Selasa, 14 Mei 2013

Dilema Politik PKS


Dilema Politik PKS
M Alfan Alfian ;  Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
KORAN SINDO, 14 Mei 2013  

Hari-hari ini Partai Keadilan Sejahtera tengah menjadi sorotan berbagai media menyusul ”perseteruannya” dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pascapenetapan Presiden PKS Lutfhi Hassan Ishaaq (LHI) sebagai tersangka. 

Perseteruan yang dimaksud terutama merujuk pada reaksi elite-elite PKS yang merasa diperlakukan tidak adil oleh KPK dalam proses pengusutan kasus yang menimpa LHI. KPK memang terkesan mendramatisasi Ahmad Fathanah, sosok yang dikaitkan bekerja sama dengan LHI dalam kasus impor daging sapi, terutama dengan mengungkap berbagai perempuan yang ada di sekitarnya. 


Dalam konteks ini dapat dipahami manakala PKS menafsirkan bahwa ada upaya sistematis untuk menyudutkan PKS secara politik. Hingga tulisan ini ditulis, PKS diberitakan telah melaporkan beberapa penyidik KPK ke polisi dengan alasan mereka menyalahi standard operating procedure (SOP). PKS merasa terkepung oleh opini negatif yang terus-menerus menimpanya dan di sisi lain juga berupaya keras untuk bisa keluar dari tekanan opini negatif itu. 


Tamatkah sejarah masa depan politik PKS? Pertanyaan itu langsung menyodok, justru karena sangat beratnya cobaan yang dialami PKS kali ini. PKS tampak seperti berada di titik nadir citra kepolitikannya akibat kepungan opini negatif. Ibarat pertandingan tinju, PKS ditonjok-tonjok oleh opini negatif. Belum ”knocked out” atau KO memang, tetapi masih bergelayutan di tali ring. 


PKS mungkin akan seperti Muhammad Ali yang bergelayutan di ronde-ronde awal, tapi kemudian memukul habis Goerge Foreman dalam pertarungan tinju ”Rumble in The Jungle” 1974 di Kinshasa, Kongo (Zaire). Tapi, mungkin juga tidak. Politik bisa diibaratkan sebagai tinju, ini tidak sepenuhnya. 


Apa yang menimpa PKS bisa dilihat dari perspektif konspirasi, tetapi juga harus begitu. Yang jelas, PKS adalah partai politik peserta pemilu yang terus dipantau dan dinilai publik hingga puncaknya Pemilu 2014 kelak. 


Kalkulasi Suara
 

PKS memang fenomena kesuksesan partai kader di Indonesia. Ia punya kader-kader militan sebagai pendukung tradisionalnya yakni yang telah tergembleng oleh situasi politik Orde Baru yang menekan ”gerakan Islam”. Mereka antitesis keadaan dan bangkit seiring dengan keterbukaan politik Era Reformasi. 


PKS berdiri pada 2002, yang sebelumnya bernama Partai Keadilan (PK) dan didirikan oleh aktivis-aktivis yang sama pada 1998, telah melalui tiga kali pemilu nasional, 1999, 2004, dan 2009, dan punya pengalaman ikut pilkada sejak penyelenggaraannya pada pertengahan 2005. 


Pada Pemilu 2004, PKS memperoleh suara sebanyak 7,34% (8.325.020) dari jumlah total suara yang setara dengan 45 kursi di DPR dari total 550 kursi di DPR. Dibandingkan dengan perolehan PK pada Pemilu 1999, yang hanya memperoleh dukungan suara 1,36% (1.436.565) atau setara tujuh kursi DPR, perolehan Pemilu 2004 itu sangat signifikan. 


Pada Pemilu 2009, angkanya tidak terlampau signifikan. PKS pada 2009 memperoleh dukungan suara yang merosot tipis dibanding sebelumnya, 8.206.955 (7,9%), kendatipun jumlah kursinya di DPR naik menjadi 57 kursi (10%). Dengan perolehan suara seperti itu, PKS menjadi partai Islam paling moncer, kalau bukan paling prospektif. 


Kendatipun ia masih mengandalkan raupan dukungan suara dari pasar tertutup (captive market) politik Islam. Para elite PKS tampak sadar bahwa untuk meraup dukungan suara lebih besar, swing voters di luar pangsa tertutup politik Islam adalah sasaran pokoknya. Bisa dipahami manakala PKS tampak berupaya untuk menunjukkan kepada publik sebagai partai Islam yang ”pluralis” kendatipun masih ada yang menilai ”setengah hati”. 


Militansi dan Inklusivitas
 

Betapapun PKS telah berupaya untuk tampil pragmatis dalam pergaulan politik formal di parlemen, baik pusat dan daerah, dengan tidak terlampau memusingkan identitas ideologisnya dalam membentuk koalisi politik dalam pemerintahan maupun dalam berbagai pilkada, hal itu belum mampu memperkuat kesimpulan bahwa partai ini inklusif. 


PKS terkesan masih berjarak dengan muslim populer yang awam atau bukan santri dalam kategori Clifford Geertz, yang lebih luas ketimbang jamaah santrinya sendiri. Dalam hal ini, kader-kader PKS dituntut harus lebih kreatif lagi dalam berkomunikasi dengan berbagai spektrum masyarakat, berani merambah segmen yang lebih luas. Wajah partai di tingkat ”grass root” akan ditentukan sejauh mana kader-kadernya mampu berbaur dengan berbagai kalangan dan menjadi pelopor perubahan yang konstruktif sehingga segmen lebih luas akan simpati. 


Program-programnya seyogianya tidak yang karitatif dan simbolik, tetapi pemberdayaan. Dalam menghadapi badai politik kali ini, gerak cepat PKS cukup efektif dalam merapatkan barisan internalnya. Presiden PKS Anies Matta berpidato berapi-api ke mana-mana dan disambut antusias oleh para kadernya. Militansi tumbuh lagi. Tetapi, militansi saja tidak cukup untuk menjawab tantangan berat, kalau bukan dobel tantangan PKS. 


Tantangan pertama sudah terjawab yakni soliditas internal. Tantangan yang kedua berlipat-lipat yakni meyakinkan publik bahwa PKS tetap partai yang ”bersih dan profesional”. Dalam sebuah forum dengan saya, petinggi PKS Hidayat Nurwahid mengatakan bahwa PKS bukan partai malaikat, tetapi lazimnya yang lain partai manusia. 


Saya menangkap pesan bahwa ungkapan ”bukan partai malaikat” itu tampaknya merupakan semacam klarifikasi bahwa PKS bukan partai suci sesuci-sucinya. Karena itu, bisa dipahami manakala ”bersih dan profesional” adalah suatu tekad dan cita-cita yang berkonsekuensi, kalau publik menilai jauh dari idealnya, derajat kepercayaan ke PKS juga akan merosot. Demikian pula sebaliknya.

Pertaruhan 2014
 

Sejarah masa depan PKS akan ditentukan oleh bagaimana elite-elite PKS merespons berbagai isu yang menimpa partainya saat ini, termasuk bagaimana menanggapi KPK. PKS masih punya waktu untuk berpemilu dan meraup dukungan suara setidaknya setara dengan perolehannya di Pemilu 2009. 


PKS memang menang dalam Pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara belum lama ini, tetapi yang harus diingat adalah karakter pilkada berbeda dengan karakter pemilu legislatif. Dalam pemilu legislatif ujung tombak kemenangan partai ada di para calon anggota legislatif. PKS telah memilih para kadernya untuk ditawarkan ke publik pada Pemilu 2014. 


Pemilih yang kritis akan mempertimbangkan banyak hal, termasuk citra partai secara keseluruhan. Elite-elite PKS harus bekerja keras untuk meyakinkan para pemilih kritis ini, selain menjaga pemilih tradisional untuk tetap percaya dan tidak lari atau golput. 


PKS masih punya peluang untuk bisa bertahan sebagai partai menengah, terutama apabila mampu mengubah negativitas opini yang bertubi-tubi saat ini menjadi hal yang sebaliknya. Hal ini tentu saja tidak mu dah. Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar