Minggu, 12 Mei 2013

Politik Kemasan


Politik Kemasan
Benny Susetyo  ;  Budayawan
MEDIA INDONESIA, 11 Mei 2013


KUALITAS partai politik (parpol) dan calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2014 sangat menentukan arah parlemen dan kebijakan politik, ekonomi, serta dimensi lainnya di Indonesia pasca-2014. Berdasarkan daftar caleg yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), sejumlah partai masih buruk secara administrasi dalam mempersiapkan caleg. Kualitas caleg pun, jika dikaji lebih dalam, menyimpan sejumlah persoalan. Hampir 90% caleg tidak berkualitas. Hal itu menandakan partai politik kehilangan keadaban politik. Politik hanya dimaknai do ut des. Berpolitik sekadar sarana mendapatkan transaksi belaka. Inilah yang membuat wajah parlemen tidak berubah karena motivasi mereka menjadi ‘caleg’ untuk mencari kekuasaan dan uang.

Hal demikian menyuburkan budaya KKN, karena tindakan partai politik mengusung caleg yang merupakan keluarga dekat sebetulnya bentuk nepotisme yang merugikan partai itu sendiri. Banyak efek negatif yang ditimbulkan, misalnya mandeknya kaderisasi partai. Bukan hanya itu, kekhawatiran utama bila saja nanti penguasa terpilih memiliki parlemen yang sebagian anggotanya adalah keluarga dekat, bisa dibayangkan begitu sulitnya melakukan kontrol terhadap kekuasaan.

Lebih dari itu, sebetulnya politik dinasti tidak mencerminkan moralitas demokrasi yang menghendaki adanya ruang kompetisi yang sehat dan fair. Politik dinasti ialah sebentuk nepotisme yang sesungguhnya telah kita tolak dan mencederai semangat reformasi. Semangat kekeluargaan dalam politik lebih banyak menghasilkan praktik politik yang tidak sehat. Argumen nepotisme begitu dekat dengan kolusi dan korupsi hingga kini masih diterima dalam sebagian besar alam pikir publik. Nepotisme cenderung memanfaatkan akses politik tertentu untuk kepentingan orang dekat dan keluarga. Hal demikian tidak bisa diterima karena hanya akan melemahkan demokrasi.

Karenanya, logis bila politik dinasti dalam parpol pada akhir nya hanya akan merugikan partai itu sendiri. Apalagi jika hal tersebut dilakukan tanpa rekrutmen yang benar dan lebih banyak mengedepankan unsur nepotisme. Umumnya ada unsur tidak fair dalam rekrutmen politik dengan modus nepotisme. Efek lainnya, kader partai akan kehilangan motivasi untuk bekerja keras karena semuanya akan dikendalikan orang kuat partai.

Inilah kecenderungan yang saat ini banyak terjadi di negeri ini. Kerabat yang diusung dalam pencalonan sering kali tidak melewati kaderisasi dan rekrutmen yang benar. Apalagi sudah dipahami bersama bahwa kaderisasi di semua parpol peserta belum terbangun dengan baik. Karenanya saat menjelang pemilu legislatif, justru tokoh-tokoh yang memiliki hubungan kekerabatan dengan petinggi partailah yang bermunculan.

Faktanya memang sebagian dari mereka mendapatkan kemudahan dan posisi mapan tanpa kerja keras terlebih dahulu. Di sisi lain, banyak kader partai yang mengabdi dari bawah justru tidak memiliki kesempatan untuk berbuat lebih banyak. Ada banyak alasan dalam peristiwa tersebut yang bisa dikemukakan. Misalnya soal kepentingan bisnis, status quo kekuasaan, sampai dengan aspek kedekatan secara dinasti. Satu-satunya jalan untuk mengendalikan agar politik dinasti tidak menjadi tren dan tabiat politik di negeri ini ialah dengan melakukan kaderisasi partai. Selain itu rekrutmen harus dilakukan secara adil dan merata terhadap semua anggota partai.

Penuh kepalsuan

Hal lain yang menarik diungkap dalam `politik caleg' di negeri ini ialah publik umumnya menilai apa yang dilakukan para calon legislatif itu tak lebih dari sebuah politik kemasan. Politik pencitraan diri yang lahir dalam pertarungan merebut simpati publik. Sebagai sebuah citra, sering kali apa yang tampak bukanlah apa yang sesungguhnya ada. Para caleg berhias diri dan tampil memukau di depan khalayak. Namun, lagilagi publik mempertanyakan apakah janji yang bertebaran dalam berbagai iklan politik itu bukan sebagai sebuah penipuan-–seperti layaknya janji politik yang penuh dengan kepalsuan?

Dalam kenyataannya, sering kali publik hanya disuguhi dengan pertarungan kata tanpa makna yang mendalam. Apa yang tampil tak lebih sebagai sebuah jargon politik, bukan sebagai sebuah visi dan idealisme yang mencerminkan diri elite. Kita bisa memetik pelajaran dari pemilu-pemilu sebelumnya. Para caleg berhias diri dalam gambar partai dan menyatakan diri sebagai sosok paling layak dipilih. Namun pada perjalanan politik sepanjang lima tahun terakhir, jangankan perubahan mendasar yang terjadi dan berpengaruh terhadap kehidupan rakyat secara nyata, justru yang sering terjadi ialah tingkah laku para elite di Senayan yang amat mengecewakan.

Politik `priyayiisme' itu hidup menggurita di segenap lini pemerintahan dari daerah hingga pusat. Kita hidup dalam sebuah zaman di kala demokrasi, objektivitas, dan rasionalitas disanjung-sanjung, tapi kepatuhan dan keterpaksaan secara tidak masuk akal dipraktikkan. Sebagai elite politik, mereka tak sadar tindak-tanduk dan perilaku mereka selalu menjadi bahan pergunjingan masyarakat. Intinya, rakyat tertipu memiliki wakil rakyat yang demikian. Tertipu dan berulang kali tertipu memiliki pelayan yang suka mencuri uang rakyatnya sendiri. Inilah lingkaran kegelapan yang mewarnai kehidupan politik yang mencerminkan betapa nurani kita sebagai bangsa telah sirna di muka bumi pertiwi ini.

Para elite kita bagai singa sirkus yang lihai memerankan tipu muslihat yang membuai dan menipu penonton. Mereka bagai pemain sulap yang pandai membuat penonton tertawa sekaligus menangis. Mereka pandai menyembunyikan sesuatu `tanpa terlihat' oleh penonton (tapi penonton sadar bahwa mereka ditipu), dan memperlihatkan sesuatu yang menakjubkan. Buat mereka, berpolitik tak ubahnya seperti memerankan diri sebagai singa yang siap menerkam dengan ganas. Bak pemain sulap itulah, aksi tipu-tipu menjadi konsumsi sehari-hari. Bak pemain sirkus, keganasan politik ditandai dengan maraknya manipulasi nilai-nilai kebenaran.

Caleg Berintegritas

Barangkali tidak semua caleg yang memiliki kerabat dengan orang kuat partai merupakan caleg yang tidak berkualitas. Mungkin saja tidak semua caleg yang memiliki kerabat dengan penguasa merupakan sosok yang tidak layak pilih. Namun, yang senantiasa harus dihindari ialah bahwa nepotisme itu bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, sebab sudah menjadi bawaan manusia sejak lahir. Karena itulah kesadaran untuk membuka akses berpolitik selebar-lebarnya dan transparan menjadi tuntutan utama.

Kompetisi untuk menjadi calon anggota legislatif harus dipusatkan pada program yang terukur bagi kemakmuran masyarakat. Dibutuhkan perubahan budaya dan pola berpikir dari para elite politik untuk mengembangkan visi pemerintahan yang jelas fokusnya. Pola berpikir baru untuk mencapai kesadaran dalam mewujudkan cita-cita membangun kesejahteraan bersama sebagaimana dalam cita-cita republik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar