|
KORAN SINDO, 11 Mei 2013
Ketika
memberikan sambutan saat menerima anugerah People
of the Year 2010 dari harian Seputar Indonesia (kini KORAN SINDO) saya
mengatakan, basis dan strategi nasionalisme kita ke masa depan adalah
menegakkan hukum dan keadilan.
Dulu kita membangun strategi nasionalisme melalui gerakan bersenjata, merapikan dan memperkuat tentara, menggalang dukungan rakyat melalui perang sabil dengan senjata seadanya. Lawan kita pada masa lalu adalah negara lain yang ingin menjajah atau ingin merampas kemerdekaan. Tepatnya, dulu kita membangun strategi nasionalisme dengan kesiapan penuh berperang melawan kekuatan negara lain yang ingin menjajah atau menghancurkan kita.
Maka, dulu ada semboyan merdeka atau mati, merebut dan mempertahankan kemerdekaan atau mati tersungkur di hadapan tentara penjajah. Itu dulu. Pada saat ini musuh nyata nasionalisme yang kita hadapi adalah ketidakadilan dan lemahnya penegakan hukum. Tidak ada lagi sekarang ini negara lain yang ingin secara langsung mencaplok kedaulatan negara kita melalui kekuatan bersenjata. Tidak ada negara yang secara nyata akan mengambil kemerdekaan kita.
Sehingga strategi pembangunan nasionalisme tak perlu dilakukan melalui penyiapan gerakan bersenjata untuk berperang secara fisik. Pada saat ini musuh paling nyata atas kelangsungan bangsa dan negara Indonesia adalah mafia hukum dan hilangnya keadilan sebagai sukma hukum. Kita harus katakan bahwa mafia hukum dan tidak tegaknya sukma hukum tersebut, yaitu keadilan, adalah ancaman bagi hancurnya negara yang tak kalah dahsyatnya bila dibandingkan dengan ancaman atau serangan fisik dari negara lain.
Bahwa ketidakadilan mengancam kelangsungan negara bisa dibuktikan bukan hanya oleh ajaran agama yang bisa saja dianggap dogmatik-normatif tetapi dibuktikan oleh fakta. Di dalam agama Islam sangat dikenal hadis Nabi, bahwa hancurnya negara dan bangsabangsa di masa lalu tidak lain karena bila ada orang lemah melanggar hukum langsung dijatuhi hukuman, tetapi jika ada orang kuat, baik secara ekonomi maupun politik, melanggar hukum tidak jua dihukum.
Jika hukum dan keadilan tidak ditegakkan, maka kehancuran suatu negara dan bangsa hanya menunggu waktu. Hadis Nabi ini didukung oleh fakta sejarah tentang timbul dan tenggelamnya bangsa-bangsa di masa lalu, seperti Mesir, Persia, Romawi, berbagai dinasti di Tiongkok, dan lain-lain. Sesudah wafatnya Nabi, berbagai khilafah dalam Islam pun banyak yang bubar karena kesewenang-wenangan dan ketidakadilan.
Di Nusantara kita mengenal munculnya kerajaan-kerajaan besar yang kemudian tenggelam karena perang saudara yang menimbulkan saling fitnah dan ketidakadilan. Sebutlah hancurnya Kerajaan Singosari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Sriwijaya, dan sebagainya. Kehancuran mereka selalu didahului oleh menguatnya hawa nafsu di kalangan elite yang kemudian menimbulkan konflik dan ketidakadilan.
Jadi apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad bahwa “ketidakadilan akan menyebabkan hancurnya suatu negara” sudah dikonfirmasi oleh sejarah baik sejarah negara-negara sebelum Nabi hadir maupun sejarah-sejarah setelah Nabi wafat. Tak peduli negara itu negara Islam atau bukan Islam, kalau diperintah dengan penegakan hukum dan keadilan pastilah kuat. Sebaliknya, kalau diperintah dengan kezaliman dan penuh penipuan pastilah rapuh dan menuju kehancuran.
Karena itu, siapa pun yang merasa punya rasa nasionalisme dalam arti benar-benar cinta terhadap negara dan bangsa Indonesia haruslah berkomitmen kuat untuk menegakkan hukum dan keadilan. Sebaliknya siapa pun yang membiarkan kesewenang-wenangan dan pelanggaran hukum, apalagi membelanya hanya karena “bayaran” atau karena “pertemanan”, maka orang yang seperti itu haruslah dinilai tidak mempunyai rasa nasionalisme dan (sebaliknya) mengkhianati amanat berdirinya negara dan bisikan hati nuraninya sendiri.
Kita tentu sedih melihat betapa banyak di negara ini orangorang terdidik dan (katanya) agamais yang sudah mengunyah nikmatnya kemerdekaan negara Indonesia masih suka mempermainkan hukum. Ada yang membela orang secara membabi buta hanya karena dibayar atau hanya karena dijanjikan kompensasi politik.
Ada juga yang membela temannya, meski bukti kejahatannya tak dapat dibantah oleh akal sehat yang sederhana sekalipun, dengan alasan yang dicari-cari tanpa risih. Dia sengaja mengabaikan pemaknaan yang sebaliknya, mahfhum mukhalafah, dari firman Allah yang menyatakan, “Janganlah kebencianmu terhadap satu kaum menyebabkan kamu berlaku tidak adil.”
Mafhum mukhalafah dari firman Tuhan ini ialah “Janganlah perkawananmu dengan seseorang menyebabkan kamu berlaku tidak adil dan berusaha menutup-nutupi kesalahan temanmu itu.” Acap kita melihat orang hebat yang hafal firman Allah tersebut dan selalu menceramahkannya, tetapi ketika kesalahan dilakukan oleh temannya atau oleh orang yang membayarnya justru si penjahat dibela habis-habisan dengan berbagai alasan. “Negara terancam bahaya kehancuran,” demikian dapat kita katakan meski mungkin ada yang menilainya agak bombastis.
Terlepas dari soal penilaian bombastis atau tidak, lemahnya penegakan hukum dan keadilan di negeri ini memang sudah mengancam sendi-sendi kehidupan dan kelangsungan bernegara kita. Maka itu, kalau kita bukan pengkhianat terhadap bangsa dan hati nurani, marilah selamatkan negara ini dengan nasionalisme yang berbasis pada kesadaran untuk menegakkan “hukum dan keadilan”. ●
Dulu kita membangun strategi nasionalisme melalui gerakan bersenjata, merapikan dan memperkuat tentara, menggalang dukungan rakyat melalui perang sabil dengan senjata seadanya. Lawan kita pada masa lalu adalah negara lain yang ingin menjajah atau ingin merampas kemerdekaan. Tepatnya, dulu kita membangun strategi nasionalisme dengan kesiapan penuh berperang melawan kekuatan negara lain yang ingin menjajah atau menghancurkan kita.
Maka, dulu ada semboyan merdeka atau mati, merebut dan mempertahankan kemerdekaan atau mati tersungkur di hadapan tentara penjajah. Itu dulu. Pada saat ini musuh nyata nasionalisme yang kita hadapi adalah ketidakadilan dan lemahnya penegakan hukum. Tidak ada lagi sekarang ini negara lain yang ingin secara langsung mencaplok kedaulatan negara kita melalui kekuatan bersenjata. Tidak ada negara yang secara nyata akan mengambil kemerdekaan kita.
Sehingga strategi pembangunan nasionalisme tak perlu dilakukan melalui penyiapan gerakan bersenjata untuk berperang secara fisik. Pada saat ini musuh paling nyata atas kelangsungan bangsa dan negara Indonesia adalah mafia hukum dan hilangnya keadilan sebagai sukma hukum. Kita harus katakan bahwa mafia hukum dan tidak tegaknya sukma hukum tersebut, yaitu keadilan, adalah ancaman bagi hancurnya negara yang tak kalah dahsyatnya bila dibandingkan dengan ancaman atau serangan fisik dari negara lain.
Bahwa ketidakadilan mengancam kelangsungan negara bisa dibuktikan bukan hanya oleh ajaran agama yang bisa saja dianggap dogmatik-normatif tetapi dibuktikan oleh fakta. Di dalam agama Islam sangat dikenal hadis Nabi, bahwa hancurnya negara dan bangsabangsa di masa lalu tidak lain karena bila ada orang lemah melanggar hukum langsung dijatuhi hukuman, tetapi jika ada orang kuat, baik secara ekonomi maupun politik, melanggar hukum tidak jua dihukum.
Jika hukum dan keadilan tidak ditegakkan, maka kehancuran suatu negara dan bangsa hanya menunggu waktu. Hadis Nabi ini didukung oleh fakta sejarah tentang timbul dan tenggelamnya bangsa-bangsa di masa lalu, seperti Mesir, Persia, Romawi, berbagai dinasti di Tiongkok, dan lain-lain. Sesudah wafatnya Nabi, berbagai khilafah dalam Islam pun banyak yang bubar karena kesewenang-wenangan dan ketidakadilan.
Di Nusantara kita mengenal munculnya kerajaan-kerajaan besar yang kemudian tenggelam karena perang saudara yang menimbulkan saling fitnah dan ketidakadilan. Sebutlah hancurnya Kerajaan Singosari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Sriwijaya, dan sebagainya. Kehancuran mereka selalu didahului oleh menguatnya hawa nafsu di kalangan elite yang kemudian menimbulkan konflik dan ketidakadilan.
Jadi apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad bahwa “ketidakadilan akan menyebabkan hancurnya suatu negara” sudah dikonfirmasi oleh sejarah baik sejarah negara-negara sebelum Nabi hadir maupun sejarah-sejarah setelah Nabi wafat. Tak peduli negara itu negara Islam atau bukan Islam, kalau diperintah dengan penegakan hukum dan keadilan pastilah kuat. Sebaliknya, kalau diperintah dengan kezaliman dan penuh penipuan pastilah rapuh dan menuju kehancuran.
Karena itu, siapa pun yang merasa punya rasa nasionalisme dalam arti benar-benar cinta terhadap negara dan bangsa Indonesia haruslah berkomitmen kuat untuk menegakkan hukum dan keadilan. Sebaliknya siapa pun yang membiarkan kesewenang-wenangan dan pelanggaran hukum, apalagi membelanya hanya karena “bayaran” atau karena “pertemanan”, maka orang yang seperti itu haruslah dinilai tidak mempunyai rasa nasionalisme dan (sebaliknya) mengkhianati amanat berdirinya negara dan bisikan hati nuraninya sendiri.
Kita tentu sedih melihat betapa banyak di negara ini orangorang terdidik dan (katanya) agamais yang sudah mengunyah nikmatnya kemerdekaan negara Indonesia masih suka mempermainkan hukum. Ada yang membela orang secara membabi buta hanya karena dibayar atau hanya karena dijanjikan kompensasi politik.
Ada juga yang membela temannya, meski bukti kejahatannya tak dapat dibantah oleh akal sehat yang sederhana sekalipun, dengan alasan yang dicari-cari tanpa risih. Dia sengaja mengabaikan pemaknaan yang sebaliknya, mahfhum mukhalafah, dari firman Allah yang menyatakan, “Janganlah kebencianmu terhadap satu kaum menyebabkan kamu berlaku tidak adil.”
Mafhum mukhalafah dari firman Tuhan ini ialah “Janganlah perkawananmu dengan seseorang menyebabkan kamu berlaku tidak adil dan berusaha menutup-nutupi kesalahan temanmu itu.” Acap kita melihat orang hebat yang hafal firman Allah tersebut dan selalu menceramahkannya, tetapi ketika kesalahan dilakukan oleh temannya atau oleh orang yang membayarnya justru si penjahat dibela habis-habisan dengan berbagai alasan. “Negara terancam bahaya kehancuran,” demikian dapat kita katakan meski mungkin ada yang menilainya agak bombastis.
Terlepas dari soal penilaian bombastis atau tidak, lemahnya penegakan hukum dan keadilan di negeri ini memang sudah mengancam sendi-sendi kehidupan dan kelangsungan bernegara kita. Maka itu, kalau kita bukan pengkhianat terhadap bangsa dan hati nurani, marilah selamatkan negara ini dengan nasionalisme yang berbasis pada kesadaran untuk menegakkan “hukum dan keadilan”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar