proses itu tertunda hingga April. Padahal proses
tender itu memerlukan waktu minimal 45 hari, sedangkan pencetakan buku untuk
ratusan ribu atau bahkan jutaan eksemplar membutuhkan waktu minimal satu bulan
penuh. Wajar bila sampai minggu kedua Mei 2013, belum tersedia buku untuk
kurikulum baru. Dan karena buku baru belum tersedia, secara otomatis proses
pelatihan guru untuk mengimplementasikan kurikulum baru pun belum dapat
dilaksanakan. Sulit membayangkan kurikulum baru terimplementasi tanpa adanya
pelatihan guru terlebih dulu.
Komitmen bersama
Hal-hal tersebut hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi
semua kementerian/lembaga (K/L) instansi pemerintah untuk dapat bersinergi demi
menjaga citra pemimpinnya. Kesalahan yang terjadi di K/L lain, semestinya dapat
diselesaikan antar-K/L, sehingga tidak mencuat ke publik. Ambil contoh kasus
pemberian tanda bintang pada anggaran Kemdikbud oleh Kementerian Keuangan yang
kemudian mengganggu proses tender soal UN dan proses penyiapan kurikulum baru.
Itu memperlihatkan bahwa sinergi dan koordinasi antar-K/L amat lemah atau
bahkan tidak ada sama sekali. Masing-masing berjalan menurut ego sektoralnya
sendiri dan lupa bahwa mereka memiliki seorang dirigen (Presiden) yang
semestinya harus mereka junjung tinggi kewibawaannya. Komitmen bersama untuk
menjaga nama baik Presiden itu tampaknya tidak ada sama sekali.
Boleh jadi, dalam konteks pemberian tanda bintang pada anggaran
Kemdikbud oleh Kementerian Keuangan tersebut, karena memang ada kesalahan
Kemdikbud dengan mencantumkan besaran anggaran yang berbeda antara yang telah
dibahas oleh Badan Anggaran DPR dan yang diserahkan kepada Kementerian
Keuangan. Tapi persoalan tersebut semestinya diselesaikan antar-K/L, dengan
cara misalnya, tidak semua anggaran Kemdikbud diblokir oleh Kementerian
Keuangan, melainkan hanya anggaran yang diberi tanda bintang yang diblokir.
Dengan demikian, aktivitas lain di Kemdikbud tidak terganggu.
Hal yang tampaknya tidak disadari oleh Kementerian Keuangan
dengan pemblokiran semua anggaran kementerian itu adalah bahwa dampaknya akan
mengenai seluruh jajaran pemerintah, termasuk Presiden. Sebab, begitu UN atau
implementasi kurikulum baru tertunda pelaksanaannya, maka yang paling terkena
sebetulnya adalah Presiden. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan paling banter
dituntut untuk mundur. Tapi Presiden akan dinilai gagal mengelola negara.
Kementerian Keuangan kurang menyadari bahwa pemerintahan ini satu-kesatuan yang
tunggal. Artinya, kalau misalnya terjadi kegagalan di dalam suatu kementerian,
beban kesalahannya tidak hanya tertumpu pada menteri yang bersangkutan, tapi
juga menyangkut nama baik Presiden.
Boleh jadi, misteri pemberhentian Menteri Keuangan Agus
Martowardoyo sebelum waktunya itu ada kaitannya dengan karut-marutnya
pelaksanaan UN dan tertundanya implementasi Kurikulum 2013, yang salah satunya
disebabkan oleh keterlambatan pencairan anggaran di Kemdikbud. Bagi Presiden,
hal itu amat memalukan, sehingga harus diganti.
Idealnya memang Kurikulum 2013 diimplementasikan pada tahun
ajaran 2014/2015 (tahun depan), tapi karena komitmen politiknya telah
menyatakan akan diimplementasikan pada 2013, semestinya seluruh K/L yang ada
harus mendukung penuh dengan segala risikonya. Sebab, bila tidak, kesannya
hanya main-main. Padahal pemerintahan ini harus dikelola secara serius. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar