|
KORAN
SINDO, 04 Mei 2013
Setiap tanggal 1 Mei selalu diperingati sebagai hari buruh
internasional atau sering juga disebut “May Day”. Secara historis, gerakan ini
berawal dari inisiasi gerakan serikat buruh internasional di awal abad ke-19
sejalan dengan perkembangan kapitalisme industri di negara-negara Eropa Barat
dan Amerika Serikat dalam merayakan keberhasilan ekonomi dan sosial para buruh.
Kapitalisme yang berkembang masif era tersebut melahirkan konsolidasi berbagai serikat buruh untuk menggalang kekuatan dalam mengonter rezim pemodal yang melakukan berbagai kebijakan seperti pengetatah disiplin dan jam kerja, mengurangi upah kerja, menekan kebebasan berserikat, membatasi hak cuti melahirkan/ menstruasi bagi buruh perempuan. Berbagai negara memperingatinya sebagai bentuk pengakuan internasional terhadap pekerja dan buruh.
Beberapa negara juga meliburkan tanggal tersebut sebagai hari libur nasional. Kalangan buruh memperingatinya dengan berbagai cara. Mulai dari aksi demonstrasi, refleksi, hingga performa teater. Aksi mereka intinya mengingatkan negara dan kelas pemodal bahwa posisi dan peran pekerja/buruh dalam relasi industri sangat penting dan signifikan. Indonesia sendiri mulai memperingati hari buruh sejak 1 Mei 1920. Pengakuan pemerintah Indonesia juga dengan menjadikan setiap 1 Mei sebagai hari libur nasional.
Terdapat dua agenda paling penting dalam peringatan May Day. Pertama, sejatinya kita tidak terjebak pada rangkaian seremonial peringatan May Day di berbagai daerah dengan rangkaian kegiatan yang bisa mereduksi filosofi gerakannya. Pilihan aksi demonstrasi yang dilakukan sebagai sebuah ritual tahunan bukan tujuan akhir dan bukan pula sebagai sakralisasi tahunan.
Aksi demonstrasi harus dijadikan pintu masuk untuk menekan pemerintah dan pengusaha/ pemodal bahwa industri tidak akan berkembang tanpa peran buruh dan pekerja. Simbiosis mutualisme berlangsung secara harmonis. Pengusaha dan negara harus didesak untuk tidak abai dengan berbagai hak yang harus diterima oleh buruh dan pekerja. Kasus-kasus penyimpangan, kekerasan, eksploitasi pengusaha terhadap para buruh khususnya buruh perempuan terus menghiasi daftar korban secara nasional.
Kedua, peringatan May Day harus ditempatkan pada akar gerakannya sebagai aktor dan entitas demokrasi bagi transformasi demokrasi. Buruh menjadi kekuatan yang selalu menghiasi proses sosial demokrasi sebuah negara. Perannya sebagai bagian dari penggerak demokrasi menjadi kredit yang tidak bisa dibantahkan.
Konteks Global
Posisi buruh dalam konteks global sangat diperhitungkan keberadaannya. Ambil contoh konteks Eropa yang tengah dihadapi krisis finansial, buruh menjadi gerakan yang diperhitungkan oleh negara. Sebagai implikasi krisis finansial yang bergejolak, kawasan Eropa setiap harinya selalu diwarnai aksi demonstrasi maupun pemogokan dari berbagai sindikat/serikat pekerja yang mengusung berbagai isu.
Isu yang diusung oleh gerakan buruh di Eropa adalah penolakan PHK massal sebagai bagian dari rasionalisasi karena krisis finansial. Di Prancis, misalnya, aksi demonstrasi secara masif dikonsolidasikan oleh Confédération Générale du Travaille (CGT) atau semacam SPSI-nya Prancis. Beberapa waktu terakhir CGT menggalang aksi demonstrasi di berbagai kota besar di Prancis seperti Paris, Lyon, Marseille, dan Lille.
Mereka mengusung isu menolak PHK karyawan dari dominasi pengusaha industri. Pada 14/11/2012 terjadi demonstrasi akbar dilakukan secara serentak di beberapa kawasan Eropa yaitu Madrid, Paris, Lisbon, Ankara, Milan. Para demonstran menolak kebijakan penghematan,kebijakan PHK dan berbagai kebijakan pemerintah lainnya. Bahkan, bentrokan antara demonstran dengan polisi terjadi di Madrid, Lisbonne, dan Milan.
Aksi demonstrasi tampaknya akan terus bergulir di berbagai kawasan Eropa seiring dengan gejolak krisis yang semakin parah. Aksi serempak ini merupakan aksi pertama yang mendapatkan perhatian publik masyarakat Eropa khususnya pemimpin Eropa. Aksi yang lebih berdampak panjang adalah rencana pemogokan kerja yang digalang berbagai serikat kerja seperti pekerja transportasi publik.
Pemogokan seperti ini bisa mengakibatkan aktivitas masyarakat Eropa lumpuh karena masyarakat Eropa sangat tergantung kepada transportasi publik. Mereka mogok mengusung berbagai isu dan tuntutan. Jika mereka mogok tentu kepentingan publik selama hari itu berhenti. Sebagai negara sosialis, aksi mogok tersebut sudah biasa. Masyarakat pun sudah maklum dengan berbagai aksi mogok tersebut. Aksi mogok adalah upaya meningkatkan posisi tawar serikat pekerja di hadapan pemerintah.
Perubahan Isu
Sejarah Orde Baru mencatat bahwa buruh mengalami politisasi sebagaimana juga dialami oleh kelompok sosial lainnya. Meski mengalami politisasi sebagaimana tercermin dalam kebijakan massa mengambang dalam bentuk wadah tunggal bagi buruh, tetapi buruh mampu melakukan konsolidasi akar rumput sebagai strategi perlawanan ideologis terhadap rezim hegemonik.
Dalam era Orde Baru, gerakan buruh, gerakan pers, gerakan mahasiswa maupun gerakan petani mampu menjadi aktor penting dalam gerakan sosial prodemokrasi (Budiman dan Tornsquist, 2001; Uhlin, 1996). Studi-studi tentang aktor gerakan sosial berdasarkan penelusuran dokumen banyak dilakukan terkait dengan tema- tema tentang gerakan buruh (Hadiz, 2000:59, Priyono, 2001:94). Selama Orde Baru, buruh menjadi alat hegemoni demi melanggengkan kekuasaan saat itu.
Isu utama dalam era tersebut adalah pengebirian hak-hak berserikat, berbicara di kalangan buruh. Salah satu tumbalnya adalah tragedi Marsinah yang menjadi potret buram kekerasan negara terhadap buruh. Pasca-Orde Baru tumbang, dengan lahirnya era reformasi mendorong munculnya berbagai gerakan serikat buruh Semangat kebebasan berserikat di kalangan buruh menjadi masif dan merupakan sebuah proses penting dalam gerakan buruh Indonesia.
Dalam perjalanannya, gerakan buruh mengalami berbagai dinamika. Secara lebih spesifik, isu buruh Indonesia kontemporer bermuara pada dua hal penting, yaitu banyaknya perusahaan menggunakan outsourcing yang melanggar undang-undang, kedua banyak perusahaan menggunakan pekerja kontrak melebihi waktu kontrak yang tidak sesuai dengan undang-undang.
Buruh menolak kebijakan outsourcing karena dianggap mengurangi hak-hak karyawan yang seharusnya dia dapatkan bila menjadi karyawan permanen/tetap (kesehatan, benefit). Tak ada pilihan bagi buruh untuk selalu merapatkan barisannya seraya selalu konsisten menggelorakan slogannya “buruh bersatu tak bisa dikalahkan’’. ●
Kapitalisme yang berkembang masif era tersebut melahirkan konsolidasi berbagai serikat buruh untuk menggalang kekuatan dalam mengonter rezim pemodal yang melakukan berbagai kebijakan seperti pengetatah disiplin dan jam kerja, mengurangi upah kerja, menekan kebebasan berserikat, membatasi hak cuti melahirkan/ menstruasi bagi buruh perempuan. Berbagai negara memperingatinya sebagai bentuk pengakuan internasional terhadap pekerja dan buruh.
Beberapa negara juga meliburkan tanggal tersebut sebagai hari libur nasional. Kalangan buruh memperingatinya dengan berbagai cara. Mulai dari aksi demonstrasi, refleksi, hingga performa teater. Aksi mereka intinya mengingatkan negara dan kelas pemodal bahwa posisi dan peran pekerja/buruh dalam relasi industri sangat penting dan signifikan. Indonesia sendiri mulai memperingati hari buruh sejak 1 Mei 1920. Pengakuan pemerintah Indonesia juga dengan menjadikan setiap 1 Mei sebagai hari libur nasional.
Terdapat dua agenda paling penting dalam peringatan May Day. Pertama, sejatinya kita tidak terjebak pada rangkaian seremonial peringatan May Day di berbagai daerah dengan rangkaian kegiatan yang bisa mereduksi filosofi gerakannya. Pilihan aksi demonstrasi yang dilakukan sebagai sebuah ritual tahunan bukan tujuan akhir dan bukan pula sebagai sakralisasi tahunan.
Aksi demonstrasi harus dijadikan pintu masuk untuk menekan pemerintah dan pengusaha/ pemodal bahwa industri tidak akan berkembang tanpa peran buruh dan pekerja. Simbiosis mutualisme berlangsung secara harmonis. Pengusaha dan negara harus didesak untuk tidak abai dengan berbagai hak yang harus diterima oleh buruh dan pekerja. Kasus-kasus penyimpangan, kekerasan, eksploitasi pengusaha terhadap para buruh khususnya buruh perempuan terus menghiasi daftar korban secara nasional.
Kedua, peringatan May Day harus ditempatkan pada akar gerakannya sebagai aktor dan entitas demokrasi bagi transformasi demokrasi. Buruh menjadi kekuatan yang selalu menghiasi proses sosial demokrasi sebuah negara. Perannya sebagai bagian dari penggerak demokrasi menjadi kredit yang tidak bisa dibantahkan.
Konteks Global
Posisi buruh dalam konteks global sangat diperhitungkan keberadaannya. Ambil contoh konteks Eropa yang tengah dihadapi krisis finansial, buruh menjadi gerakan yang diperhitungkan oleh negara. Sebagai implikasi krisis finansial yang bergejolak, kawasan Eropa setiap harinya selalu diwarnai aksi demonstrasi maupun pemogokan dari berbagai sindikat/serikat pekerja yang mengusung berbagai isu.
Isu yang diusung oleh gerakan buruh di Eropa adalah penolakan PHK massal sebagai bagian dari rasionalisasi karena krisis finansial. Di Prancis, misalnya, aksi demonstrasi secara masif dikonsolidasikan oleh Confédération Générale du Travaille (CGT) atau semacam SPSI-nya Prancis. Beberapa waktu terakhir CGT menggalang aksi demonstrasi di berbagai kota besar di Prancis seperti Paris, Lyon, Marseille, dan Lille.
Mereka mengusung isu menolak PHK karyawan dari dominasi pengusaha industri. Pada 14/11/2012 terjadi demonstrasi akbar dilakukan secara serentak di beberapa kawasan Eropa yaitu Madrid, Paris, Lisbon, Ankara, Milan. Para demonstran menolak kebijakan penghematan,kebijakan PHK dan berbagai kebijakan pemerintah lainnya. Bahkan, bentrokan antara demonstran dengan polisi terjadi di Madrid, Lisbonne, dan Milan.
Aksi demonstrasi tampaknya akan terus bergulir di berbagai kawasan Eropa seiring dengan gejolak krisis yang semakin parah. Aksi serempak ini merupakan aksi pertama yang mendapatkan perhatian publik masyarakat Eropa khususnya pemimpin Eropa. Aksi yang lebih berdampak panjang adalah rencana pemogokan kerja yang digalang berbagai serikat kerja seperti pekerja transportasi publik.
Pemogokan seperti ini bisa mengakibatkan aktivitas masyarakat Eropa lumpuh karena masyarakat Eropa sangat tergantung kepada transportasi publik. Mereka mogok mengusung berbagai isu dan tuntutan. Jika mereka mogok tentu kepentingan publik selama hari itu berhenti. Sebagai negara sosialis, aksi mogok tersebut sudah biasa. Masyarakat pun sudah maklum dengan berbagai aksi mogok tersebut. Aksi mogok adalah upaya meningkatkan posisi tawar serikat pekerja di hadapan pemerintah.
Perubahan Isu
Sejarah Orde Baru mencatat bahwa buruh mengalami politisasi sebagaimana juga dialami oleh kelompok sosial lainnya. Meski mengalami politisasi sebagaimana tercermin dalam kebijakan massa mengambang dalam bentuk wadah tunggal bagi buruh, tetapi buruh mampu melakukan konsolidasi akar rumput sebagai strategi perlawanan ideologis terhadap rezim hegemonik.
Dalam era Orde Baru, gerakan buruh, gerakan pers, gerakan mahasiswa maupun gerakan petani mampu menjadi aktor penting dalam gerakan sosial prodemokrasi (Budiman dan Tornsquist, 2001; Uhlin, 1996). Studi-studi tentang aktor gerakan sosial berdasarkan penelusuran dokumen banyak dilakukan terkait dengan tema- tema tentang gerakan buruh (Hadiz, 2000:59, Priyono, 2001:94). Selama Orde Baru, buruh menjadi alat hegemoni demi melanggengkan kekuasaan saat itu.
Isu utama dalam era tersebut adalah pengebirian hak-hak berserikat, berbicara di kalangan buruh. Salah satu tumbalnya adalah tragedi Marsinah yang menjadi potret buram kekerasan negara terhadap buruh. Pasca-Orde Baru tumbang, dengan lahirnya era reformasi mendorong munculnya berbagai gerakan serikat buruh Semangat kebebasan berserikat di kalangan buruh menjadi masif dan merupakan sebuah proses penting dalam gerakan buruh Indonesia.
Dalam perjalanannya, gerakan buruh mengalami berbagai dinamika. Secara lebih spesifik, isu buruh Indonesia kontemporer bermuara pada dua hal penting, yaitu banyaknya perusahaan menggunakan outsourcing yang melanggar undang-undang, kedua banyak perusahaan menggunakan pekerja kontrak melebihi waktu kontrak yang tidak sesuai dengan undang-undang.
Buruh menolak kebijakan outsourcing karena dianggap mengurangi hak-hak karyawan yang seharusnya dia dapatkan bila menjadi karyawan permanen/tetap (kesehatan, benefit). Tak ada pilihan bagi buruh untuk selalu merapatkan barisannya seraya selalu konsisten menggelorakan slogannya “buruh bersatu tak bisa dikalahkan’’. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar