|
MEDIA INDONESIA, 11 Mei 2013
KUALITAS partai politik (parpol)
dan calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2014 sangat menentukan arah
parlemen dan kebijakan politik, ekonomi, serta dimensi lainnya di Indonesia
pasca-2014. Berdasarkan daftar caleg yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum
(KPU), sejumlah partai masih buruk secara administrasi dalam mempersiapkan
caleg. Kualitas caleg pun, jika dikaji lebih dalam, menyimpan sejumlah
persoalan. Hampir 90% caleg tidak berkualitas. Hal itu menandakan partai
politik kehilangan keadaban politik. Politik hanya dimaknai do ut des. Berpolitik sekadar sarana
mendapatkan transaksi belaka. Inilah yang membuat wajah parlemen tidak berubah
karena motivasi mereka menjadi ‘caleg’ untuk mencari kekuasaan dan uang.
Hal demikian menyuburkan budaya KKN, karena tindakan partai
politik mengusung caleg yang merupakan keluarga dekat sebetulnya bentuk nepotisme
yang merugikan partai itu sendiri. Banyak efek negatif yang ditimbulkan, misalnya
mandeknya kaderisasi partai. Bukan hanya itu, kekhawatiran utama bila saja
nanti penguasa terpilih memiliki parlemen yang sebagian anggotanya adalah
keluarga dekat, bisa dibayangkan begitu sulitnya melakukan kontrol terhadap
kekuasaan.
Lebih dari itu, sebetulnya politik dinasti tidak
mencerminkan moralitas demokrasi yang menghendaki adanya ruang kompetisi yang
sehat dan fair. Politik dinasti ialah sebentuk nepotisme yang sesungguhnya
telah kita tolak dan mencederai semangat reformasi. Semangat kekeluargaan dalam
politik lebih banyak menghasilkan praktik politik yang tidak sehat. Argumen
nepotisme begitu dekat dengan kolusi dan korupsi hingga kini masih diterima
dalam sebagian besar alam pikir publik. Nepotisme cenderung memanfaatkan akses
politik tertentu untuk kepentingan orang dekat dan keluarga. Hal demikian tidak
bisa diterima karena hanya akan melemahkan demokrasi.
Karenanya, logis bila politik dinasti dalam parpol pada
akhir nya hanya akan merugikan partai itu sendiri. Apalagi jika hal tersebut
dilakukan tanpa rekrutmen yang benar dan lebih banyak mengedepankan unsur
nepotisme. Umumnya ada unsur tidak fair dalam rekrutmen politik dengan modus
nepotisme. Efek lainnya, kader partai akan kehilangan motivasi untuk bekerja
keras karena semuanya akan dikendalikan orang kuat partai.
Inilah kecenderungan yang saat ini banyak terjadi di negeri
ini. Kerabat yang diusung dalam pencalonan sering kali tidak melewati kaderisasi
dan rekrutmen yang benar. Apalagi sudah dipahami bersama bahwa kaderisasi di
semua parpol peserta belum terbangun dengan baik. Karenanya saat menjelang
pemilu legislatif, justru tokoh-tokoh yang memiliki hubungan kekerabatan dengan
petinggi partailah yang bermunculan.
Faktanya memang sebagian dari mereka mendapatkan kemudahan
dan posisi mapan tanpa kerja keras terlebih dahulu. Di sisi lain, banyak kader
partai yang mengabdi dari bawah justru tidak memiliki kesempatan untuk berbuat
lebih banyak. Ada banyak alasan dalam peristiwa tersebut yang bisa dikemukakan.
Misalnya soal kepentingan bisnis, status
quo kekuasaan, sampai dengan aspek kedekatan secara dinasti. Satu-satunya
jalan untuk mengendalikan agar politik dinasti tidak menjadi tren dan tabiat politik
di negeri ini ialah dengan melakukan kaderisasi partai. Selain itu rekrutmen
harus dilakukan secara adil dan merata terhadap semua anggota partai.
Penuh kepalsuan
Hal lain yang menarik diungkap dalam `politik caleg' di negeri
ini ialah publik umumnya menilai apa yang dilakukan para calon legislatif itu
tak lebih dari sebuah politik kemasan. Politik pencitraan diri yang lahir dalam
pertarungan merebut simpati publik. Sebagai sebuah citra, sering kali apa yang
tampak bukanlah apa yang sesungguhnya ada. Para caleg berhias diri dan tampil
memukau di depan khalayak. Namun, lagilagi publik mempertanyakan apakah janji
yang bertebaran dalam berbagai iklan politik itu bukan sebagai sebuah
penipuan-–seperti layaknya janji politik yang penuh dengan kepalsuan?
Dalam kenyataannya, sering kali publik hanya disuguhi
dengan pertarungan kata tanpa makna yang mendalam. Apa yang tampil tak lebih
sebagai sebuah jargon politik, bukan sebagai sebuah visi dan idealisme yang
mencerminkan diri elite. Kita bisa memetik pelajaran dari pemilu-pemilu
sebelumnya. Para caleg berhias diri dalam gambar partai dan menyatakan diri
sebagai sosok paling layak dipilih. Namun pada perjalanan politik sepanjang
lima tahun terakhir, jangankan perubahan mendasar yang terjadi dan berpengaruh
terhadap kehidupan rakyat secara nyata, justru yang sering terjadi ialah
tingkah laku para elite di Senayan yang amat mengecewakan.
Politik `priyayiisme'
itu hidup menggurita di segenap lini pemerintahan dari daerah hingga pusat.
Kita hidup dalam sebuah zaman di kala demokrasi, objektivitas, dan rasionalitas
disanjung-sanjung, tapi kepatuhan dan keterpaksaan secara tidak masuk akal
dipraktikkan. Sebagai elite politik, mereka tak sadar tindak-tanduk dan
perilaku mereka selalu menjadi bahan pergunjingan masyarakat. Intinya, rakyat
tertipu memiliki wakil rakyat yang demikian. Tertipu dan berulang kali tertipu
memiliki pelayan yang suka mencuri uang rakyatnya sendiri. Inilah lingkaran
kegelapan yang mewarnai kehidupan politik yang mencerminkan betapa nurani kita
sebagai bangsa telah sirna di muka bumi pertiwi ini.
Para elite kita bagai singa sirkus yang lihai memerankan
tipu muslihat yang membuai dan menipu penonton. Mereka bagai pemain sulap yang
pandai membuat penonton tertawa sekaligus menangis. Mereka pandai menyembunyikan
sesuatu `tanpa terlihat' oleh penonton (tapi penonton sadar bahwa mereka
ditipu), dan memperlihatkan sesuatu yang menakjubkan. Buat mereka, berpolitik
tak ubahnya seperti memerankan diri sebagai singa yang siap menerkam dengan
ganas. Bak pemain sulap itulah, aksi tipu-tipu menjadi konsumsi sehari-hari.
Bak pemain sirkus, keganasan politik ditandai dengan maraknya manipulasi
nilai-nilai kebenaran.
Caleg
Berintegritas
Barangkali tidak semua caleg yang memiliki kerabat dengan
orang kuat partai merupakan caleg yang tidak berkualitas. Mungkin saja tidak
semua caleg yang memiliki kerabat dengan penguasa merupakan sosok yang tidak
layak pilih. Namun, yang senantiasa harus dihindari ialah bahwa nepotisme itu
bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, sebab sudah menjadi bawaan manusia
sejak lahir. Karena itulah kesadaran untuk membuka akses berpolitik
selebar-lebarnya dan transparan menjadi tuntutan utama.
Kompetisi untuk menjadi calon anggota legislatif harus
dipusatkan pada program yang terukur bagi kemakmuran masyarakat. Dibutuhkan
perubahan budaya dan pola berpikir dari para elite politik untuk mengembangkan
visi pemerintahan yang jelas fokusnya. Pola berpikir baru untuk mencapai
kesadaran dalam mewujudkan cita-cita membangun kesejahteraan bersama
sebagaimana dalam cita-cita republik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar